Minggu, 05 April 2009

MAKALAH SASTRA ISLAM
MENGENAI FAKHRUDDIN ‘IRAQI

MASA KECIL FAKHRUDDIN ‘IRAQI
Fakhruddin Ibrahim, dipanggil ‘Iraqi, lahir di desa Kamajan dekat kota Hamadan sekitar tahun 610H/1213M. Para leluhurnya merupakan ilmuwan dan budayawan. Sebulan sebelum kelahirannya, ayahnya bermimpi bertemu dengan ‘Ali ibn Abi Thalib (menantu Nabi Muhammad, Khalifah keempat Sunni dan Imam Pertama Syi’ah, dan model par excellence bagi para sufi setelah Nabi). ‘Ali bersama dengan para wali berada di sebuah taman. Seseorang maju dan meletakkan seorang anak di tanah di depan ‘Ali, yang kemudian memangku bayi tersebut; lalu, memanggil ayah ‘Iraqi, Ali memberikan anak itu kepadanya dan berkata, “Terimalah ‘Iraqi kita dan besarkan ia dengan baik, karena ia akan menjadi penguasa dunia!”. Sang ayah terbangun dari tidurnya dengan bahagia, “ketika ‘Iraqi lahir, aku melihat wajahnya dan tahu bahwa dia tampak menjadi anak dalam mimpiku itu”.
Pada usia lima tahun ‘Iraqi sudah disekolahkan. Pada usia sembilan tahun dia sudah menghafal keseluruhan al-Qur’an, dan pada waktu pagi-pagi ia akan menyenandungkan al-Qur’an dengan suara merdu, terkadang ia menangis sehingga setiap orang yang mendengar suara merdunya menjadi sedih dan gelisah. Para tetangganya terkagum-kagum olehnya, dan akan menunggu dengan setia pembacaan hafalan al-Qur’annya setiap pagi. Kala berusia delapan tahun dia sudah sangat terkenal di seluruh Hamadan. Setiap hari setelah shalat Ashar dia akan mengulang hafalan al-Qur’an dan sangat banyak orang akan duduk mendengarkannya.
Suatu hari di mesjid dia kebetulan mengulang surat Thaha, sebagai bagian dari hafalannya hari itu. Sejumlah nonmuslim melintas di saat dia mengulang ayat 127 surat Thaha,
“Dan demikian Kami membalas orang yang boros (israf) dan tidak beriman pada ayat-ayat Tuhannya. Sungguh , azab akhirat lebih pedih dan kekal”.
Tiga orang diantara mereka tiba-tiba terhenti dan mendengarkan, lalu masuk ke dalam mesjid, dan akhirnya bersimpuh di hadapan ‘Iraqi lalu dengan gembira menerima Islam melalui tangannya. Seluruh penduduk kota berkumpul, merayakan kepindahan agama ini dengan penghormatan besar di sepanjang jalan, dan memberi uang kepada mereka. Bagaimanapun mereka tidak mau menerima sesen pun, melainkan kembali ke rumah dan menjelaskan kepercayaan itu pada keluarga dan anak-anak mereka, lima darinya beralih agama pula.



MASA REMAJA FAKHRUDDIN ‘IRAQI (MASA BERKELANA)
Pada usia tujuh belas tahun ‘Iraqi telah belajar semua pengetahuan, baik yang naqli (transmitted) maupun yang ‘aqli (intellectual), dan telah siap untuk mulai mengajar yang lain.
Suatu hari kebetulan sekelompok darwis pengelana (Kalandar) datang ke kota. Mereka mulai melaksanakan satu diantara acara perjumpaan mereka dan dengan melodi yang merdu menyenandungkan syair-syair berikut:
T’lah kami alihkan tikar dari mesjid ke reruntuhan kedai
T’lah kami torehkan di atas halaman pertapaan dan t’lah kami hapus s’tiap keajaiban kesalihan
Kini kami duduk di golongan pencinta di jalan setapak Yang ghaib dan minum secawan dari tangan-tangan para pengunjung kedai yang risau
Bila kini hati harus kalahkan genderang kehormatan, mengapa tidak?
Kar’na t’lah kami naikkan panji keberuntungan kami ke langit yang tinggi
T’lah kami lintasi s’tiap alam peniadaan diri, setiap maqam-maqam tasawuf
Betapa pun, telahkah kami kosongkan dari seluruh maqam itu
Cawan kekerasan?
‘Iraqi telah melihat kelompok kecil ini, dan bara cinta tersangkut pada timbunan rumput kering pikirannya dan menelannya. Dia merobek sorban dan jubahnya (pakaian mahasiswa teologi) dan memberikannya pada para Kalandar, sambil berucap:
Betapa bila sahabat akrabku, kekasihku, kesayanganku, betapa indah, bila itu dikau.
Bila kamu ramu obat ‘tuk hatiku, yang tersiksa kepedihan,bila kau obati jiwaku,betapa indah.
Ku kan mengembang sebegitu senang bumi tak kan menahanku
Walau hanya ‘tuk sesaat kau kan minum kesedihanku.
Keadaanku sulit, namun betapa sederhana hal ini kan terjadi, bila kau satukan dirimu di dalamnya.
Biarlah s’luruh dunia nyatakan perang padaku.
Apa yang’kan kutakuti, dengan kau pembelaku?
Bagai turunnya Bulbul ‘ku menangis dan nangis di s’tangkai bunga,
Bayangkan dikau kan jadi mawarku.
Haruskah ‘ku gambarkan kecantikan seraut wajah bagai rembulan
Atau pipi-pipi digelayuti rambut ikal; ‘ku kan tulis tentangmu
Dan ‘pakah kujelaskan namamu atau tak
Kau kan jadi tujuan seluruh kata-kataku
Aku -‘Iraqi- mengikatkan hatiku padamu
Kar’na kuinginkan kau, kau, s’bagai kasihku

Setelah beberapa saat, para Kalandar meninggalkan Hamadan menju Isfahan. Tak seberapa lama setelah mereka lenyap ‘Iraqi dihinggapi kerinduan pada mereka. Dia mulai membuang buku-bukunya:
Dari s’luruh kenangan besar yang ia kumpulkan hanyalah kelupaan!
Tentang tata bahasa, dia nyatakan ubi jalar!
Penjelasan-penjelasan Ibn Sina ia cap khayalan!
Tanda-tanda pengungkapan eksoteris menjadi misteri interpretasi esoteris!
Tentang isi seluruhnya, ia kosongkan!
Tentang rincian-rincian ikhtisar dia abaikan!
Tentang taman astronomi, hanya buah yang dia petik di dalam adalah permainan para pencinta!

Dan bahasa wacana rasional ia pindahkan pada bahasa mabuk kepayang spiritual. Ringkasnya, bagai seorang yang telah siap dilepas dari dunia, dia berangkat mengejar para pengelana itu dan telah berjalan dua mil ketika dia menjumpai mereka. Dia lalu bersenandung:
T’lah kulihat lorong kesalihan merentang keluar, jauh, jauh dalam kejauhan;
Kekasih-kekasihku,maka tak dapatkah dikau tunjukkan daku kemudian
Jalan orang gila ?
Bawakan daku secawan anggur Keghaiban yang ‘kan kuteguk mendalam
Kar’na ‘ku t’lah diberi seluruh pikiran tentang kesalihan pertapaan;
Atau bila anggur murni telah dituang seluruhnya bawakan daku ampas-ampas keruh
Kar’na sisa-sisa yang kental nyinari hati dan ‘kan ‘nerangi mata.
Dua sen ‘tuk rumah pertemuan sufi! ‘ku tinggalkan kumpulan orang-orang budiman;
Isilah secawan kosong dengan anggur dan bawa padaku seg’ra.
‘ku t’lah tak punya hukum pun aturan, tiada pula hati pun agama ----
‘ku hanya terpaku, dan kau, duduk di sudut, dan kayanya Kemiskinan.
S’tiap ketakutan pada Allah, s’tiap p’nolakan diri ku tolak; bawakan anggur, hanya anggur
Kar’na dalam s’gala ketulusan ku bertobat,
Ibadahku yang hanya kemunafikan.
Ya, bawakan daku anggur, karena ku t’alah tinggalkan s’tiap penolakan dan s’tioap gemerlap kebudimanku
Tampak padaku hanya keangkuhan dan pamer diri.
Kini ‘tuk sesaat biarkan ‘ku ‘njadi anggur m’lawan duka cita waktu
Kar’na hanya dikemabukan seorang dapat bebas dari masa sedih
Seg’ra ku minum sepenuhnya, ‘pa bedanya jika ‘ku akhiri di gereja ‘tau di Mekah?
Seg’ra ‘ku abaikan diri, ‘pa masalahnya bila ‘ku inginkan penyatuan ----‘tau pemisahan?
‘ku t’lah ke biara dan temukan tak seorang pun selain kemunafikan.
Kini t’lah kurusak tobatku, setidaknya jangan rusak janji kita;
Sekurangnya sambutlah yang putus asa ini dan ucapkan
“Bagaimana kau? Dimana kamu?”
Daku t’lah ke Mekah, menawafi Ka’bah tapi mereka ‘nolakku masuk sambil bilang “berhenti, Kebaikan ‘pa yang telah kau dengar diluar, hingga kami harus menerimamu di dalam?”
Kemudian, di malam terakhir, kuketuk pintu kedai;
Dari dalam sealun suara. “’Iraqi! Masuk! Kar’na kau satu diantara yang terpilih!”

Para Kalandar menerimanya dengan sangat gembira. Mereka segera mendudukkannya, mencukur rambut dan alisnya (sebuah serangan melawan kebiasaan orang salih) dan membuatnya sama dengan mereka sendiri. Dia melanjutkan perjalanan bersama mereka melalui Persia dan Akhirnya ke India.

PERTEMUAN DENGAN SYEIKH BAHAUDDIN
Di Multan (sekarang Pakistan) mereka berhenti sesaat di kediaman Syeikh Bahauddin Zakariya Multani. Syeikh Bahauddin adalah kepala Tarikat Suhrawardi, dan pengganti langsung Syihabuddin Suhrawardi al-Baghdadi (539H/1145M – 632H/1234M) Syeikh Suhrawardi terbesar kedua. Syeikh Bahauddin lahir pada 578H/1182M di Multan, keturunan suku Quraisy dari Mekah, suku Nabi. Dia adalah seorang yang memliki kesiapan pencapaian spiritual besar. Ketika kembali pulang dari Ibadah haji ke Mekah berjumpa dengan Syihabuddin Suhrawardi al-Baghdadi dan diinisiasi (diresmikan) oleh Syihabuddin. Setelah satu periode mengikuti disiplin tarekat Suhrawardiyah, dalam mimpi Bahauddin menerima sebuah mantel atau jubah dari ‘Arasy Ilahi, dan ketika bangun dari tidurnya, ia temukan jubah tersebut pada dirinya secara aktual. Pada umumnya, para syeikh sufi menerima jubah-jubah serupa dari Syeikh mereka sendiri sebagai sebuah tanda jenjang spiritualitas mereka ketika mereka ditetapkan sebagai penggantinya. Tapi menurut cerita tadi, maqam Bahauddin telah begitu tinggi sehingga perintah untuk menjadi seorang syeikh diterima langsung dari Allah tanpa perantara. Riwayat memang terus menyatakan bahwa pada malam yang sama, dia juga ditetapkan sebagai pemimpin oleh Suhrawardi, yang memberinya dua jubah lebih, satu diterima dari Nabi sendiri, dan yang lainnya milik Suhrawardi.
Dalam penglihatan ekstatis Bahauddin menerima gelar Qutb (Pole of the Age) dari Allah, Ghauts (support of Islam), dan bahkan dua nama yang biasanya digunakan untuk Allah sendiri al-Kabir (The Great) dan al-Munir(The Enlightener).
Ketika bahauddin kembali ke Multan, Tarikat Suhrawardi telah siap masuk ke India, tapi di bawah kepemimpinannya ia mengakar dan menyebar. Dia sangat kaya, dan mendiami istana layaknya seorang bangsawan; ini bertentangan dengan beberapa gaya keras tarikat india lainnya seperti Syisytiyyah. Tak seorangpun mengkritik Bahauddin sendiri karena kemewahannya ini sebab keagungan dan maqam spiritualnya sudah tak dipertanyakan; namun adalah benar bahwa Suhrawardiyyah tidak pernah memperoleh pengikut di antara sejumlah penduduk dan saat ini sangat kecil.
‘Iraqi dan sahabat-sahabatnya diperlakukan dengan ramah oleh Bahauddin, dan diberi kehormatan mencium tangannya. Sang wali, melihat semua anggota Kalandar dan segera melekatkan pandangannya pada ‘Iraqi seakan dia telah mengenal anak muda itu. “anak muda ini punya kesiapan yang lengkap dan menyeluruh” ungkap syeikh pada pengikut dekatnya, Imaduddin. “dia sebaiknya tinggal bersama kita”. ’Iraqi sendiri merasakan sebuah ketertarikan luar biasa pada sang wali, tapi dia tak ingin mengatakannya; dia minta sahabat-sahabatnya pergi secepat mungkin, sambil mengatakan , “hanya sebagaimana sebuah magnet yang menarik besi, maka Syeikh akan menahanku. Kami harus segera pergi!”
Maka mereka berangkat, dan sampai di Delhi di mana mereka berhenti sejenak. Setelah sesaat mereka mulai bosan dengan Delhi dan memutuskan pergi ke Somnath. Tapi pada hari keenam perjalanan, angin badai menerpa mereka, dan ‘Iraqi dengan seorang dari sahabatnya yang lain terpisah saat istirahat. Kala menunggu teman-temannya, ‘Iraqi menangis berlebih-lebihan dan bersenandung:

Di manakah keintiman jiwaku yang minum kesedihanku?
Dimanakah hasrat dari seluruh dunia?
Jiwa dunia? Saksi jiwa manusia dan jin?
Ah! Bingung dan gila dengan cintakah aku: dimanakah sahabat yang manis?

Setelah berjalan siang dan malam mereka dapai diri mereka di pagi hari kembali ke gerbang Delhi. Beberapa hari mereka menunggu di kota, tapi ketika tidak ada informasi yang mereka terima mengenai sahabat-sahabatnya, ‘Iraqi memutuskan untuk kembali ke Syeikh Bahauddin dan membicarakan maksud tersebut dengan sahabatnya. Bagaimana Kalandar menolak menemaninya, sambil mengatakan bahwa mereka lebih suka menetap di Delhi.
Ketika ‘iraqi sampai di kediaman di Multan, sang wali menerimanya, tapi menyindirnya, “Iraqi, kau melarikan diri dari kami!”, “iraqi menjawab:
Hatiku tak’kan kar’na satu hal pergi darimu
Karena bagaimana tubuh bisa renggutkan dirinya dari jiwa?
Perhatian kebapakan dari kebaikanmu memelukku dalam tangannya;
Bahkan sebelum ibuku ia menetiku dengan seribu jenis susu.

Segera syeikh menyuruhnya menyendiri selama empat puluh hari, dan menempatkannya didalam sebuah bilik. Selama sepuluh hari ia duduk dan tak melihat seorang pun. Tapi pada hari kesebelas, ia dilanda mabuk kepayang (ecstasy) dia menangis keras dan bersenandung;
Anggur pertama dituang ke cawan
Mereka pinjam dari mata pelayan mabuk
Dan dapati mereka sendiri di antara yang bersuka ria
Tuangkanlah mangkuk peniadaan diri
Apa yang terasa dari gadis ---
Noda merah bibirnya --- mereka disebut pencinta anggur
Dan dari legam rambut ikalnya yang membuat jaring bagi perburuan terhadap hati-hati dunia.
Mereka hancur-campurkan kepdihan semesta dan menyebutnya cinta
Petunjuk jejak-jejak berhala tak henti menggemparkan---
Sebegitu banyak t’lah mereka gelisahkan hati para pencinta
Kar’na manisan para pemabuk yang mereka rengkuh
Buah badam dari bibir-bibir, buah kenari dari seluruh mata;
Dari mulut itu menjadi begitu terpuji
Sakit cinta menyimpan tak lain hanya kegelisahan.
Ruang besar ini punya ruang ‘tuk baik dan buruk
Sebuah cawan ‘tuk yang tak sopan dan Yang terpilih;
Lirikan-lirikan ini menceritakan epik pada jiwa
Alis mata ini tanda ajaran pada hati
Kunci cinta menyusun perangkap
Tiap desah temukan pujiannya….
Dibalik layar perbincangan rahasia-rahasia
Lalu secara terbuka singkapkan semuanya ------
Mereka begitui bebas dengan kekayaannya------
Mengapa kemudian mereka harus keliru, ‘Iraqi?

Beberapa darwis lain yang kebetulan mendengarnya, serta merta lari dan menceritakan pada syeikhnya apa yang terjadi. Aturan Suhrawardi keras, dan membatasi pengikutnya pada aturan aktivitas kesalihan. Darwis-darwis tertentu telah mencurigai kegilaan Kalandar muda tersebut, dan penghinaan baru ini sangat mengganggu mereka. Tapi sang syeikh, setelah emdnengar pengaduan mereka, mengatakan, “Kelakuaan semacam itu mungkin dilarang bagimu --- tapi tidak baginya!”
Beberapa hari kemudian, ketua murid, Imaduddin, melintas melalui pasar ketika dia mendengar puisi ‘Iraqi menjadi syair yang diiringi musik, yang adalah tak disukai oleh beberapa diantara mereka yang memegang arti harfiah hukum agama. Saat melalui kedia terlarang, dia menemukan hal yang sama: entah bagaimana puisi itu telah lepas dari pengasingan ‘Iraqi, dan menjadi sebuah hit (sukses)di separuh penduduk kota yang kurang terhormat. Dia kembali pada syeikhnya dan melaporkan apa yang telah dia dengar, dan mengulangi bait terakhir puisi. “Urusanya telah selesai!”, teriak sang syeikh, dan perlahan dia berdiri menuju pintu bilik ‘Iraqi. “’Iraqi!” dia memanggil, “adakah kau menyanyikan puji-pujian di kedai? Keluarlah!”. Puisi terdengar dari biliknya, dan sambil menangis meletakkan kepalanya di kaki sang syeikh. Tapi syeikh bahauddin mengangkat kepala ‘Iraqi dari debu dan tak akan membiarkannya kembali ke biliknya, Sang pemuda bersenandung:
Di kedai-kedai anggur jalanan, kapan ku ‘kan ‘emuji?
Karena kemabukan dan kesadaranku sama semua sama sebagai pujian.
Di sana, tak seorang pun menerima uang logam kebajikan, kesalihan dan penolakan diri:
Mata uang yang baik di jalan itu hanyalah pengemis.
Tak seorang pun selain pemabuk yang tahu rahasia-rahasia kedai ---
Bagaimana bila seorang yang sadar menyingkapkan rahasia-rahasia jalan-jalan itu?
Segera itu kujumpai bayang-bayang kecerdasan kedai anggur itu
Ku nyatakan karya yang lain dari milik mereka tak lain hanyalah fabel.
Adakah kau ingin wisata yang dipandu ke Mekah Cinta?
Datanglah, duduk di kedai, karena perjalanan ke Arab adalah jauh dan menjenuhkan.
Semula mereka ‘enolakku masuk di kedai anggur maka ku pergi ke biara
Dan temukan sekeping pintu terbuka ---
tapi ‘ku dengar sealun suara dari dalam kedai sambil menangis, “’Iraqi!”
“Bukalah pintu ‘tukmu sendiri, karena gerbang kemabukan senantiasa terbuka!”

Segera sang syeikh melepas jubah dan mengenakkannya pada ‘Iraqi. Dia juga menjodohkannya dengan anak gadisnya, dan pernikahan dilaksanakan dimalam yang sama. Seorang anak lahir dari pernikahan ini, dinamai Kabiruddin. ‘Iraqi menetap di Multan melayani Bahauddin selama dua puluh lima tahun. Selama itu dia terus menggubah puisi, dan reputasinya tumbuh (dan hidup hingga saat ini di seluruh dunia berbahasa Persia, termasuk india).
‘Iraqi tak pernah sangat subur berkarya, dan seluruh koleksi karyanya dapat dikumpulkan dalam sebuah ukuran volume yang rata-rata sama. Disamping karya-karyanya yang lebih pendek, yang kebanyakan terdiri dari lirik dan kuatrain singkat, dia menulis sebuah puisi anekdot yang lebih panjang yang disebut ‘Usysyaq-namah, yang ia persembahkan pada wazir Syamsuddin Juwaini, yang dia jumpai di Turki menjelang akhir hayatnya. Tapi karya besar utamanya adalah Lama’at, yang ia gubah belakangan di Turki. Risalah filosofis yang panjang atau narasi yang luas bukanlah tipenya, dan dia secara khusus disukai karena sentuhan penjelasan, musikalitas, tantangan, dan bahkan goncangan perumpamaannya, dan kemampuannya mengekspresikan ajaran-jarana tasawuf yang sangat mendalam dengan gaya yang gamblang dan sederhana.
Akhirnya syeikh Bahauddin merasakan kedekatan ajalnya. Dia minta dan menetapkan ‘Iraqi menggantikannya dalam tarekat; ia lalu berlalu menuju Yang Maha Pengasih pada 666H/1267-1268H. kuburnya yang indah saat ini tetap dapat dikunjungi di Multan. Ketika para darwis yang lain mengetahui bahwa ‘Iraqi telah memimpin, jiwa mereka menggelora dengan kecemburuan dan kebencian. Ada diantara mereka yang menyusun rencana secara diam-diam, dan memilih ututsan untuk menyampaikan tuduhan-tuduhan mereka pada sultan, lalu menyampaikan “Inilah ‘Iraqi, yang sang wali telah salah pilih sebagai penggantinya, tak melaksanakan aturan, tapi menghabiskan waktunya menyenandungkan puisi dalam persahabatan dengan anak-anak muda”.
Sultan yang telah lama benci dan takut pada kekuatan tarekat, menggunakan peluang ini untuk melampiaskan dendam dan memaksakan kontrolnya. Dia mengirim seorang utusan dengan sebuah pesan agar ‘Iraqi menhadap ke istana, tapi sang sastrawan segera memutuskan untuk meninggalkan Multan. Dia mengucapkan selamat tinggal kepada para darwis; mereka yang kehilangan pemimpin yang mencari hidupnya, beberapa orang sahabatnya, orang-orang shalih dan beriman, memastikan menemani kepergiaanya. Rombongan lalu keluar ke pantai, disana mereka berangkat melalui laut, menuju ke Mekah.
Mereka tiba di Oman, dan berita mengenai kesampaiannya telah terdengar oleh sultan negeri itu, karena reputasi ‘Iraqi telah mendahuluinya. Dengan senang hati sultan telah siap menyambut para pengelana, dan dengan sekelompok pengawal keluar menyambut mereka. Ketika mereka telah sampai sultan melayani mereka sendiri dengan minum-minum, mempersilakan ‘Iraqi menunggangi kuda miliknya sendiri, dan menemani mereka ke kota dengan ramah dan penuh perhatian. Sultan menginapkan mereka di istananya, dimana mereka kemudian kelihatan baik. ‘Iraqi ditetapkan sebagai kepala syeikh wilayah tersebut, dan telah dilayani oleh setiap tokoh-tokoh lokal, para sufi, dan orang-orang shalih yang datang untuk menguji kemampuan mereka melawan batu ujian kehadirannya.
Waktu terus berlalu, dan para pengelana telah segar dari kelelahan yang mereka alamai dalam perjalanan; dan karena musim haji ke Mekah kini telah mendekat, mereka minta izin pada sultan untuk berangkat. Mereka melihat bahwa sultan tak ingin melepas mereka pergi, maka dengan bertawakkal kepada Allah, mereka bersiap-siap pergi secara rahasia. Sultan mendengar hal ini, dan berusaha mengikuti mereka; namun ketika dia menunggangi kudanya, binatang itu tersandung dan melemparkannya. Maka dia tinggal; tapi mengirim beberapa pegawainya di belakang rombongan ‘Iraqi dengan hadiah-hadiah berharga. Sultan menugaskan mereka menjelaskan hasratnya pada ‘Iraqi dan mencoba membujuknya agar kembali. Bila ia setuju, baik. Bila tidak, maka sultan berpesan pada pegawainya untuk memberikan hadiah-hadiah seadanya itu pada para khadam sang sastrawan, untuk bekal perjalanan mereka. Tapi ketika para utusan pergi ke satu arah, ‘Iraqi dan rombongan pergi ke arah yang lain.

PERTEMUAN DENGAN QUNAWI DAN RUMI
Dari damaskus ‘Iraqi dan dua sahabatnya menuju ke Turki di utara (disebut Rum atau Rome, karena ia termasuk wilayah imperium Bizantium), dan akhirnya menetap di Konya. Disini, dia punya kesempatan menjumpai dua sufi terkemuka pada masanya dan selamanya; Shadruddin Qunawi (w.673H/1274M) dan Maulana Jalaluddin Rumi (w.672H/1273M). ‘Iraqi punya hubungan baik dengan Rumi, bahkan beberapa murid Rumi belakangan menganggap ‘Iraqi termasuk di anatar pengagum Rumi. Dia sering menghadiri sesi musik, puisi, dan tari-tarian Rumi (yang tak diragukan lagi telah mempengaruhi karya spiritual dan kreatif ‘Iraqi); dan ‘Iraqi diketahui telah mengikuti upacara pemakaman Rumi. Setelah pindah ke Tokat, ‘Iraqi sering berbicara tentang Rumi; dia akan menarik nafas dalam-dalam lalu mengatakan, “tak seorang pun pernah memahaminya sebagaimana dia sebaiknya dipahami. Dia datang ke dunia sebagai seorang yang tak dikenal dan meninggalkannya sebagai seorang tak dikenal”. Namun dengan Qunawi, ‘Iraqi punya hubungan yang jauh lebih dekat; bagi ‘Iraqi, Qunawi menjadi seorang syeikh kedua, yang telah membentuknya secara intelektual sebanyak Bahauddin yang telah membentuknya secara spiritual.
Shadruddin Qunawi adalah putra seorang syeikh sufi terkenal dan terkemuka di Konya bernama Majduddin, dikenal sebagai Syeikh al-Salathin (The Teacher of Sultans) karena persahabatannya dengan penguasa kota itu. Majduddin adalah sahabat dan pengagum seorang syeikh mulia Andalusia Muhyiddin Ibn ‘Arabi. Ketika Majduddin wafat, jandanya (ibu Qunawi) dinikahi oleh Ibn ‘Arabi, yang lalu memperlakukan anak muda itu bagai anaknya sendiri. Ibn ‘Arabi mencuirahkan seluruh perhatian spiritualnya pada Qunawi, dan akhirnya menyebutnya sebagai khalifahnya atau pengganti yang dipilihnya.
Secara simultan, Qunawi adalah murid dari sahabat-sahabat dekat yang lain dari Ibn ‘Arabi seperti Auhaduddin Kirmani (w.635H/1238M), Syeikh Suhrawardi juga membimbing Qunawi sebagai murid dekat. Hubungan Qunawi dengan Kirmani diakhiri sekitar usia lima belas atau enam belas tahun. Qunawi selalu mengungkapkan, “Aku telah minum susu dari payudara dua ibu” – maksudnya Ibn ‘Arabi dan Kirmani- dan keinginan terakhir dan wasiatnya dia katakan agar dikubur dalam jubah Ibn ‘Arabi dan dibaringkan di atas sajadah Kirmani. Percampuran pengaruh dari dua syeikh ini pada Qunawi akan terlihat pada ‘Iraqi; karena sementara Ibn ‘Arabi adalah kombinasi unik dari penglihatan ekstatis dan teosofi terkemuka, kirmani adalah seorang sastrawan dan pencinta dalam gaya khas ‘Iraqi.
Lebih jauh, ‘Iraqi akan betah di rumah dengan kehadiran Qunawi. Tak diragukan lagi kenyataan bahwa Qunawi pernah diinisiasi oleh Suhrawardi dan ini membuatnya tertarik. Lagi pula, dalam beberapa hal Qunawi sangat mirip dengan syeikh Bahauddin; keduanya seorang sufi dan syeikh hukum syari’ah dan hadits. Ternyata, Qunawi adalah kepala syeikh Konya, dan di kediamannya agak berbau aristoktaris.
Semua ini sangat berbeda dengan gaya tasawuf Rumi; nyatanya, Rumi suka mengolok-olok para ilmuwan agama dan teolog, dan hidup sangat sederhana dan merendah, tidak memegang jabatan resmi apa pun. Pada awalnya ada ketidakacuhan tertentu antara Qunawi dan Rumi, tapi ketika akhirnya mereka bertemu, seluruh perbedaan mereka lenyap dan mereka akhirnya menjadi sahabat dekat. Sejumlah anekdot membuktikan persahabatn ini.
Pernah, misalnya, seorang syeikh terkenal berkunjung ke Konya, dan berjumpa dengan Rumi dan Qunawi. Ketika tiba waktu shalat Isya’, keduanya minta tamu yang terhormat itu yang mengimami. Kini, dalam mengimami shalat, seseorang bisa memilih surat tertentu diantara beberapa surat dalam al-Qur’an yang ia suka untuk dibaca dalam masing-masing dua raka’at. Biasanya orang memilih dua surat yang berbeda, sekalipun tidak salah mengulanmg surat yang sama dua kali. Dalam raka’at pertama tamu terhormat itu membaca surat al-Kafirun. Lalu dalam raka’at kedua, dia membaca surat yang sama lagi. Ketika shalat telah selesai, Rumi, menoleh pada Qunawi dan menyatakan dengan acuh tak acuh, “surat yang sama ia baca satu buatmu dan satu buatku!”. Ketika Rumi wafat, Qunawi diceritakan mengimami shalat jenazahnya dengan sedih, tapi ia hanya hidup beberapa bulan sesudahnya.
Sejumlah murid Qunawi lainnya yang mungkin telah baik dengannya ketika ‘Iraqi tiba, orang akan menjelaskan Sa’iduddin Farghani, ‘Affifuddin al-Tilimsani dari Afrika Utara, dan Mu’ayyiduddin Jandi.
Farghani adalah seorang penulis sebuah komentar yang luas atas salah satu di antara puisi-puisi sufi Arab yang sangat terkenal tentang Cinta dan Anggur, Nazhm al-Suluk atau Syair tentang Jalan (Poem of the Way) dari Ibn al-Farid. Farghani menulis karya ini pertama kali dalam bahasa Persia, dengan mendasarkan pada kuliah-kuliah yang diberikan oleh qunawi, lalu diterjemahkan sendiri ke dalam bahasa Arab. Versi Arabnya menjadi salah satu di antara karya-karya paling berpengaruh tentang ajaran metafisika madzhab Ibn ‘Arabi. Farghani adalah juga penulis sebuah karya Persia tentang syari’ah dan arti penting yang fundamental dari praktiknya bagi para sufi, berjudul Minhaj al-Ibad.
Jandi adalah penulis salah satu di antara komentar-komentar yang paling panjang, paling awal, dan paling luas dibaca atas masterpiece Ibn ‘Arabi, Fushush al-Hikam. Nafthat al-Ruh wa Tuhfat al Futuh karya Jandi yang berbahasa Persia merupakan sebuah ringkasan dalam dua bagian mengenai doktrin dan prkatik sufi.
Al-Tilimsani, sejak semula adalah murid Ibn ‘Arabi, tapi bahkan sebelum wafatnya Ibn ‘Arabi dia telah menjadi sahabat qunawi yang paling dekat. Jandi adalah penulis komentar-komentar penting berbahasa Arab tentang Fushush al-Hikam dan al-Mawaqif karya Niffari., sebaik sebuah Diwan puisi Arab. Qunawi meninggalkan karya-karyanya kepada al-Tilimsani ketika dia meninggal.
Tak seperti ‘Iraqi, Qunawi adalah seorang penyegan atau pemalu, yang menjalani sebuah kehidupan lahiriah tanpa banyak peristiwa, tekun menulis dan mengajar; terutama melalui buku-bukunya yang cemerlang dan murid-muridnya yang sama-sama cerdas dan berpikir filosofis sehingga dia menunaikan kewajibannya, sebagai pengikut Ibn ‘Arabi yang terkemuka, menyebarkan dan menambahkan ajaran tasawuf Ibn ‘Arabi. Sejak semula telah dapat dilihat bahwa orang ini akan menjadi syeikh yang ganjil bagi ‘Iraqi, sastrawan mabuk dan kalandar terkemuka, yang merupakan, lebih dari itu, seorang yang telah setengah baya dan diterima oleh syeikh sendiri. Namun ketika ‘Iraqi sampai di Konya, Qunawi tengah memberikan serangkaian kuliah tentang teks Ibn ‘Arabi yang tersulit dan terpenting, Fushush al-Hikam, dan ‘Iraqi dapat mengikuti syeikh murid-murid yang lain. Penulis biografi ‘Iraqi mengatakan bahwa dia menerima keuntungan besar dari instruksi ini, sebaik sebuah studi mengenai Al-Futuhat al-Makkiyah Ibn ‘Arabi. Qunawi, untuk bagiannya, menaruh sebuah pengaruh besar pada ‘Iraqi, dan memperhatikannya lebih dan lebih tinggi seiring berlalunya waktu.

TENTANG LAMA’AT
Lama’at ‘Iraqi termasuk sebuah tipe utama sastra sufi yang didalamnya doktrin ma’rifah (gnostik) paling murni diekspresikan dalam bahasa cinta (al-mahabbah). Karya pertama dari jenis ini dalam sastra persia adalah Sawanih fi al-Isyq (Sparks of Love) Ahmad al-Ghazali. Karya sastra yang luar biasa dan spiritual masterpiece ini diikuti oleh Risalah fi Haqiqat al-Isyq (Treatise on the Reality of Love) yang ditulis oleh pendiri madzhab Iluminasi, Syihabuddin Suhrawardi. Lama’at ‘Iraqi merupakan karya utama ketiga dalam karya sufi genre (aliran) ini dan dalam tiap hal berbagi keindahan luar biasa dari para pendahulunya. Sebenarnya ada beberapa orang yang mengklaim bahwa Lama’at adalah karya paling indah dari jenis tersebut dalam sastra Persia. Karya ini menjadi begitu terkenal di persia dan India bahwa ia menjadi sumber inspirasi bagi sejumlah risalah berikutnya di kedua negeri tersebut dan telah diberi komentar oleh tokoh tak kurang dari Abd al-Rahman Jami.
Dalam pemikiran Islam, para penulis tradisional berbicara tentang transendensi (tanzih) dan imanensi (tasybih), atau negatif dan positif, yang kedua darinya lebih dihubungkan pada perspektif ‘Iraqi. Dia dan para sufi yang sepertinya melihat fenomena dunia tidak sebagai “cadar” (veil), tapi lebih sebagai cermin yang merefleksikan asma-asma dan sifat-sifat Allah, atau sebagai sebuah simbol dari dunia spiritual. Bagi mereka keindahan bukanlah penyebab rangsangan, tapi alasan untuk mengingat (recollection) arketip-arketip spiritual dalam pengertian Platonik. Memang Allah adalah transenden dan seseorang harus pergi dan meninggalkan batas untuk mencapai-Nya. Tapi Dia adalah juga imanen. Karena itu, ketika manusia telah melalui tahapan zuhd dan ‘uzlah dari dunia bentuk-bentuk karena demi Yang tanpa bentuk, adalah mungkin baginya untuk kembali pada bentuk-bentuk sebagai cermin dari Yang tanpa bentuk. Tapi ini hanya bisa terjadi bila tahap pertama---bahwa penolakan, asketisme, dan pemisahan dari dunia---telah dialami. Karena seperti telah dinyatakan Fritjof Schoun, “Tidaklah mungkin mengenal Allah sebagai Yang imanen tanpa mengenal Dia sebagai Yang transenden”. Tapi mengenal-Nya sebagai Yang transenden adalah mungkin dalam spiritualitas para sufi, sebagaimana dalam tradisi-tradisi lainnya yang otentik, untuk menyadari transparansi bentuk-bentuk metafisis dan dapat merenungkan Yang satu dalam banyak wajah.
Perspektif inilah yang memungkinkan sebuah “sensualitas dispiritualkan” yang adalah sangat berbeda dengan dualisme yang secara total akan mempertentangkan jiwa pada tubuh dan pikiran pada materi. Ini adalah sebuah kompartementalisasi (pembagian) yang darinya beberapa tokoh Barat menderita sebagai akibat dari faktor-faktor historis yang tersusun kompleks, tentu termasuk dualisme kartesian, yang telah membangun sebuah tembok tak tertembus (impenetrable) antara akal dan materi. Dualisme filosofis ini berikutnya telah diperkuat oleh sejenis dualisme religius yang juga melihat sebuah oposisi total dan final antara jiwa dan tubuh seolah tidak ada doktrin kebangkitan tubuh, dalam Kristen sebagaimana dalam Islam. Akibat dari faktor-faktor ini telah tersebarnya sejenis mentalitas religius yang karenanya akan sulit membayangkan bagaimana seseorang dengan intensitas spiritual yang serius dapat berbicara di dalam ungkapan-ungkapan yang indah, sambil terus menerus menggunakan imaginasi anggur dan kecantikan manusia.
Untuk memahami titik pandang ‘Iraqi, adalah penting untuk mentransendenkan dikotomi ini dan kembali pada perspektif yang lebih tradisional, yang juga hadir dalam beberapa aliran-aliran spiritual Barat tertentu. Dalam perspektif seorang ‘Iraqi tidak ada dikotomi yang tidak dapat direduksi antara cinta Ilahi dan manusia atau keindahan Ilahi dan manusia. Ada sebuah gradasi dari cinta bentuk-bentuk, yang merupakan cinta alegoris (isyq-i majazi) pada cinta Allah, yang adalah cinta yang nyata (isyq-i haqiqi) semata. Bentuk cinta yang lebih rendah dapat menjadi, bagi sufi adalah, tangga pada Cinta Ilahi. Akhirnya, mencintai sesuatu adalah mencintai Allah, seseorang segera tahu bahwa yang ada hanya Satu Cinta, demikian pula, ada gradasi keindahan dari yang bersifat bentuk, manusia, dan keindahan materi hingga keindahan absolut itu sendiri, Indah (al-Jamil) adalah sebuah nama asma Allah. Dalam pengertian yang sangat dalam setiap keindahan bagaikan sebuah tumpahan yang terjatuh dari cawan Ilahi ke permukaan dunia ini. Dengan demikian ia membawa beberapa ingatan; ia melepas dan menyimpan. Bagi jiwa ma’rifah (gnostic), keindahan bagaikan udara segar yang tanpanya seseorang akan mati dalam ruang yang hampa di dunia yang terbatas ini.
Bagi ‘Iraqi dan fideli d’amore Islam, keindahan apa pun dapat menunjukkan pada kesadaran terhadap keindahan Allah, tapi hanya keindahan manusialah yang merupakan manifestasi paling langsung Keindahan Allah, karena menurut hadits masyhur, “Allah mencipta manusia menurut citra-Nya”.Karakteristik teomorfik manusia adalah dasar metafisis bagi tatanan utama bahwa keindahan manusia berperan dalam bentuk-bentuk kontemplasi spiritual dalam tasawuf dan dalam tipe puisi sufi yang untuknya tidak hanya ‘Iraqi tetapi juga Ibn ‘Arabi sendiri dan sastrawan sufi Persia belakangan seperti Hafizh dan Jami yang sangat terkenal.

‘IRAQI MENULIS LAMA’AT SEBAGAI KARYA TERBAIKNYA
Tiap hari, setelah selesai mengikuti kuliah Qunawi tentang Fushush, ‘Iraqi berkeinginan menggubah sebuah renungan ringkas dalam campuran prosa dan ayat. Akhirnya dia mengoleksi dan menyebutnya Lama’at (Flashes/ Kilau Kemilau). Modelnya untuk gaya komposisi ini, sebagaimana yang dia nyatakan sendiri, adalah Sawanih yang sangat terkenal dari Ahmad Ghazali (adik kandung sufi penulis Abu Hamid al-Ghazali). Ahmad Ghazali (w.520H/1126H) adalah, seperti ‘Iraqi, seorang sufi Madzhab Cinta (School of Love); keduanya adalah syeikh terkemuka, keduanya adalah ahli berbahasa Persia. Jadi tidak mengherankan bila ‘Iraqi yang mengagumi Ghazali cukup menirunya. Sawanih meringkas sejumlah renungan yang secara longgar dihubungkan dengan tema-tema Cinta, Kecantikan, pencinta dan yang tercinta (kekasih), diselang-seling dengan puisi dan anekdot-anekdot, ditulis dalam suatu cara yang sangat padat tapi jelas dan mewah. Dalam mengadopsi gaya ini, ‘Iraqi mengembangkan filasafatnya sendiri tentang Cinta; dia meminjam beberapa terminologi Ghazali dan ‘Ibn Arabi (dijelaskan oleh Qunawi), tapi seluruh konsep dan sintesis, adalah miliknya. Melalui karya ini, barangkali lebih dari siapa pun lainnya, teosofi Ibn ‘Arabi dilukiskan kembali dan diintegrasikan ke dalam tradisi puisi Persia, dan pengaruhnya pada yang terakhir tidak perlu terlalu diestimasikan.
Ketika ‘Iraqi telah meynelesaikan karyanya yang, seperti Fushsuh, meringkas dua puluh delapan bab, dia mengajukannya pada Qunawi untuk persetujuan. Syeikh Shadruddin membacanya; lalu, mencium buku itu dan menempatkannya di hadapan matanya (seperti orang melakukan pada kitab suci), dia berseru, “ ‘Iraqi, kau telah mempublikasikan rahasia kata-kata orang. Lama’at sebenarnya adalah intisari Fushush!”.
‘Iraqi tetap seorang pengagum besar Qunawi. Beberapa tahun kemudian, selama sebuah perjalanan berturut-turut ke Mekah, ‘Iraqi menulis pengaduan kepada Qunawi mengenai keterpisahan mereka dan minta maaf atas ketakhadiran dirinya di Konya. Surat yang tak ditemukan sebelumnya itu adalah kutipan yang seluruhnya bernilai, disamping menyajikan beberapa ide mengenai penghormatan tinggi ‘Iraqi pada syeikhnya. Ia ia menunjukkan semata karya prosanya yang dikenal selain Lama’at.

KUTIPAN-KUTIPAN DARI LAMA’AT

Muqadimmah
Ketahuilah bahwa dalam setiap Lam’ (Flash/Kemilau) ini kami membuat kiasan pada sebuah relaitas yang dimurnikan dari semua ta’ayyun. Sebut ia Kasih-sayang atau Cinta, biarkan kita tak berselisih kata. Disini kami akan meriwayatkan sifat dari tingkatan dan fasenya, perjalanannya melalui tahapan istirahat dan inap, penampakkannya dalam arti-arti dan realitas-realitas, manifestasinya (tajalli) dalam jubah religius Yang tercinta (sang kekasih) dan pencinta, musnahnya entitas (‘ain) pencinta dalam diri sang Kekasih, khalwat terhadap sifat-sifat sang Kekasih dalam diri para pencinta, dan busana keduanya dalam sergapan Ketunggalan. Disini, dalam yang terakhir ini setiap perpisahan disatukan, setiap sobekan dirajut, cahaya tersembunyi dalam Cahaya: manifestasi tak jelas dalam manifestasi (manifestation nonmanifest in manifestation). Dari dalam kemah al-Qudrah datang panggilan ini:
“Semua selain Allah, adakah ia bukan kesombongan?
Seluruh kebahagian berlalu, berakhir?
Mereka menuju Allah, Yang satu, al-Qahr (XIV:48)
Seluruh makhluk musnah, tiada berita, tiada jejak tersisa”



Lam’ I
Tentang kenyataan bahwa Cinta adalah asal dari pencinta dan sang Kekasih,
bagaimana keduanya terbit dari Cinta dalam Ta’ayyun Awal,
dan bagaimana masing-masing dari mereka
adalah dalam kebutuhan terhadap yang lain

pencinta dan sang Kekasih berasal dari Cinta, tapi Cinta di atas keagungan Kursi-Nya dimurnikan dari setiap ta’ayyun dalam perlindungan Hakikat-Nya terlalu suci untuk disentuh oleh yang bathin atau yang zhahir. Jadi, Ia dapat memanifestasikan kesempurnaan-Nya (sebuah kesempurnaan yang identik dengan Zat dan sifat-sifat-Nya sendiri), Ia menunjukkan diri-Nya pada diri-Nya dalam cermin pencinta dan Yang tercinta. Ia mempertontonkan kemolekan-Nya pada mata-Nya sendiri, dan menjadi yang melihat dan yang dilihat; nama pencinta dan Yang tercinta, sifat-sifat pencari dan Yang dicari, kemudian tampak. Ketika Cinta menyingsingkan Yang zhahir pada Yang bathin, Ia membuat masyhur pencinta; ketika Ia menghiasi Yang bathin dengan Yang zhahir, Ia membuat nama sang Kekasih dikenal.

Selain dari zat itu
Tak satu atom pun ada;
Ketika ia memanifestasikan diri-Nya
Yang lain menjadi hidup
Duhai Dikau yang zhahir adalah pencinta,
Yang bathin adalah yang tercinta!
Siapa yang t’lah pernah lihat
Yang dicari menjadi yang mencari (Attar)

Dengan memakai sang Kekasih, Cinta menjadi cermin pencinta agar Ia dapat mempelajari diri-Nya dalam cermin itu; dengan memakai pencinta Ia menjadi cermin sang kekasihagar Ia dapat mengetahui asma-asma dan sifat-sifat-Nya di sana. Pada mata penyaksian yang sebenarnya, tak lebih dari Satu yang terlihat---tapi karena Wajah yang satu ini menunjukkan diri-Nya dalam dua cermin, masing-masing cermin akan mepertontonkan seraut wajah yang berbeda.

Hanya seraut wajah:
Banyak cermin,
Membuat-Nya banyak.
Tiada lainnya yang menunjukkan wajahnya
Kar’na tiap yang ada
Adalah sama sebagai Yang Satu
Masuk ke dalam manifestasi (Attar)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar