Senin, 06 April 2009

KAJIAN ISLAM DI DUNIA MODERN

BAGAIMANAKAH MENGKAJI ISLAM DI DUNIA MODERN?

Tantangan dan Jawaban


Oleh:

Iyus Yusman Al-Kadarusman


PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Abad ke-20 telah memberi perubahan dunia pada tingkat yang cepat dan bisa dikatakan belum pernah terjadi sebelumnya. Timur Tengah − Dunia Arab Islam − telah menghadapi perubahan sama sebagaimana tempat-tempat lainnya. Permasalahannya, yang bagi kebanyakan kita sebagian besar belum terpecahkan, adalah bagaimana menyatupadukan perubahan tersebut [Modernitas] ke dalam masyarakat [khususnya Muslim] dan kehidupan kita.

Sejalan dengan itu, maka tidak dapat dipungkiri lagi, bahwa ada kesenjangan antara ajaran Islam dan modernitas. Hal ini disebabkan ajaran Islam merupakan produk dari konstruksi pengetahuan beberapa abad lalu. Sedangkan modernitas adalah produk akal budi di masa kontemporer. Menegaskan bahwa Islam lebih modern ketimbang modernitas itu sendiri adalah sebuah kekeliruan. Modernitas justru anak kandung dari periode modern. Rasionalitas dan metode empiris yang merupakan salah satu dari ukuran periode modern justru menjadi alat dalam membangun modernitas.

Dilain sisi, kita juga teringatkan kepada sebuah pernyataan, yang diungkapkan oleh Shabbir Akhtar dalam bukunya Faith for All Seasonss: Islam and Western Modernity, bahwa dahulu orang berkata, “Islam adalah agama terbaik dengan penganut terburuk.” Sesudah Salman Rushdie, banyak yang berkata, “Islam adalah agama terburuk dengan para penganut terburuk pula.”[1] Dengan alasan ini, tentu saja, kita tidak mungkin menemukan bukti yang lebih baik tentang kelumpuhan intelektual para pengikut Muhammad sekarang ini selain kegagalan mereka dalam memberikan respons yang memadai terhadap tantangan-tantangan modernitas sekuler.

Umat Muslim modern, sebagai sekolompk masyarakat, secara memalukan tidak merenungkan tantangan-tantangan modernitas sekuler tersebut, seakan-akan mereka berpikir bahwa Allah telah memikirkan segala-galanya untuk hamba-hamba-nya. Itulah mungkin sebagian potret sikap dikalangan kaum Muslimin dalam menghadapi modernitas.

Oleh karea itu, meskipun Islam tidak kekurangan para apologis (pembela agama) atau teoretikus agama, secara bersama-sama mereka bisa dikatakan telah gagal memberikan respons yang bernas (berisi) dan mendasar terhadap modrnitas, karena tidak adanya pengaruh–pengaruh libralisme dan skeptisisme, yang dapat ditelusuri dari tiadanya tradisi filsafat, maka sedikit Muslim yang mengakui ancaman-ancaman sekularitas dan pluralisme ideologi yang dibawanya. Banyak penulis muslim lebih suka berpura-pura menganggap modernitas sebagai tantangan untuk keyakinan orang Kristen saja, yakni hanyalah sebuah ancaman local bagi sebuah agama yang lemah yang telah takluk pada kebudayaan matrealistis yang agresif.

B. Tujuan Pembahasan

Sesuai dengan pernyataan di atas, adapun tujuan pembahasan ini − “mengkaji Islam di dunia modern” − mencoba untuk merenungkan kehidupan keagamaan [Islam] dalam era modern melalui pengkajian dengan metode pembacaan tradisi, sebab pembacaan tradisi, sebagaimana menurut Dr. Ahmad Ali Riyadi dalam bukunya “Dekonstruksi Tradisi: kaum muda NU merobek tradisi” ia menyatakan bahwa “pembacaan tradisi sebagai metode kajian Islam.”[2] Baginya, tradisi merupakan pedoman dan peranti dalam membentuk masyarakat. Implikasinya, tradisi menjadi kitab suci yang harus dipedomani dalam perilaku kehidupan. Disatu sisi tradisi merupakan khazanah pemikiran yang bersifat material dan immaterial yang harus dikembangkan untuk melahirkan pemikiran yang transformatif. Dengan demikian, membaca tradisi juga berarti menelaah tradisi secara kritis untuk membangu kebudayaan dan tradisi pemikiran baru yang akan mendorong transformasi sosial dan perubahan pada tataran teoritis dan praksis.

Berangkat dari sini, juga pembahaan ini mengspesifikasikan terhadap beberapa renungan kehidupan keagamaan untuk generasi mendatang. Sebab pada kenyataannya, tidak ada sesuatu pun yang dapat melebihi kebenaran, dalam rangka mendapatkan kembali warisan Muhammad saw demi kepentingan zaman modern ini, kaum Muslim harus mengakui dan menjawab tantangan-tantangan sekularitas dan pluralisme ideologi. Sebagai bukti, permulaan abad ke-15 H telah menjadi tanda berakhirnya zaman kepolosan (age of innocent) mereka. Lalu, dapatkah umat Muslim melalui kritikus-kritikus modernnya memperlihatkan bahwa Islam memenuhi pengabdiannya sebagai sebuah agama untuk semuah zaman.

Dalam paper ini, penulis menganjurkan umat Muslim untuk merenungkan, jujur secara intelektual dalam menghadapi tribunal alam pemikiran sekuler secara terbuka dan sadar, dan menghadapinya sesuai dengan parameter-parameter keimanan.

ISLAM DAN TANTANGAN MODERNISME

A. Hubungan Antara Islam dan Modernisme

Bicara tentang hubungan antara Islam dan modernisme, ini berawal dari sebuah perenungan, bahwa kehadiran Islam dari sejak kelahirannya 15 abad yang lalu hingga sekarang senantiasa memberikan respons terhadap berbagai problematika yang timbul di masyarakat. Problematika dalam bidang keagamaan, sosial, politik, ekonomi, kebudayaan, ilmu pengetahuan dan teknologi senantiasa diberikan jawabannya oleh Islam. Respons Islam terhadap berbagai problematika yang demikian itu tidak lepas dari peran yang dimainkan oleh tokoh yang dengan penuh kesungguhan mengarahkan segenap kemampuan intelektualnya untuk terus melakukan pembaruan terhadap berbagai paham yang ada dalam Islam. Mereka itu adalah para pembaru dalam Islam yang tersebar pada beberapa negara, seperti, Turki, Mesir, India, Iran, dan Indonesia.

Selain kenyataan di atas, juga perlu direnungkan pula, bahwa selama ini kita telah mengenal Islam, tetapi Islam dalam potret yang masih perlu dipertanyakan, dan yang harus dilakukan kajian lebih lanjut guna merespons dan menjawab tantangan perkembangan zaman. Pada masyarakat kita terdapat beraneka corak dalam pengamalan ajaran Islam dan kita mengenal Islam dalam berbagai macam potret, seperti yang ditampilkan Iqbal dengan nuansa filosofis, dan sufistiknya, Fazlur Rahman dengan nuansa historis dan filosofis, dan masih banyak corak pemikiran modernis lain baik dari Indonesia maupun dari negeri-negeri Islam lainnya.

Sejalan dengan itu, seiring dengan perkembangan zaman, maka akan nampak sebuah relasi antara Islam dengan kemodernan. Relasi ini menggambarkan pada tataran respons atau solusi, juga jawabaan Islam terhadap semuah problematika yang timbul di masyarakat, di tengah arus modernitas. Maka dari relasi ini [Islam dan modernisme] umat Muslim melalui kritikus-kritikus modernya dapat memperlihatkan bahwa Islam memenuhi pengabdianya sebagai sebuah agama untuk semua zaman.

Di lain sisi, hubungan antara Islam dan modernisme itu harus dihubungkan pula dengan masa lampau, sebagaimana menurut Derek Hopwood bahwa ”Muslim modern harus mendefinisikan hubungannya dengan masa lampau Islam, sebab pada jantung modernitas terletak prinsip perkembangan yang sendirinya menolak masa lampau.”[3] Dari pernyataan ini, Muslim modern seolah-olah dia hidup dalam diskontinuitas yang tajam dengan sejarah pramodernnya dan transisinya ke kondisi-kondisi kontemporer telah terdistorsi oleh kecepatan dan seringkali oleh perasan tercabut dari akar, yang disebabkan oleh perasaan kekalahan politik dan spiritual ketika Barat tampak tak terkalahkan dan hadir dimana-mana.

Kenyataan tersebut, akkhirnya perpecahan dengan masa lampau terjadi secara tiba-tiba dan penuh goncangan. Akibatnya, banyak kaum Muslimin sekarang harus mencoba memeroleh kembali masa lampau tersebut, yang mencakup semuah kepercayaan dan sikap, dan mengintegrasikan kembali masa lampau tersebut kedalam dunia modern. Tapi, ini akan menimbulkan pertanyaan, sebab bagaimana mungkin menghidupkan kembali masa lampau dalam kondisi yang sama sekali berubah.

B. Islam dan Modernitas Mengundang Kesenjangan

Kesenjangan antara Islam dan modernitas terletak pada perbedaan parameter dalam mengukur dan menilai manusia dan Tuhannya. Bagi Islam, orientasi aktivitas manusia adalah untuk Tuhan, sehingga kebaikan senantiasa dinilai dari seberapa besar kualitas ibadahnya kepada Tuhan. Hal ini mengandung pengertian bahwa amal kebaikan itu harus bernuansa penyembahan dan pengagungan kepada Tuhan. Pandangan seperti ini dapat ditemukan dalam hampir seluruh aliran teologi Islam, terutama Asy`ariyah.[4]

Bahkan dalam pandangan politik pun para ulama menyatakan bahwa negara merupakan alat untuk menegakkan hukum Tuhan. Sebuah kitab yang sangat masyhur di kalangan Islam tradisionalis (penganut ahlus sunnah wal jama`ah dan mazhab Syafi`i), yaitu Al-Ahkâm As-Sulthoniyyah, yang ditulis oleh Imam Al-Mawardi, hingga ratusan tahun telah menjadi pedoman bagi umat Islam dalam membangun sistem politik. Kitab itu menyatakan bahwa negara diciptakan untuk menopang agama. Jadi orientasi kehidupan bernegara bukan diperuntukan bagi kemaslahatan manusia sebagai individu dan masyarakat, melainkan ditujukan untuk ibadah dan menegakkan kepatuhan kepada Tuhan. Bahkan hingga kini, perdebatan mengenai tidak dapat dipisahkannya agama dan negara −sebagaimana sering dilontarkan oleh para pendukung formalisasi syariat Islam dan Khilafah Islam −masih mewarnai gerakan umat Islam.

Dapat dibayangkan kesenjangan tersebut ketika dibandingkan dengan sistem politik modern. Tidak heran jika di masa awal perjalanan bangsa Indonesia terjadi perdebatan yang cukup panjang berkenaan dengan sistem politik Indonesia. Hal itu menggambarkan, dalam batas-batas tertentu Islam di Indonesia mengalami kegagapan dalam berhadapan dengan modernitas, sehingga munculnya perlawanan dari DI/TII di akhir tahun 1950-an dapat disimpulkan sebagai kulminasi dari kekecewaan terhadap negara sekular yang dipimpin Soekarno.

C. Kegagapan Terhadap Modernitas

Kegagapan dalam menghadapi modernitas itu tidak serta merta melajimkan untuk meminggirkan agama dalam kehidupan bangsa. Turki adalah salah satu contoh negara yang melakukan kekeliruan dalam menghadapi problem di atas. Sekularisme yang diberlakukan Turki − tanpa disadari − justru menciptakan suatu kondisi yang tidak mendukung bagi modernisasi Turki. Peminggiran agama dari ruang politik dan publik bukanlah solusi yang tepat. Menurut Robert D Putnam, Ilmuwan politik dari Amerika, prestasi dalam memodernisasi sebuah bangsa sangat tergantung pada sumber daya lokal (1993). Dengan kata lain, nilai-nilai tradisi yang sudah mengakar dalam kehidupan masyarakat harus dilibatkan dalam proses modernisasi tersebut. Karena itu, sekularisme justru menjadi bumerang bagi modernisasi. Sekularisme berarti memotong sumber daya lokal yang sangat dibutuhkan dalam perubahan sosial.[5]

Namun sejarah perjalanan umat Islam di Indonesia tidak sepenuhnya memprihatinkan. Bahkan, Indonesia dapat disebut sebagai teladan bagi bangsa Muslim lain dalam mendialogkan Islam dan modernitas. Menurut Bassam Tibi, Indonesia adalah sebuah tempat yang paling cocok untuk dialog antara peradaban Islam dan Barat (2003: 124). Islam di Indonesia menampilkan keterbukaan dan toleransi, karena itu mampu mendialogkan doktrin agama dengan modernitas. Karakteristik Islam yang toleran ini, menurut Tibi, dapat menciptakan kondisi yang mendukung untuk kebangkitan Islam. Tampaknya penilaian Tibi itu tidak berlebihan, melihat realitas umat Umat Islam di Timur Tengah dan di wilayah lainnya yang mengalami kegagapan dalam mendialogkan Islam dengan persoalan-persoalan modernitas dan kemanusiaan.

Meskipun pemikiran pembaruan Islam telah muncul lebih awal di Timur Tengah, namun gerakan pemikiran tersebut belum sampai pada tingkat yang signifikan. Berbeda halnya dengan di Indonesia. Perubahan arah dari gelombang Islamisasi negara yang dimainkan oleh kekuatan Islam politik menjadi de-Islamisasi negara yang dipelopori oleh sayap Islam kultural semacam Nurcholish Madjid dan Abdurrahman Wahid di era Orde Baru misalnya, dalam beberapa pengamatan belum ditemukan padanannya pada kiprah cendekiawan muslim di wilayah lain (Timur Tengah).

D. Antara Ketegangan dan Hegemoni Modernisasi Terhadap Islam

Kemajuan dan modernisme bagaikan dua sisi mata uang. Dengan adanya kemajuan, maka terjadi perubahan dan perubahan itu sendiri menyebabkan terjadinya kemajuan. Keertinggalan suatu kaum mengantisipasi kemajuan dan perubahan dapat menyebabkan masyarakat atau golongan tersebut akan semakin ketinggalan jauh ke belakang dan kemudian tersisih.

Namun, persoalan terbesarnya adalah kita umat Islam bukan bagian dari pencipta modernitas, orang Muslim absen dari penciptaan modernitas. Karena Kolonialisme sengaja memutus kaum Muslim dari akarnya, sehingga sebagian besar Muslim tidak tahu mengenai tradisi Islam. Oleh sebab itu, mereka (Muslim) bisa dikatakan ”yatim piatu dari modernitas”. Modernitas datang dan menjadikan mereka yatim piatu, karena mereka dicabut dari akarnya oleh kolonialisme.[6]

Yang sangat disayangkan lagi, ialah umat Islam yang mengetahui hal itu dia tidak mncoba mencari akar tradisinya dan menjawab tantangan modernitas dengan menyadarkan diri pada akar tradisi. Sehingga apa yang dilakukannya tidak cerdas, yaitu bergegas mengadopsi ideologi apapun yang berasal dari luar. Sebab, bila umat Islam tidak memiliki akar, dia tidak akanmemiliki alat untuk menstabilkan dirinya. Modernitas bergerak dalam fase yang cepat, sementara umat Islam hanya belajar mengenai hal yang diimpor dari Barat.

Tetapi dalam kenyataan lain, sehubungan dengan adanya anggapan bahwa modernisasi telah menghegemoni Islam di abad modern ini, dengan demikian, maka bisa dikatakan ”Islam dalam hegemoni teori modernisasi” dan pernyataan ini telah diungkapkan oleh Saiful Muzani dalam buku ”Dekonstruksi Islam Mazhab Ciputat”, dalam buku ini Saiful Muzani menyatakan, ”persoalan dasar yang terus menerus dan wajar diraakan umat Islam, minimal kalangan intelektualnya, adalah kurang pasnya hubungan antara Islam, sebagai ajaran, dengan kehidupan sehari-hari umat. Islam sebagai doktrin, dari al-Qur’an dan sunah, dirasakan tak bisa langsung menjelaskan realitas umat.” [7] Oleh karena itu, bagi Muzani, perlu adanya sebuah sistem penjelasan dan pemahaman yang tingkat abstraksinya lebih rendah, lebih elaboratif dan menyentuh persoalan-prsoalan konkret yang terus mengalami perubahan.

Adapun salah satu bukti bahwa Islam berada dalam teori-teori (paradigma) modernisasi, Nurcholish Madjid misalnya, dalam rangka menjelaskan hubungan doktrin dan umat Islam, Nurcholish banyak menggunakan sejarah peradaban Islam dan teori sosial modernisasi, terutama yang dikembangkan Weber dan Persons. Juga dibarengi dengan pertimbangan epistimologinya. Sejalandengan itu, Nurcholish mengungkapkan ”ilmu pengetahuan, baik yang alamiah, maupun yang sosial, adalah netral. Artinya, tidak mengandung nilai kebaikan atau kejahatan pada dirinya sendiri. nilainya diberikan oleh manusia yang memilikinya atau menguasainya. Karena kenetralannya, ilmu pengetahuan dapat diukur − menukarkan atau diberi − dan diminatkan antara sesama manusia, tanpa memandang tata nilai masing-masing yang bersangkutan.”[8]

Sementara itu, teori sosial Weber, yang juga merupakan asal dari teori modernisasi, bertumpu pada asumsi epistimologi idealistis, tempat penapsiran individu terhada diri dan lingkungannya merupakam faktor yang menentukan atau menggerakan kehidupan masyarakat. Penapsiran tersebut tentulah sangat bergantung pada sisitem nilai masyarakat bersangkutan. Karena itulah subject matter teori sosial merupakan nilai-nilai masyarakat.

Sehubungan dengan itu, menurut beberapa literatur buku yang berkaitan dengan masalah ini, bahwa Nurcholish bekerja pada tingkat meta penelitian sosial, yakni memberikan rekomendasi bagi hasil penelitian sosial yang berparadigma modernisasi dalam mempertanyakan dan menjawab persoalan Islam secara umumnya ”umat Islam sekarang maju karena etika Islam,” tetapi sebaliknya ”umat Islam sekarang miskin dan terbelakang, karena tidak mengamalkan etika Islam”. Untuk itu, dia menengok kembali sejarah Islam, dan melihat disana, khususnya pada masa Rasulullah Saw.

ANTARA TRADISI DAN MODERNITAS

A. Definisi Tradisi dan Modernitas

Dalam bab ini, kami awali dengan definisi tradisi dan modernitas, karena sebelum kita mengkaji Islam, minimal harus tahu dulu objek kajiannya, sebagaimana disebutkan di atas pada pendahuluan, bahwa landasan utama metodologi kajian Islam dalam kancah pembaruan pemikiran adalah pembacaan atas tradisi. Maka dengan demikian pembacaan tradisi merupakan pijakan awal untuk membuka lembaran baru pemikiran Islam. Adapun kaitannya dengan modernitas adalah, karena modernitas sendiri adalah merupakan bagian dari tradisi. Sebagai contoh, dalam kajian ini, ada yang disebut dengan gerakan neo-tradisionalisme, gerakan ini berangkat dari suatu tradisi yang secara terus-menerus berusaha memperbarui tradisi tersebut dengan cara mendialogkan dengan modernitas.[9]

Diawali dengan definisi tradisi, kata tradisi merupakan terjemahan dari kata turâts yang berasal dari bahasa Arab, sebenarnya kata turâts merupakan kata yang sangat kompleks jika melihat akar katanya, dibuktikan dengan mengalami perkembangan makna, khususnya dalam masyarakat kontemporer setelah dipahaminya. Pendek katanya, kemudian kata turâts atau tradisi dalam kajian ini diartikan sebagai bagian dari penyempurnaan akan kesatuan dan ruang lingkup kultur tersebut, yang terdiri atas doktrin agama, bahasa, akal, dan sebagainya[10]. Turâts sekaligus berdiri sebagai satu kesatuan dalam dimensi ideologisnya serta dalam pondasi nalar dan letupan-letupan emosionalnya dalam keseluruhan kebudayaan Islam.[11]

Modernitas − atau dalam konteks ini maksudnya adalah modernitas Islam. Nurcholish Madjid, pada 1969, merumuskan modernisasi sebagai rasionalisasi. ”Pengertian yang mudah mengenai modernisasi ialah pengertian yang identik atau hampir identik dengan pengertian rasionalisasi. Dan itu berarti perombakan pola berpikir dan tata kerja baru yang tidak rasional, dan menggantikannya dengan pola berpikir dan tata kerja baru yang rasional. Kegunaanya ialah untuk memperoleh daya guna yang maksimal. Hal itu dilakukan dengan menggunakan penemuan mutakhir manusia dibidang ilmu pengetahuan. . . . Jadi sesuatu dapat disebut modern, kalau ia bersifat rasional, ilmiah dan bersesuaian dengan hukum-hukum yang berlaku dalam alam.”[12]

Dalam mendefinisikan modernitas, karena banyaknya fenomena perubahan-perubahan yang menopang modernitas, maka dengan demikian diperlukan penyempurnaan definisi historis dan sosiologis mengenai modernitas dengan definisi filosofis. Penentangan yang semakin meningkat yang muncul di setiap, terhadap perubahan-perubahan yang dipaksakan industri, menunjukan keharusan adanya penjelasan yang mampu membedakan antara modernitas material dengan modernitas pemikiran. Modernitas material menunjuk kepada perbaikan-perbaikan yang memasuki kerangka eksternal eksistensi manusia. Sedangkan modernitas pemikiran mencakup metoda, alat-alat analisis, dan sikap-sikap rasionalyang mempercayai rasionalitas yang lebih sesuai dengan realitas.[13]

B. Islam dan Tradisi

Islam dan tradisi merupakan dua substansi yang berlainan, tetapi dalam perhujudannya dapat saling bertaut, saling mempengaruhi, saling mengisi dan saling mewarnai perilaku seseorang. Islam merupakan suatu normatif yang ideal, sedangkan tradisi merupakan suatu hasil budi daya manusia yang bisa bersumber dari ajaran agama enenek moyang, adat istiadat atau hasil pemikirannya sendiri. Islam berbicara mengenai ajaran yang ideal, sedangkan tradisi merupakan realitas dari kehidupan manusia dan lingkunannya.

Sehubungan dengan itu, yang menjadi sorotan pada pembahasan ini yaitu Islam dan tradisi kontemporer, terkait dengan kajian Islam di dunia modern. Sebagimana dinyatakan diatas, bahwa Islam sebagai doktrin, dari al-Qur’an dan sunah, apabila berdialog dengan realitas umat di dunia modern, akan terjadi ketegangan. Dengan demikian, wacana ini sebagai sebuah agenda kajian filosofis-intelektual.

Adapun salah satu kajian mereka (para intelektual), yaitu kajiannya terhadap tradisi, kajian tradisi dalam wacana pemikiran Islam modern lebih banyak didominasi oleh munculnya berbagai sikap intelektula Islam atas pembacaan mereka secara proaktif terhadap tradisi. Kalangan intelektual Islam dalam membaca tradisi mempunyai beragam respons dalam kaitannya dengan tuntutan perubahan.

Ada beberapa sikap yang berkembang dalam menyikapi tradisi dalam pemikiran Islam.Pertama, mereka yang menolak apa yang bukan tradisi Islam, karena apa yang ada dalam tradisi tersebut sudah memadai. Mereka ini terdiri dari dua kelompok yang berbeda, yang satu adalah mereka yang memang hanya hidup dan berpikir dalam kerangka tradisi Arab Islam (ulama konservatif) dan mereka yang tiak memiliki tradisi Arab Islamkarena mereka dididik dengan tradisi lain, yakni tradisi Barat. Kelompok terakhir ini begitu bersemangat mengatakan bahwa tradisi yang sudah ada memadai. Kedua, mereka yang menganggap bahwa tradisi sama sekali tidak memadai dalam kehidupan modern saat ini, karena itu harus dibuang jauh-jauh. Kelompok ini adalah mereka yang berpikiran sekuler dan liberal model Barat sehingga menganggap kebangkitan tidak akan bisa dicapai kecuali mengikuti pola-pola Barat.[14] Kedua sikap tersbut membawa konsekwensi logis: jika yang pertama akan trjadi penyangkalan penyangkalan identias diri mereka sendiri dan pada sikap yang kedua terjadi suatu upaya untuk hidup dimasa kini dengan model tradisi masa lalu.

C. Pembaruan Islam Bertolak dari Ketegangan Struktur Tradisi

Salah satu faktor penting yang mendorong langkah pembaruan Islam, seperti yang sudah dilakukan kaum muda NU, adalah adanya kegelisahan terhadap kebekuan ortodoksi tradisi Ahlussunnah waljama’ah yang selama ini sudah dianggap benar. Dengan alasan ini, akhirnya mereka melangkah pada pembaruan Islam.

Disamping itu, mereka beranggapan bahwa para ulama terdahulu dianggap mempunyai otoritas yang lebih daripada umat yang sekarang dalam hal pemikiran dan praktek keagamaan. Termasuk juga dalam hal ini adalah warisan tradisi masyarakat lokal dalam praktek-praktek keagamaan.[15]

Dalam hal tersebut, layaknya kaum muda yang kritis dan dinamis, kemudian mereka mencoba keluar dari ring keterkungkungan doktrin, baik bergerak secara individu maupun membangun organisasi. Atas dasar itu, mereka memainkan peranannya sendiri tanpa terikat kepada penafsiran tekstual. Dalam artian mereka menentukan pilihannya bergulat dengan pemikir lain yang transformatif/revolusioner.

D. Moderatisme: Antara Tradisi dan Modernitas

Seiring dengan munculnya gelombang pembaruan pemikiran Islam di Timur Tengah pada awal abad ke-19 Masehi, Asia Tenggara juga memasuki gelombang tersebut. Muhammadiyah merupakan salah satu dari ormas Islam yang menerima ide-ide pembaruan tersebut. Modernisasi pendidikan dengan cara mengadopsi model pendidikan Barat adalah salah satu dari produk gerakan pembaruan Muhammadiyah. Karena itu, Muhammadiyah disebut sebagai kelompok modernis, yakni kelompok yang mempromosikan pembaruan Islam dengan cara mengadopsi modernitas Barat.

a. Kategori Gerakan

Fazlur Rahman berpandangan bahwa sejarah gerakan pembaruan Islam selama dua abad terakhir dapat dibagi ke dalam empat gerakan pemikiran: (1) Gerakan revivalis, yaitu gerakan Wahabiyah di Arab, Sanusiyyah di Afrika Utara, dan Fulaniyah di Afrika Barat, (2) Gerakan Modernis, yang dipelopori oleh sayyid Ahmad Khan di India, di seluruh Timur Tengah oleh Jamaludin al-Afghani, dan di Mesir oleh Muhammad Abduh, (3) Neo-Revivalis, yang ‘modern’ namun agak reaksioner, di mana al-Maududi beserta kelompok Jama’at Islami-nya di pakisatan merupakan contoh terbaik, dan terakhir (4) Neo-Modernis (1979). Fazlur rahman sendiri mengategorikan dirinya ke dalam sayap Neo-Modernisme, sebab yang disebut terakhir ini melakukan sintesis progresif dari rasionalitas modern dengan ijtihad tradisi klasik.[16]

Berbeda sedikit dengan Rahman, Ahmad Baso, peneliti muda dari Lakpesdam NU membagi gerakan pembaruan Islam dalam enam kelompok, empat kelompok yang pertama sama dengan Rahman, selebihnya yaitu (5) Islam Liberal, dan terakhir (6) Islam Post-Tradisional (2000: 24-46). Dalam penglihatan Baso, Islam Liberal tidak berbeda dengan Islam Neo Modernis. Sedangkan “Islam Post-Tradisional” merupakan istilah yang diberikan Baso hasil pembacaannya atas pemikiran-pemikiran pembaruan Timur Tengah kontemporer semacam Muhamad Abed al-Jabiri, Abu Zayd, dan lain-lain. Aliran ini melakukan kritik epistemologis terhadap tradisionalisme Islam, yang menjadikan tradisi atau hasil pemikiran ulama-ulama periode klasik—terutama yang bermazhab Syafi’i dan Asy’ari—sebagai rujukan dalam menilai dan merespon problem sosial, sekaligus memperbaiki kelemahan dari Islam Neo-Modernis.

Gerakan pembaruan pemikiran di Asia Tenggara, utamanya di Indonesia, seperti yang tergambar dalam penjelasan di atas berangkat dari bagaimana memosisikan diri dalam merespon problem modernitas. Dengan kata lain, umat Islam dihadapkan pada persoalan bagaimana memosisikan tradisi, modernitas, dan konteks? Jika sayap Revivalis dan Neo-Revivalis cenderung merespon modernitas secara negatif, maka Islam Modernis, Neo-Modernis, Islib, dan Post-Tradisionalis meresponnya secara positif. Perbedaan pada masing-masing sayap pemikiran tersebut terletak pada entry point dan landasannya, sehingga masing-masing memperlihatkan kadar genuinitas dan kekhasannya masing-masing. Sedangkan output-nya tidak terlalu berbeda.

b. Islam Transformatif

Justru yang menarik adalah gerakan pemikiran Islam Transformatif yang diperkenalkan oleh Moeslim Abdurrahman. Gerakan yang mengalami penyegaran kembali melalui Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM) ini, merepresentasikan mazhab kritis terhadap modernitas, di mana teori-teori sosial kritis itu dipinjam dari Barat juga. Penggunaan teori-teori sosial kritis yang digabungkan dengan hermeneutika teks dan sosial itu, digunakan sebagai pisau analisa dalam mendialogkan doktrin Islam dengan problem modernitas. Hasilnya, Islam Transformatif lebih menyuarakan kepentingan kelompok yang termarjinalkan dan teraniaya akibat modernisasi, ketimbang mempromosikan modernisasi.

Terlepas dari ciri khas dan perbedaan gerakan pemikiran masing-masing—Islam Modernis, Neo-Modernis, Islam Liberal, Post-Tradisionalis, dan Islam Transformatif—semuanya mempromosikan moderatisme Islam, yakni mediasi dari ektrimisme Islam revivalis atau fundamentalis dengan sekularisme. Moderatisme menjadi karakter umum yang memayungi gerakan Islam progresif. Tradisi dan modernitas tidak diletakkan dalam dua kutub yang saling berlawanan dan bermusuhan. Keduanya ditempatkan pada porsinya masing-masing, lalu didialogkan secara elegan. Kadar tradisi dan modernitas pada masing-masing gerakan pemikiran itu memiliki perbedaan, yang pasti pertemuan tradisi dan modernitas mengandung makna mendialogkan dua peradaban.

Realitas kekinian berupa keterbelakangan dan ketertindasan bukan sesuatu yang given, bukan takdir yang tidak bisa diubah, namun hal itu akibat dari struktur yang secara sistematik menciptakan kondisi-kondisi tersebut. Dalam koneks ini, peran Islam Kritis sebagai kekuatan penyadaran untuk melawan realitas penindasan dalam masyarakat menjadi sebuah keniscayaan.

LANDASAN TEORETIS PEMBARU

A. Keharusan Pembaruan

Kemajuan dan modernisme, merupakan arus globalisasi yang telah berlangsung lama itu terus bergulir dan itu pasti akan mempengaruhi dan menyelimuti kehidupan umat Islam. Untuk itu, umat Islam harus mengantisipasi dengan melakukan perubahan-perubahan, nilai-nilai atau pandangan Islam.

Pembaruan yang dianjurkan dalam Islam itu bukanlah westernisasi dalam arti pembaratan dalam cara berpikir, bertingkah laku dan sebagainya yang bertentangan dengan ajaran Islam tetapi pemikiran terhadap agama yang harus diperbaruhi dan direformasi, yakni pemikiran modern yang dapat menimbulkan reformisasi dalam agama. Hal tersebut tidak memungkinkan timbul dari pola pikir yang sempit. Penambahan ilmu pengetahuan, memperluas pandangan terhadap soal kehidupan dapat melapangkan pikiran dan memelihara keortodoksian agama.[17]

Sudah tiba waktunya kini melaksanakan kewajiban yang sangat berat untuk berusaha menggali lebih dalam lagi khajanah perbendaharaan nilai-nilai Islam agar dapat dituangkan kedalam ”kebangunan” kembali vitalitas dan dinamika umat Islam dalam alam pembangunan sekarang ini.

Perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan serta teknologi modern sekarang ini tiak hanya menuntut adanya suatu cara-cara ekspresi yang populer, apalagi sekedar hanya diterjemahkan dengan bahasa pikiran yang praktis, lebih-lebih statis. Namun, yang terpenting adalah umat Ilam harus siap menghadapi tantangan zaman dengan menggali ilmu pengetahuan dan teknologi.

Sejalan dengan itu, pembaruan merupakan suatu keharusan dalam rangka berupaya memberikan jalan keluar kepada umat Islam untuk menghadapi perkembangan zaman yang begitu pesat. Jika kita harus menetapkan satu faktor yang sangat menentukan dan menjadi penggerak utama keharusan modernisme adalah dampak Barat serta tantangan yang dilakukan terhadap integritas Islam dan persepsi dari masyarakat Muslim dewasa ini.

B. Pengertian Kaum Pembaru

Mencari jawaban dari pertanyaan, siapakah sesungguhnya yang dapat dikatakan sebagai modernis atau pembaru pemikiran?, merupakan sesuatu yang sulit, karena para ahlli belum mempunyai kesepakatan pendapat tentang siapa dikatagorikan sebagai pembaru pemikiran. Sebagaimana diungkapkan oleh Eric Hasen dan Schupeter[18] ”bahwa tidak ada jawaban yang mudah terhadap definisi mengenai kaum intelektual atau kaum modernis.”

Namun meskipun demikian, ada diantara para pemikir atau intelektual yang mencoba merumuskan, mengertikan, juga mendefinisikan ”Kaum Pembaru”. Misalnya: Dr. Mochtar Pobotinggi, Dr. Taufik Abdullah, Soetjipto Wiro Sardjono, dan juga Ziauddin Sardar. Mereka mendefinisikan itu (kaum pembaru) dalam beberapa karyanya, Ziauddin sardar misalnya, ia memberikan pengertian dalam bukunya ”Tantangan Dunia Islam Abad 21 Menjelang Informasi”.

Berdasarkan beberapa pendapat para pemikir diatas, maka dapat diambil kesimpulan, bahwa yang dimaksud dengan kaum modernias atau pembaru pemikir Islam adalah seorang muslim yang karens pendidikananya, baik melalui jalur pendidikna formal, maupun non-formal, mempunyai kedalaman berbagai disiplin keilmuan, keluasan pandangan yang disertai kebijakan dan keadialan, sehingga bida bergerak dalam multi dimensi aktivitas kehidupan; tidak terbenam dan terbawa arus perubahan, kemajuan dan perkembangan zaman.namun dengan jiwa kritis, kreatif, objektif dan tanggungjawab berusaha menginternalisasikan segala permasalahan umat, yang kemudian menjawabnya dengan berbagai alternatif pemecahan, mengarahkan perubahan masyarakat, dengan mengubah pola pikir masyarakat dari tradisi berpikir konvensional yang jauh tertinggal dari kemajuan zaman dengan pola pikir yang berorientasi kepada kemajuan mengikuti perkembangan zaman yang berdasarkan nilai-nilai Islam.

C. Peran dan Tugas Kaum Modernis

Berbicara tentang peran dan tugas, kadang-kadang sulit untuk dibedakannya, sebab keduanya saling terkait. Meskipun secara definisi dapat dibedakan, tapi dalam praktiknya sulit untuk dibedakan. Sebenarnya peran dan tugas intelektual Muslim atau pembaru pemikiran sangat ditentukan oleh kondisi masyarakat suatu bangsa.

Pandangan pembaru pemikiran dalam mengambil posisi dan model kiprah di tengah-tengah kehidupan masyarakat, cukup berarti bagi kemajuan peradaban umat manusia, sehingga tidak heran bila kita menjumpai pembaru pemikiran berbeda pendapat dalam menentukan peran dan tugasnya dalam percaturan kehidupan bangsanya.

Secara general masyarakat saat ini merupakan masyarakat yang mengarah ke masyarakat era globalisasi, penuh dengan ciri pergolakan dan perubahan-perubahan untuk mengikuti perkembangan zaman. Hal ini dapat dilihat dari pemikiran warganyayang telah mengalami penjamaan-penjamaan yang amat berarti. Ciri-ciri dan semangat individu-individu tampil sangat menonjol dan mengambil posisi cukup menentukan dalam tatanan hidup bermasyarakat. Prinsip-prinsip hidup seperti itu juga melanda sebagian masyarakat Indonesia, termasuk di dalamnya umat Islam.

Di sisi lain, masih banyak umat Islam yang belum mampu menerima tawaran era globalisasi, karena masih sempitnya pandangan terhadap ajaran Islam. Kondisi masyarakat semacam itu, sebagai intelektual Muslim atau pembaru pemikiran, tidak dapat hanya berpangku tangan duduk di atas ivory tower, dengan tidak memperdulikan apa yang dilihatnya.

Sebagai intelektual Muslim atau kaum modernisme tidak bisa menunggu sampai masyarakat menjadi collaps, sampai masyarakat remuk, dan rusak. Kita harus sudah dapat melihat kecenderungan-kecenderungan masyarakat, apakah masyarakat tersebut menuju yang baik atau menuju kepada kesulitan. Kita harus mencari alternatif konsep pembangunan masyarakat, karena kalau dibiarkan, akan begitu rusaknya mereka, sulit untuk mengembalikan, atau akan terjadi pengorbanan yang amat besar dan mahal.[19]

Menurut Imam Bawani dan Isa Anshori,[20] ada tiga peran yang bisa dilakukan oleh intelektual Muslim, atau pembaru pemikiran, Pertama, melalui ”kaderisasi”; kedua, melalui ”kerja kemanusiaan”;” dan ketiga, melalui ”konsep keilmuan”. Ketiga peran tersebut dilandasi dan dinapasi oleh prinsip-prinsip ajaran Islam.

Untuk itu, Ali Syariati juga menegaskan[21] bahwa peran intelektual Muslim atau pembaru pemikiran adalah membantu masyarakat agar berkembang lebih cepat dengan cara mengenalnya, mempengaruhi, memanfaatkan serta mengaktifkan organ-organ dan hubungan sosialnya, sehingga ia tidak tertinggal di belakang dunia modern.

Menurut Edward Martiner, tugas intelektuala Muslim atau pembaru pemikiran direlevankan dengan tugas seorang Muslim semata-mata, yaitu membantu orang yang membutuhkan dan membangun masyarakat di mana hukum tuhan diberlakukan.[22]

Berdasarkan beberapa pendapat tentang tugas kaum modernis di atas, maka dapat disimpulkan, tugas intelektual Muslim atau pembaru pemikiran adalah membawa masyarakat ke arah kemajuandalam rangka membebaskan masyarakat dari belenggu kehidupan, dan mengajak bersama-sama untuk mengangkat dan mempertahankan eksistensi kemanusiaan, mengubah tatanan dan praktik kehidupan yang tidak benar menjadi benar, mengubah tradisi berpikir konvensional yang jauh tertinggal dari kemajuan zaman, menjadi pola pikir yang menuju kesejahteraan, ketentraman dan kemakmuran bersama yang berdasarkan nilai-nilai Islam.

D. Tanggung Jawab Kaum Modernis

Menurut Fazlur Rahman, ”bahwa umat Islam akhir-akhir ini dengan nyata menunjukan kekurang mampuan dirinya untuk memenuhi tuntutan dunia modern secara kreatif. Mereka yang memahami tradisi tidak memiliki pemahaman lengkap tentang situasi dunia mutakhir”.[23]

Di lain pihak, mereka yang memahami dunia modern secara tepat, hampir-hampir tidak memiliki pengetahuan tradisi dan sejarah perkembangan tradisi tersebut. Harus diakui bahwa masyarakat kita belum memiliki kesiapan yang terencana untuk hidup di abad ke - 21 atau dikenal dengan istilah masa depan yang terdapat kendala-kendala cukup kompleks, baik yang mencakup ilmu pengetahuan, keterampilan dan yang paling menonjol adalah bidang mentalis. Mentalis masyarakat kita masih merupakan manifestasi dari zaman agrikultur.

Untuk mengejar ketertinggalan umat Islam, perlu adanya perubahan pola pikir di kalangan umat Islam dari tradisi berpikir konvensional yang jauh tertinggal dari kemajuan zaman diubah menjadi pola pikir yang berorientasi kepada kemajuan perkembangan zaman yang dilandasi nilai-nilai Islam. Untuk mengubah pola pikir tersebut merupakan tugas dan tanggung jawab kaum modernis atau pembaru pemikiran, karena intelektual Muslim atau pembaru pemikiran mempunyai peran dan tugas melepas atau membebaskan umat Islam dari belenggu kehidupan, yaitu dengan membuat alternatif pelepasan belenggu tersebut. Sebab, pemikiran untuk menghadapi masa depan tidak mungkin lahir ari orangorang awam.

Alternatif yang perlu dilakukan oleh kaum modernis atau pembaru pemikiran dalam melakukan perubahan pola pikir umat Islam melalui cara, sebagai berikut.

a) Menyesuaikan fiqih Islam terhadap kebutuhan masyarakt , sebab fiqih sebagai produk pemikiran manusia bukan sesuatu yang rigid terhadap perubahan-perubahan. Fiqih harus mampu memberikan jawaban-jawaban yuridis terhadap persoalan hidup dan kehidupan manusia, sementara dinamika kehidupan senantiasa menimbulkan perubahan-perubahan.oleh sebab itu, peluang kajian fiqih harus senantiasa terbuka dan harus dilakukan dengan memperhatikan implikasi-implikasi sosial dari penerapan produk-produk pemikiran hukum, tapi harus tetap menjaga relevamsi dengan kehendak doktrin-doktrin al-Qur’an tentang tngkahlaku manusia.

b) Memberikan pandangan bahwa fiqih hasil kajian ulama masa lampau ada yang sudah tidak relevan lagi dengan kehidupan masa kini, atau belum diadakan kajian pada waktu itu.

c) Memperhatikan bidang pendidikan, sebabmasyarakat merupakan suatu proses dan memiliki hubungan timbal balik dengan berbagai aspek kehidupan.

d) Memberikan pandangan bahwa pendidikan berfungsi sebagai inovasi dan modernisasi bagi perubahan masyarakat. Pendidikan merupakan hal yang dominan untuk mengubah pola pikir umat Islam.

e) Pendidikan Islam harus harus berperan aktif, konstruktif, dan direktif, menuju kearah pembinaan SDM menjadi sosok-sosok pribadi yang kreatif kompetitif, produktif, dan selektif dalam menghayati dan mengamalkan tata nilai ajaran agama-nya untuk menghadapi tata nilai baru.

f) Umat Islam harus dibekali rasa ukhuwah Islâmiyah agar tidak saling baku hantam dan diberikan suri tauladan, yaitu dengan tidak terjadinya pada kalangan intelektual atau pembaru pemikiran perbuatan saling mencerca, memfitnah karena hanya diselimuti rasa dengki terhadap seseorang yang berhasil memangku suatu jabatan atau sukses dalam karier, atau karena berbeda paham. Perbuatan semacam itu akan membuat ketertinggalan umat Islam atau kemunduran umat Islam. Sebagai contoh perpecahan para sahabat dan fenomenaKhawarij di masa Ali bin Abi Thalib, bukan saja sebagai klimaks dari grafik menurunnya kehidupan bernegara, tetapi juga mengharuskan kita untuk mempertimbangkan kembali, bahwa masa Al-Khulâfa Al-Rasyidin merupakan contoh ideal dari kehidupan bernegara.

Untuk mengantipasi kehidupan masa depan kaum modernis atau pembaru pemikiran, hendaknya harus mengantisipasi dampak negatif dan positif dari kehidupan masa depan, dengan cara sebagai berikut:[24]

(a) mengantisipasi dampak negatif dari kehidupan masa depan, di antaranya melalui:

(1) memberikan mental agama kepada anak-anak, remaja dan orang dewasa, karena melalui pembinaan mental, orang dapat mencegah dirinya dari pengaruh negatif kehidupan masa depan;

(2) memberikan suri tauladan kepada umat Islam, karena intelektual Muslim atau pembaru pemikiran merupakan cermin bagi orang-orang awam.

(b) mengantisipasi dampak positif dari kehidupan masa depan, di antaranya melalui:

(1) memberikan penjelasan kepada umat Islam bahwa pembaruam pola pikir, bertujuan memperbaiki cara berpikir dan cara hidup umat Islam agar tercapai kehidupan bahagia dunia akherat.....”

(2) memberikan sarana kepada umat Islam agar menggunakan waktu semaksimal mungkin dengan menerapkan disiplin dalam diri umat Islam dalam semua aspek kehidupan, baik kepentingan duniawi maupun ukhrawi.

Maka dengan adanya beberapa pernyataan di atas, terkait dengan tanggung jawab kaum modernis dalam rangka mengubah pola pikir umat di tengah arus era modern, demi melepas atau membebaskan umat Islam dari belenggu kehidupan. Maka kita harus ikut berperan aktif, konstruktif, dan direktif menuju kearah peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia.

Oleh karena itu, dengan adanya kaum modernis yang berperan aktif dalam menjalankan tanggung jawabnya dalam melakukan perubahan pola pikir di kalangan umat Islam dari tradisi berpikir konvensional yang jauh tertinggal dari kemajuan zaman, hal ini dilakukan oleh mereka karena bertolak dari sebuah perenungan − Apakah ada harapan baik bagi kehidupan beragama pada masa depan? Atau, lebih prinsipil lagi: Adakah kebaikan dalam kehidupan keagamaan [Islam] bagi generasi yang akan datang? Sebab dengan adanya perenungan ini, umat Muslim melalui kritikus-kritikus modernnya dapat memperlihatkan, bahwa Islam akan memenuhi pengabdianya sebagai sebuah agama untuk semua zaman

PENUTUP

Dari uraian di atas, dapat dapat diambil kesimpulan bahwa mengkaji Islam di dunia modern itu diwarnai oleh berbagai persepektif pemikiran di kalangan para intelektual Muslim yang berbeda-beda. Misalnya Nurchalis Madjid, pernah mengatakan ”bahwa kaum Muslimin Indonesia sekarang telah mengalami kejenuhan kembali dalam pemikiran dan pengembangan-pengembangan ajaran Islam, dan kehilangan psikologi striking force dalam perjuangannya.” kemudian dalam pendekatan Nurcholis untuk memahami umat dan ajaran Islam lebih bersifat kultural- normatif ketimbang formal-legalistik.

Di lain sisi, pendialogan ajaran Islam dengan realitas modern menimbulkan kesenjangn, bahkan ketegangan. Kesenjangan antara Islam dan modernitas terletak pada perbedaan parameter dalam mengukur dan menilai manusia dan Tuhannya. Sedangkan ketegangan, diawali dengan adanya kegelisahan terhadap kebekuan ortodoksi tradisi yang selama ini dianggap benar, dengan ini, sehingga mereka melangkah pada pembaruan Islam.

Disamping itu, masih dalam wacana kajian Islam, ada diantara para modernis atau pembaruan pemikiran, mereka menggunakan metode pembacaan tradisi dalam kajian keislamannya, seperti yang dilakukan oleh kaum muda NU. Menurutnya, membaca tradisi juga berarti menelaah tradisi secara kritis untuk membangun kebudayaan dan tradisi pemikiran baru yang akan mendorong transformasi sosial dan perubahan pada tataran teoretis dan praksis. Tradisi di tempatkan sebaai objek kajian, juga sebagai landasan utama metodologi kajian Islam dalam kancah pembaruan pemikiran, pembacaan tradisi merupakan pijakan awal untuk membuka lembaran baru pemikiran Islam. Bahkan mereka melakukan kritik atas nalar tradisi, baginya mengkritisi tradisi tanpa harus membunag tradisi, karena tradisi merupakan khazanah Islam yang perlu dijaga dan dilestarikan sebagai kekayaan budaya. Kehendak untuk meninjau ulang tradisi itu bukan untuk mengganti tradisi yang lalu dengan yang baru, akan tetapi menghadirkan makna baru yang lebih kontekstual.

Kemudian, diakhir pembahasan menyinggung keharusan adanya pembaruan, sebab memperhatikan tantangan umat Islam di abad modern ini, mau tidak mau harus dihadapi. Untuk menghadapi tantangan tersebut diperlukan pemikiran Islam kontemporer, sehingga Islam dapat memberikan jawaban terhadap perkembangan dunia yang begitu cepat.

« DAFTAR PUSTAKA »

Ali Riyadi, Ahmad. Dekonstruksi Tradisi: kaum muda NU merobek tradisi, Cet. 1, Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2007

Ali Syariati, “Sekitar Tentang Sejarah Masa Depan,” Dalam Ulumul Alquran LSAF, Jakarta, Vol. ІІІ No: 2 Tahun 1992.

Anshari, Fuad. Prinsip-prinsip Dasar Konsep Sosial Islami. Surabaya: PT.Bina Ilmu, 1984

Akhmad Taufik, dkk., Sejarah Pemikiran dan Tokoh Modernisme Islam, cet. 1, Jakarta: Raja GrafindoPersada, 2005.

Edwar Martiner, Islam dan Kekuasaan. Bandung: Mizan, 1984.

Fazlur Rahman, Islam Modern, Tantangan Pembaruan Islam, Salahuddin Pres, YK, 1987.

Imam Bawani dan Isa Anshori, Cendekiawan Muslim Dalam Persepektif .Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1991.

H.M., Arifin, Sumber Daya Manusia Dalam Persepektif Kependidikan Islam, Fakultas Tarbiyah Metro, 1994.

M. Shodiq Mustika, “Moderatisme: Antara Tradisi dan Modernitas”, artikel diakses pada tanggal 24 Januari 2008 dari http://www.cmm.or.id

Nurcholish Madjid, Islam, Kemodernan dan Keindonesiaan. Bandung: Mizan, 1987.

M. Arkoun & Lous Gardet, Islam Kemarin dan Hari Esok, Cet. 1. Bandung: Pustaka, 1997.

Edy A. Effendy, ed., Dekonstruksi Islam: Mazhab Ciputat, Cet. 1. Bandung: Zaman Wacana Mulia, 1999

John Cooper, dkk., Islam dan Modernitas Respon Intelektual Muslim. Bandung: Pustaka, 2004

Shabbir Akhtar, Faith for All Seasonss: Islam and Western Modernity, terj. Rusdi Djana, Cet. 1.Jakarta: Pustaka Zahra, 2002.



[1] Shabbir Akhtar, Faith for All Seasonss: Islam and Western Modernity, terj. Rusdi Djana, Cet. 1 (Jakarta: Pustaka Zahra, 2002), hlm. 7.

[2] Ahmad Ali Riyadi, Dekonstruksi Tradisi: kaum muda NU merobek tradisi, Cet. 1, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2007), hlm. 126.

[3] John Cooper, dkk., Islam dan Modernitas Respon Intelektual Muslim (Bandung: Pustaka, 2004), h. 4.

[4] Artikel diakses pada tgl. 24 Januari 2008, dengan jdl. ”Islam, Modernitas, dan Peradaban, dari http://www.Cmm.Or.id, tgl. Publikasi 17 Juli 2007.

[5] Ibid.

[6] Ninuk Mardiana Pambudy & Dahono Fitrianto, “Kelompok Islam Radikal Produk Sampingan Kolonialisme dan Modernitas,” KOMPAS, 24 Juli 2005.

[7] Edy A. Effendy, ed., Dekonstruksi Islam: Mazhab Ciputat, Cet. 1 (Bandung: Zaman Wacana Mulia, 1999), hlm. 259.

[8] Nurcholish Madjid, Keislaman, Kemodernan, dan Keindonesiaan (Bandung: Mizan, 1987), hlm. 268

[9] Ahmad Ali Riyadi, Dekonstruksi Tradisi: kaum muda NU merobek tradisi, Cet. 1, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2007), hlm. 108.

[10] Ibid., hlm. 121

[11] M. Abed Al-Jabiri, At-Turâts wa al- Hadâtssâh: Dirasah wa Munâqasâh (Beirut: al-Markaz al-Tsiqafi al-‘Arabi, 1991), hlm.24.

[12] Nurcholish Madjid, Islam, Kemodernan dan Keindonesiaan, (Bandung: Mizan, 1987), hlm. 172

[13] M. Arkoun & Lous Gardet, Islam Kemarin dan Hari Esok, Cet. 1 (Bandung: Pustaka, 1997), hlm. 120.

[14] Ahmad Ali Riyadi, Dekonstruksi Tradisi: kaum muda NU merobek tradisi, Cet. 1, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2007), hlm. 46.

[15] Ibid., hlm. 47

[16] M. Shodiq Mustika, “Moderatisme: Antara Tradisi dan Modernitas”, artikel diakses pada tanggal 24 Januari 2008 dari http://www.cmm.or.id.

[17] Akhmad Taufik, dkk., Sejarah Pemikiran dan Tokoh Modernisme Islam, cet. 1, (Jakarta: Raja GrafindoPersada, 2005), hlm. 54.

[18] Ali Syariati, “Sekitar Tentang Sejarah Masa Depan,” Dalam Ulumul Alquran LSAF, Jakarta, Vol. ІІІ No: 2 Tahun 1992, hlm. 90.

[19] Fuad Anshari, Prinsip-prinsip Dasar Konsep Sosial Islami (Surabaya: PT.Bina Ilmu, 1984), hlm. 37.

[20] Imam Bawani dan Isa Anshori, Cendekiawan Muslim Dalam Persepektif (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1991), hlm. 51.

[21] H.M., Arifin, Sumber Daya Manusia Dalam Persepektif Kependidikan Islam, Fakultas Tarbiyah Metro, 1994.

[22] Edwar Martiner, Islam dan Kekuasaan (Bandung: Mizan, 1984), hlm. 383.

[23] Fazlur Rahman, Islam Modern, Tantangan Pembaruan Islam, Salahuddin Pres, YK, 1987, hlm. 108.

[24] Akhmad Taufik, dkk., Sejarah Pemikiran dan Tokoh Modernisme Islam, cet. 1, (Jakarta: Raja GrafindoPersada, 2005), hlm. 74.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar