Selasa, 28 April 2009

Fariduddin 'Attar

Sastra Sufistik Fariduddin ‘Attar

Oleh Mahbib Khoiron

Sekilas Riwayat Hidup
Jejak hidupnya tak terlalu banyak terungkap. Yang berhasil terekam, bahwa `Attar (1130-1220 M) termasuk seorang sufi dan sastrawan Persia terkemuka. Di kota kelahirannya, Nisyapur, ia
masyhur sebagai seorang ahli farmasi dan saudagar minyak wangi yang kaya raya.
Sesungguhnya, ia bernama asli Abu Hamid bin Abu Bakr Ibrahim. Julukan ‘Attar yang melekat
pada dirinya diperoleh lantaran kepiawaiannya dalam bidang farmasi.
‘Attar muda menimba ilmu kedokteran, bahasa Arab dan teosofi di sebuah madrasah (perguruan tinggi) yang terletak di sekitar tempat suci Imam Reza di Mashhad. Menurut catatan yang tertera pada buku yang ditulisnya Mosibat Nameh (Buku Penderitaan), pada saat remaja dia bekerja di sebuah toko minyak wangi milik sang ayah. Setelah sang ayah wafat, toko minya wangi itupun berpindah tangan kepadanya.
Episode perubahan hidup ‘Attar dimulai sejak pertemuannya dengan seorang laki-laki tua.
Laki-laki renta yang fakir, tak punya apapun selain jubah yang menempel di kulitnya yang keriput. Pak tua yang tergopoh-gopoh itu sekuat tenaga menghampiri bangunan megah, yang tak lain adalah toko ‘Attar. Menduga si fakir akan mengemis, ‘Attar pun segera bangkit dari
tempat duduknya, menghardik dan mengusirnya agar pergi meninggalkan tokonya. Namun, si fakir berkukuh tak mau pergi dari tempat usaha ‘Attar. Lalu dengan tenang si fakir berkata pada ‘Attar, ''Tak sulit bagiku untuk meninggalkan tokomu ini, bahkan mengucapkan selamat tinggal kepada kemegahan dunia pun bagiku tak susah. Yang melekat di badanku hanyalah sehelai jubah yang lusuh ini. Aku justru merasa kasihan kepadamu, bagaimana kamu meninggalkan dunia ini dengan harta yang kamu miliki.'' `Attar tersentak, lalu menjawab spontan, “Bagiku juga tidak sukar meninggalkan duniaku yang penuh kemewahan ini!”
Belum usai `Attar menjawab, fakir tua renta itu roboh dan meninggal seketika. `Attar terperanjat. Sehari kemudian, setelah menguburkan fakir itu selayaknya, `Attar menyerahkan
penjagaan toko-tokonya yang banyak di Nisyapur kepada sanak-saudaranya. Layaknya orang
miskin tadi, dia sendiri mengembara ke seluruh negeri untuk menemui para guru tasawuf
terkemuka, tanpa membawa uang satu peser pun. Beberapa negeri yang disinggahinya antara
lain, Ray, Kufah, Makkah, Damaskus, Turkistan, hingga India . Di setiap syekh yang
ditemuinya, ‘Attar mempelajari tarekat dan menjalani kehidupan di khaniqah (tempat-tempat
berkumpul untuk latihan dan praktik spiritual). Sungguh perjumpaannya dengan si fakir telah
mengubah jalan hidupnya.
Beberapa tahun kemudian, dalam usia 35 tahun, dia kembali ke tanah kelahirannya sebagai guru
kerohanian yang masyhur. Dia melanjutkan lagi profesinya sebagai ahli farmasi dan saudagar
minyak wangi, di samping memberikan latihan-latihan kerohanian dan membuka sejumlah sekolah.
Kekayaannya semakin bertambah-tambah, seiring popularitasnya sebagai seorang sufi.
Di antara kepiawaian `Attar yang telah lama dikenal penduduk Nisyapur ialah kemahirannya
bercerita. Cerita yang ia lantunkan umumnya berkisar buah pengalamannya menjelajahi hakikat
hidup. Ia sering melayani pasien-pasien dan pelanggannya dengan bercerita sehingga memikat
perhatian mereka. Di emmanfaatkan waktu luang di sela-sela bekerja dengan menulis cerita. Di
antara karya `Attar yang terkenal ialah Mantiq al-Tayr (Musyawarah Burung), Thadkira
al-`Awlya (Anekdote Para Wali), Musibat-namah (Kitab Kemalangan) dan Ilahi-namah (Kitab
Ketuhanan). Semua karyanya itu ditulis dalam bentuk prosa-puisi yang indah, kaya dengan
hikmah dan kisah-kisah perumpamaan yang menarik.
Ada sumber yang mengatakan, jumlah buku puisi yang ditulis ‘Attar mencapai 114 atau sama
dengan jumlah surat dalam Alquran. Namun, studi yang lebih realistis memperkirakan puisi
yang ditulis ‘Attar mencapai sembilan sampai 12 volume. Secara umum, karya-karya ‘Attar
dapat dibagi ke dalam tiga kategori.
Pertama, puisi yang ditulisnya lebih bernuansa tasawuf atau sufistik yang menggambarkan
keseimbangan yang sempurna. Kategori pertama ini dikemas dengan seni cerita bertutur. Kedua, puisi-puisi yang memuat tujuan untuk menyangkal kegiatan panteisme. Ketiga, puisi-puisi yang berisi sanjungan terhadap Khalifah Ali bin Abi Thalib.
Salah satu karya yang utama dari ‘Attar berjudul Asrar Nameh (Kitab Rahasia). Karya lainnya
yang terkenal dari ‘Attar adalah Elahi Nameh tentang zuhud dan pertapaan. Kitab Asrar Nameh
itu konon dihadiahkan kepada Maulana Jalaludin Rumi ketika keluarganya tinggal di Nisyapur
dalam sebuah perjalanan menuju Konya .
Ada momentum pertemuan antara ‘Attar dan Jalal al-Din al-Rumi. Kala itu Rumi kecil
diramalkan akan menjadi seorang tokoh besar dan terkenal. Ramalan itu ternyata benar-benar
terbukti. ‘Attar meninggal dunia di usianya yang ke-70 tahun. Ia ditawan dan kemudian
dieksekusi oleh pasukan Tentara Mongol yang melakukan invasi ke wilayah Nisyapur pada 1221
M. Kisah kematian ‘Attar memang simpang siur, dan masih sering berbaur antara legenda dan
spekulasi.
Menurut sebuah cerita, ‘Attar dipenjara oleh tentara Mongol. Lalu seseorang datang dan
mencoba menebusnya dengan ribuan batang perak. Namun, ‘Attar menyarankan agar Mongol tak
melepaskannya. Tentara Mongol mengira penolakan itu dilakukan agar tebusan yang diberikan
lebih besar. Setelah itu datang lagi orang lain yang membawa sekarung jerami untuk menebus
‘Attar. Kali ini ‘Attar meminta agar Mongol melepaskannya. Tentara Mongol pun marah besar
dan lalu memotong kepala ‘Attar.
‘Attar dimakamkan di Shadyakh. Makamnya yang megah dibangun Ali-Shir Nava'i pada abad ke-16.
Sosok ‘Attar hingga kini masih tenar dan populer di Iran . Tak heran, bila makamnya banyak
dikunjungi para peziarah.

Mantiq al-Thayr: Tujuh Pendakian Menuju Hakikat
Mantiq Al-Tayr (Musyawarah Burung) merupakan karya yang paling fenomenal dari Fariduddin
‘Attar. Kitab itu berisi pengalaman spiritual yang pernah dilaluinya untuk mencari makan dan
hakikat hidup. ‘Attar menuangkan pengalamannya itu melalui sebuah cerita perjalanan
sekawanan burung agar lebih mudah dimengerti.
Dengan gaya bertutur tinggi, kitab itu mengisahkan perjalanan sekawanan burung untuk mencari raja burung yang disebut sebagai Simurgh yang berada di puncak Gunung Qaf yang agung, terletak sangat jauh dari tempat mereka berada. Sebelum menempuh perjalanan berkumpulah segala burung di dunia untuk bermusyawarah. Tujuan mereka hanya satu yakni mencari raja.
Dalam perjalanan itu, para burung yang dipimpin oleh burung Hud-hud harus melalui tujuh
lembah (wadi). Ribuan burung sedunia pun berangkat. Namun yang berhasil bertemu dengan sang Simurgh hanyalah 30 ekor saja. Tujuh lembah yang dikisahkan dalam cerita itu melambangkan tingkatan-tingkatan keruhanian yang telah dilalui ‘Attar selama berkelana mencari hakikat hidup.
Apa yang diceritakan di atas tak lain adalah simbol-simbol dunia mistik yang agung. Hudhud,
yang merupakan burung kesayangan Nabi Sulaiman a.s., menjadi lambang guru sufi yang telah
mencapai tingkat ma’rifat yang tinggi. Adapun burung-burung merupakan lambang jiwa atau roh manusia lapar akan Hakikat Ketuhanan. Simurgh sendiri melambangkan diri hakiki mereka dan sekaligus lambang hakikat ketuhanan.
Perjalanan yang melalui tujuh lembah ini merupakan lambang tahap-tahap perjalanan sufi
menuju cinta ilahi. Masing-masing tahapan (maqam) menghadirkan pengalaman situasi (ahwal)
jiwa/rohani. Uraian keadaan rohani yang disajikan `Attar menarik karena menggunakan
kisah-kisah perumpamaan.
Secara simbolik, Mantiq al-Tayr menggambarkan bahwa jalan kerohanian dalam ilmu Tasawuf
ditempuh melalui tujuh lembah (wadi), yaitu: lembah pencarian (talab), cinta (`isyq),
makrifat (ma`rifah), kepuasan hati dan kebebasan (istighna), keesaan (tawhid), ketakjuban
dan kebingungan (hayrat), kefakiran (faqr) dan hancur (fana`). Namun `Attar menganggap bahwa secara keseluruhan jalan tasawuf itu sebenarnya merupakan jalan cinta, dan keadaan-keadaan rohani yang jumlahnya tujuh itu tidak lain adalah keadaan-keadaan yang bertalian dengan cinta. Misalnya ketika seseorang memasuki lembah pencarian. Cintalah sebenarnya yang
mendorong seseorang melakukan pencarian. Adapun kepuasan hati, perasaan atau keyakinan akan keesaan Tuhan, serta ketakjuban dan persatuan mistik (wahdatul wujud) merupakan tahapan keadaan berikutnya yang dicapai dalam jalan cinta. Satu persatu lembah-lembah itu memiliki kriteria-kriteria khas tersendiri.

Lembah thalab
Inilah lembah pertama yang harus dilalui seorang pencari dalam menjalani kehidupan
spiritualnya. Aneka ragam godaan duniawi akan menghampiri dan itu harus bisa ditaklukkan.
Para pencari diharuskan berjuang dengan gigih untuk mendapatkan cahaya ilahi yang didambanya dengan menghilangkan hasrat-hasrat duniawinya. Hasrat duniawi ini jangan diartikan dengan meninggalkan dunia sepenuhnya.
Melepaskan kecintaan pada dunia akan membuahkan keselamatan dari bahaya kehancuran diri dan sebagai labanya dapat menyaksikan cahaya kudus Keagungan Ilahi. Hasrat-hasrat murni kita dengan demikian juga akan berlipat ganda. Ikhtiar yang gigih untuk tidak terperdaya dengan hal-hal materiil akan menciptakan ketundukan total pada Kekasih. Tidak ada masalah lain baginya kecuali mengejar tujuan murni hidupnya dan dia pun tidak takut kepada naga-naga
kehidupan, yaitu hawa nafsunya. Pada level ini, sang salik sudah keluar dari sekat-sekat
dikotomis. Ia tidak lagi mempermasalahkan keimanan dan kekufuran, sebab dia telah berada
dalam Cinta.
`Attar bertutur, “Apabila kau gemar memilih di antara segala sesuatu yang datang dari Tuhan,
maka kau bukan penempuh jalan yang baik. Apabila kau suka memandang dirimu sendiri
dimuliakan karena memiliki intan dan emas segudang, dan merasa dihinakan karena hanya
memiliki setumpuk batu, maka Tuhan tidak akan menyertaimu. Ingatlah, jangan kau sanjung
intan dan kau tolak batu, karena keduanya berasal dari Tuhan. Batu yang dilemparkan oleh
kekasih yang setia lebih baik daripada intan yang dijatuhkan oleh seorang wanita perusak
rumah tangga.”
Pada lembah penyarian memang dibutuhkan usaha intensif dalam proses pencerahan spiritual.
Perlu kesabaran lebih hingga akhirnya meraih hidayah (petunjuk jalan). Di samping, harus
sekuat tenaga menguasai diri dan keluar dari jeratan hidup jasmani, yang menipu dan
menyesatkan.

Lembah ‘Isyq
Setelah melalui lembah pertama, sang pencari harus menemukan cinta sejati dalam dirinya
untuk dapat menghalau tangan hitam akal yang menutupi ketajaman mata batin. Hanya dengan
mata batinlah para pencari kebenaran ini dapat melihat realita apa adanya. Mata hati tidak
dapat dibohongi. Dalam kecintaannya, seorang pencari haruslah memiliki kesudian untuk
mengorbankan apa-apa darinya demi yang diharapkannya yang dicintanya. Keikhlasan dalam
berkorban menjadi parameter kebesaran cintanya. Sang penempuh benar-benar berupaya
menyucikan diri dengan cinta, demi meraih ketersingkapan batin dari kungkungan bentuk formal yang menyelimuti. Dalam syair mistiknya, Rabi‘ah al-Adawiyyah bersenandung:
Allah menutup hati makhluk-Nya dengan hijab yang halus Para ulama’ terhalang karena keluasan ilmunya Para zahid terhijab karena ambisinya Dan para hukamâ’ tak mampu menembus karena kehalusan hikmahnya Orang-orang arif dan para pecinta sejati alpa dari segala dinding Hal itu karena mereka menempatkan kalbu sucinya dalam cahaya Ilahi
Dari situlah cinta sejati lahir. Yaitu ketika penglihatan batin memperoleh pencerahan dan
mampu menembus bentuk zahir segala sesuatu sehingga mencapai hakikatnya yang terdalam.
Karena dapat melihat dari arah hakikat, maka seorang pencinta dapat memiliki gambaran yang
berbeda dari orang lain tentang dunia. `Attar sendiri mengingatkan:
Ketahuilah wahai yang tak pernah diberi tahu!
Di antara pencinta, burung-burung itu telah bebas
Dari kungkungan sangkarnya sebelum ajal mereka tiba
Mereka memiliki perkiraan dan gambaran lain tentang dunia
Mereka memiliki lidah dan tutur yang berbeda pula
Di hadapan Simurgh mereka luluh dan bersimpuh
Mereka mendapat obat demi kesembuhan mereka dari penyakit
Sebab Simurgh mengetahui bahasa sekalian burung
Lembah Ma‘rifah
Dengan mata hati yang terbuka, seorang pencari dapat melihat jelas realita ciptaan-Nya.
Dengan begitu kearifan akan menyertai kehidupannya. Jalan makrifat dapat dilalui dengan cara
tata cara ibadah yang khusuk, dan latihan-latihan penempaan diri. Tentu setelah melalui
jalan cinta.
Kearifan merupakan hasil yang diperoleh seseorang setelah memperoleh penglihatan batin yang
terang, di mana ia mengenal dengan pasti hakikat tunggal segala sesuatu. Kearifanlah yang
akan melestarikan kesadaran ilahiyahnya dari kealpaan jiwa berikut kelemah-lemahannya yang
merintangi. Itu sebabnya mengapa kearifan tidak bisa disamakan dengan pengetahuan biasa.
Pengetahuan biasa bersifat sementara, kearifan ialah pengetahuan yang abadi, sebab isinya
ialah tentang Yang Abadi.
Nur (cahaya) akan bersinggah pada seorang yang mencapai makrifat, buah jerihpayah
ikhtiyarnya, plus mendapat peringkat spiritual dalam mengenal kebenaran Ilahi. Mata orang
arif terbuka kepada Yang Satu, bagaikan bunga tulip yang kelopaknya selalu terbuka kepada
cahaya matahari. Dengan nur ini seseorang mendapat anugrah yang amat dahsyat. Karena nur
adalah pengetahuan (‘ilm). Pengetahuan di sini bukanlah sebarang pengetahuan, karena ‘ilm di
sini langsung bersumber dari Sang Kekasih pujaan. Tentu saja hal itu akan diraih setelah
benar-benar suci dari berbagai bentuk maksiat, yang bisa menjelma menjadi hijab bagi
kesadaran rohani. Sebagaimana dituturkan Muhammad ibn Idris al-Syafî’î:
Dan guruku telah berwasiat kepadaku
Bahwa ilmu itu nur (cahaya)
Dan nur Allah tak akan dihadiahkan
bagi orang yang gemar durhaka

Lembah istighna’
Lembah ini merupakan tahapan yang harus dilalui para pencari yang sudah mampu menghilangkan nafsu untuk mendapatkan sesuatu dengan mudah atau dengan ikhtiar biasa. Dalam tingkatan ini kesibukan seorang pencari akan fokus pada hal-hal yang utama dan hakiki. Dia melihat segala seakan biasa, tanpa ada yang mengherankan.
Karena pandangan telah tercerahkan oleh kehadiran Yang Abadi, maka seseorang tidak pernah
melihat ada yang baru atau ada yang lama di dunia ini. Lautan tampak sebagai setitik air di
tengah wujud-Nya yang tak terhingga luasnya, dan dadanya selalu lapang sebab dia mengetahui
bahwa rahmat Tuhan tidak akan pernah menyusut atau berkembang. Seseorang merasa puas dengan rahmat yang dilimpahkan Tuhan. Oragn seperti ini akan meninggalkan hal-hal sia-sia. Di dunia ia hanya tinggal bekerja, berikhtiar dan berusaha sesuai potensi dan pengetahuannya tentang sesuatu, dan hasil terpasrahkan penuh pada Yang Maha Rahman.
Menurut `Attar, tujuan ini tercapai hanya manakala seseorang melakukan kewajiban yang
dipikulkan kepadanya tanpa beban. Segala kealpaan dan kelalaian terhadap agama harus diisi
dengan keimanan yang teguh atau (haqq al-yaqin).
Berkenaan dengan makrifat para sufi biasanya juga menggunakan istilah lain untuk
menggambarkan keadaan ini, yakni musyahadah, artinya penyaksian bahwa Tuhan itu satu.
Musyahadah menjamin stabilitas jiwa dan pikiran seseorang, sebab benar-benar telah terpaut
pada tali Yang Satu. Istilah lain yang digunakan para sufi untuk keadaan ini ialah haqq
al-yaqin, yakni yakin secara mendalam bahwa kebenaran hakiki ialah Dia. Keyakinan seperti
itu sudah barang tentu mendatangkan kepuasan rohani dan kebebasan daripada yang selain Dia.
Jadi batas antara lembah makrifat dan lembah isytighna tidak begitu jelas.

Lembah tauhîd
Lembah keesaan murni ialah sebuah lambang wujud, di mana dalam jagat raya ini hanya ada satu wujud, yaitu wujud Tuhan. Segala wujud yang di alam yang tampak bervariasi ternyata
bersumber dari hakikat yang sama. Cinta Yang Satu, rahman dan rahim, telah mengejawentah
menjadi semesta kehidupan yang tampaknya terpecah-pecah, tersekat-sekat, saling berlainan,
namun pada hakikatnya satu.

Lembah Hayrat
Di lembah ini sang pencari akan mengalami ketakjuban luar biasa karena semua menjadi serba
terbalik. Siang jadi malam, malam jadi siang, semuanya serba berubah. `Attar memberi contoh
“Kisah Seorang Putri Raja Yang Mencintai Hambanya”. Hamba di sini melambangkan seorang salik yang tak memikirkan apa-apa lagi, yang penting mengabdi. Sang hamba benar-benar tenggelam dan hanyut dalam pengabdiannya hingga dia memancarkan keindahan luar biasa. Putri raja diam-diam jatuh cinta kepadanya, dan dengan dibius oleh dayang-dayangnya maka hamba itu pun dibawa ke peraduan sang putri, diberi minuman dan makanan lezat, dihidangi tari-tarian dan musik yang indah, sebelum keduanya beradu. Hamba tersebut mengalami semua itu antara sadar dan tak sadar, penuh kebingungan.

Lembah faqr
Inilah lembah terakhir dari sebuah pencarian. Ketika sampai pada level ini, sang pencari
akan menemukan dirinya secara utuh. Yang ditemukannya hanyalah dirinya dan hakikat dirinya.
Setelah tahap inipun sang pencari akan menemukan Simurgh yang tak lain adalah hakikat
dirinya sendiri. Jiwa orang yang melewati ini telah penuh terisi oleh-Nya. Dengan demikian,
sebesar apapun pengorbanan akan dilakukan demi Kekasihnya.

Lembah fanâ’
Inilah lembah terakhir dari sebuah pencarian. Ketika sampai pada level ini, sang pencari
akan menemukan dirinya secara utuh. Yang ditemukannya hanyalah dirinya dan hakikat dirinya.
Setelah tahap inipun sang pencari akan menemukan Simurgh yang tak lain adalah hakikat
dirinya sendiri.
Manunggaling kawula Gusti atau Unio-mystica, wahdatul wujud mempunyai pengertian yang mirip bahkan sama dengan Fana’ , yakni persatuan mistik. Keadaan ini disusul dengan baqa’, yaitu satu kondisi dimana eksistensi salik telah tenggelam dalam diri Tuhan. Pada maqam ini, dia
akan mengenal dirinya yang hakiki, dirinya yang universal, dan dengan demikian mengenal
sungguh-sungguh asal kerohaniannya.
‘Attar bersyair indah:
Melalui kesukaran dan kehinaan jiwanya burung-burung itu pun susutLantas hapus (fana’), sedangkan tubuh mereka menjelma debu
Setelah dimurnikan maka mereka pun menerima hidup baru
Dari limpahan Cahaya Tuhan di hadirat-Nya
Sekali lagi mereka menjadi hamba-hamba-Nya dengan jiwa segar
Sekali lagi di jalan lain mereka binasa dalam ketakjuban
Perbuatan dan diam mereka di masa lalu telah dienyahkan
Dan disingkirkan dari lubuk hati serta dada mereka
Matahari Kehampiran bersinar terang dari diri mereka
Jiwa mereka diterangi semua oleh cahanya
Dalam pantulan wajah tiga puluh (si-murgh)
Mereka lantas menyaksikan wajah Simurgh yang sebenarnyaApabila mereka memandang, yang tampak hanya Simurgh:
Tak diragukan Simurgh ialah tiga puluh ekor burung
Semua bingung penuh keheranan, tak tahu apa mereka ini atau itu.
Mereka memandang diri mereka tak lain adalah Simurgh.
Pada bagian lain `Attar menyatakan:
Bebaskan dirimu dari segala yang kaumilikiCampakkan semua dari sisimu satu demi satu
Lantas asingkan dirimu secara rohani dari dunia
Apabila batinmu telah menyatu dengan kefakiran
Kau akan bebas dari kebaikan dan keburukan
Dan jika kebaikan dan keburukan telah kaulalui
Kau akan menjadi seorang pencinta

Referensi:
Bayat, Mojdeh, dkk., Para Sufi Agung: Kisah Dan Legenda, Yogyakarta: Pustaka Sufi, 2003.
Muryanto, Sri, Ajaran Manunggaling Kawula-Gusti, Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2007.
Hadi WM, Abdul, Sastra Islam I: Karya-Karya Klasik Terpilih Dari Sastra Arab Dan Persia,
Jakarta: Paramadina, 2006.
_______, Sastra Sufi: Sebuah Antologi, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1985.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar