Minggu, 05 April 2009

Tinjauan Moral atas Kasus Euthanasia

Tinjauan Moral atas Kasus Euthanasia
Oleh Denis Handika


I. Pendahuluan

Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di berbagai bidang tidak selalu bersesuaian dengan nilai-nilai moral dan prinsip-prinsip kemanusiaan yang berlaku secara umum. Begitu pun dalam bidang kedokteran. Kemajuan teknologi modern di bidang ini memberikan banyak tantangan kepada para ahli yang terkait (dokter dan paramedis lainnya) untuk mampu memanfaatkan kemajuan tersebut dengan tetap berpijak pada nilai-nilai moral. Dalam konteks ini, sumpah profesi–yang diucapkan seorang dokter–saja belum memadai bagi sepak terjang para professional di bidang medis. Diperlukan suatu kode etik mengikat yang menjadi arahan perilaku dalam profesi mereka agar setiap keputusan yang diambil dan tindakan medis yang dilakukan tidak keluar dari prinsip-prinsip moralitas.
Prof. Dr. Franz Magnis Suseno, seorang ahli filsafat modern ternama di negeri ini, dalam karyanya Filsafat Kebudayaan Politik: Butir-butir pemikiran Kritis mengatakan bahwa profesi kedokteran di masa ini banyak menemui tantangan moral yang seringkali bersifat kontroversial, dan–mau tidak mau–masyarakat harus menyadari, bahkan merespon keberadaan masalah-masalah tersebut.[1] Salah satu tantangan moral bidang kedokteran yang disebutkan olehnya adalah kasus euthanasia atau “mati wajar”.
Euthanasia adalah sebuah kasus yang menempatkan seorang ahli medis pada posisi yang dilematis karena terkait dengan hidup-mati seorang pasien (penderita). Kasus ini belakangan ramai diperbincangkan di berbagai negara karena menyisakan persoalan panjang. Ia pun menjadi sangat menarik sebab tidak hanya diperdebatkan oleh para ahli medis, tetapi juga melibatkan para tokoh agama dan ahli filsafat. Dalam makalah ini, saya akan memaparkan secara ringkas mengenai kasus euthanasia. Saya pun akan mencoba memberikan tinjauan moral filosofis atas masalah tersebut–sesuai dengan disiplin ilmu (Filsafat Moral) yang saat ini tengah saya geluti, dengan pendekatan dari sudut pandang etika kedokteran, hukum dan agama. Selain itu, makalah ini pun memuat perihal komersialisasi rumah sakit dan mahalnya biaya kesehatan di Indonesia, yang mana dari hasil diskusi mata kuliah Filsafat Moral, pada 25 Nopember 2008, masalah ini diduga memberi andil bagi semakin maraknya kasus Euthanasia.


II. Pembahasan
A. Pengertian Euthanasia

Secara etimologis euthanasia tersusun dari dua kata, yaitu eu yang berarti ‘mati’, dan thanasia yang berarti ‘wajar’/ ‘baik’.[2] Secara singkat, euthanasia dapat diartikan “mati secara baik” atau “mati secara wajar”. Dari segi medis, euthanasia diartikan sebagai upaya sengaja dalam penghilangan nyawa seorang pasien dengan cara memberikan zat/ obat tertentu untuk mempercepat kematian, atau dengan menghentikan hak pengobatan yang semestinya diperoleh pasien, untuk menghilangkan penderitaan pasien dengan mati secara wajar dan tidak menyakitkan dari sudut pandang medis.
Dilihat dari sisi ada atau tidaknya persetujuan dari si penderita, euthanasia dibedakan menjadi tiga bentuk, yaitu:
1. Euthanasia Sukarela: Euthanasia yang dilakukan seorang individu yang secara sadar menginginkan kematian untuk mengakhiri penderitaan karena sakit yang diidapnya.
2. Euthanasia non-Sukarela: Ini terjadi karena pasien tidak mampu memberikan persetujuan atau penolakan karena ketidakberdayaan fisik dan mentalnya.
3. Euthanasia Tidak Sukarela: Kasus seperti ini terjadi apabila pasien, sebenarnya, dapat ditanyakan persetujuan atau penolakannya, namun hal ini tidak dilakukan.
Jika dilihat berdasarkan metode yang dapat digunakan untuk melakukan euthanasia, Franz Magnis membedakannya menjadi:[3]
1. Euthanasia Pasif: Dilakukan oleh dokter dengan cara tidak menggunakan semua kemungkinan teknis kedokteran yang sebenarnya dapat dipakai untuk memperpanjang kehidupan pasien.
2. Euthanasia Aktif Tidak Langsung: Dokter memberi zat/ obat tertentu yang diketahui dapat mempercepat kematian pasien.
3. Euthanasia Aktif Langsung: Euthanasia seperti ini disebut juga Mercy Killing, yang mana dokter secara langsung menghilangkan nyawa seorang pasien.


B. Pro-Kontra seputar Euthanasia

Sebagaimana telah saya ungkapkan di awal, bahwa kasus euthanasia telah menjadi isu hangat yang diperdebatkan oleh banyak pihak. Sebagian pihak mendukung (pro) dan menyetujui tindakan medis dengan menghilangkan nyawa seorang pasien untuk mengakhiri penderitaannya. Namun sebagian lainnya menentang (kontra) dan menjadi opsisi terhadap tindakan euthanasia. Masing-masing pihak menggunakan argumen dari berbagai sudut pandang untuk mendukung pendapatnya.
Pihak pro-euthanasia berusaha untuk mempopulerkan dan melegalkan euthanasia. Menurut mereka, pengambilan keputusan untuk melakukan euthanasia adalah hak individu sepenuhnya. Hal ini didasarkan pada argumen bahwa setiap manusia memiliki hak untuk hidup dan hak untuk mengakhiri hidupnya. Jika seorang individu berada dalam situasi mengidap penyakit yang tak tertahankan, yang mana tidak mungkin lagi untuk sembuh atau bahkan hidup, maka ia harus diberikan kehormatan untuk menentukan cara dan waktu kematian dengan bantuan yang diperlukan.
Mereka juga berpendapat bahwa hidup seorang manusia harus berkualitas dan memiliki status moral. Maka dalam kasus kerusakan otak permanen, misalnya, terjadi kehilangan sifat-sifat kemanuisaan pada pasien tersebut, seperti hilangnya kesadaran, fungsi komunikasi, tidak mampu menikmati hidup, bahkan mungkin dapat merugikan orang-orang di sekitarnya (keluarga) karena besarnya biaya pengobatan dan perawatan yang harus dibayar, mempertahankan hidup pasien dianggap tidak berguna lagi.
Dalam kasus seperti ini, para pendukung euthanasia juga dapat menggunakan azas-azas utilitarisme–salah satu teori etika normatif dalam filsafat moral. Ungkapan Franz Magnis dalam Etika Dasar: Masalah-masalah Pokok Filsafat Moral, pada bagian yang menjelaskan utilitarisme, menarik untuk dikutip.
…bahwa akibat-akibat baik itu tidak hanya dilihat dari kepentingan si pelaku sendiri, melainkan dari segi kepentingan semua orang yang terkena oleh akibat tindakan si pelaku.[4]
Sehingga menghilangkan nyawa seorang pasien untuk menakhiri penderitaannya dan menghilangkan beban bagi orang-orang di sekelilingnya adalah baik secara moral menurut azas utilitarisme.
Sementara itu, pihak yang menentang euthanasia menjadikan alasan kemanusiaan sebagai landasan argumen mereka. Mereka berpijak pada proposisi bahwa setiap kehidupan manusia memiliki nilai intrinsik dan secara sengaja menghilangkan nyawa seseorang adalah suatu kesalahan. Mereka juga berkeyakinan bahwa setiap manusia tidak berhak untuk mengakhiri hidupnya, karena masalah hidup dan mati seseorang sepenuhnya berada pada kekuasaan Tuhan. Manusia justru harus berusaha sedapat mungkin untuk mempertahankan hidup yang merupakan karunia besar Sang Maha Pencipta.
Penentang euthanasia juga melandaskan pendapatnya pada The Universal Declaration of Human Rights yang salah satu butirnya menyatakan bahwa hak untuk hidup (life right) merupakan hak asasi manusia yang harus dihormati. Jadi secara umum, argumentasi pihak penentang euthanasia adalah mendukung hak setiap orang untuk hidup, bukan malah menciptakan struktur yang mengizinkan mereka untuk mati.


C. Euthanasia dari Sudut Pandang Moral

“Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di berbagai bidangtidak selalu bersesuaian dengan nilai-nilai moral dan prinsip-prinsip kemanusiaan yang berlaku secara umum”.

Kalimat di atas adalah kalimat yang mengawali tulisan pada makalah ini. Proposisi tersebut tentunya bukan tak mendasar, karena telah banyak terjadi hal-hal negatif yang merupakan ekses dari kemajuan sains dan teknologi. Bom atom, misalnya, yang digunakan untuk meluluh lantahkan kota Hiroshima dan Nagasaki (Jepang) pada tahun 1945, adalah salah satu contoh kemajuan IPTEK yang sangat bertentangan dengan moralitas dan prinsip-prinsip kemanusiaan pada tarap penerapannya. Hal seperti ini terjadi karena cepatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi tapi tidak dibarengi dengan pemahaman yang mendalam terhadap hal-hal yang menjadi prinsip-prinsip dasar moral; prinsip sikap baik, prinsip keadilan, dan prinsip hormat terhadap sesama.[5]
Hal yang sama terjadi pada kasus euthanasia, salah satu ekses negatif dari perkembangan IPTEK di bidang kedokteran. Dengan euthanasia, kematian–yang selama ini menjadi suatu topik yang ditakuti karena dapat terjadi pada siapa pun dan kapan pun–diubah paradigmanya menjadi sesuatu yang definit dan dapat ditentukan waktunya.
Hal yang menjadi persoalan adalah, bahwa semua diskusi dan perdebatan yang berkembang seputar euthanasia harus menjawab sebuah pertanyaan mendasar, yaitu: “Apakah semua hal yang bisa dilakukan memang patut dan layak untuk dilakukan?”. Di satu sisi, euthanasia boleh jadi dapat meringankan penderitaan seorang individu dan mengurangi beban orang-orang disekelilingnya. Namun di lain sisi, para etikawan, agamawan, dan para ahli medis, berpedoman pada sebuah prinsip bahwa dalam ilmu pengetahuan, tidak semua yang bisa dilakukan itu patut dan layak utnuk dilakukan.
Telaah moralitas yang lebih mendalam mengenai kasus euthanasia dapat dilakukan dari beberapa pendekatan, antara lain:
1. Etika Kedokteran

“Saya bersumpah demi Appolo Sang Penyembuh dan Asclepios, Segala Kesembuhan, seluruh Dewa-Dewi, bahwa sesuai dengan kemampuan dan penilaian:
Saya tidak akan memberikan obat yang mematikan kepada siapa pun bila diminta, atau tidak akan memberikan saran untuk itu; dalam bentuk apa pun”.[6]

Kutipan di atas adalah salah satu butir “Hippocratic Oath”, Sumpah kedokteran yang ditulis oleh Hippocrates–dikenal sebagai Bapak Pengobatan, lahir di Yunani pada 460 SM. Setelah sekitar 2500 tahun sejak Hippocrates mengucapkan sumpahnya, Hippocratic Oath masih memiliki pengaruh terhadap ilmu kedokteran modern, khususnya pada etika medis.
Sumpah ini kemudian dielaborasikan dengan nilai-nilai dan prinsip-prinsip kemanusiaan modern. Lembaga-lembaga medis di era modern mengadopsi sumpah Hippocrates sebagai etika kedokteran yang formal dan baku dengan disesuaikan pada konteks dan tuntutan kontemporer. Pengadopsian Hippocratic Oath dapat dilihat pada:[7] The Declaration of Geneve pada tahaun 1947 yang kemudian diamandemen di Venice, Italia pada 1983; The Extention of The Declaration of Geneve, yang disadur oleh British Medical Association; The Medical Secrecy tahun 1973; The Terminal Illness yang dikeluarkan oleh World Medical Association pada tahun 1983; The Declaration of Sydney tahun 1968; dan di Indonesia, pengejewantahan Hippocratic Oath tertuang pada sumpah dokter berdasarkan RAKERNAS Majelis Kehormatan Etika Kedokteran (MKEK) dan Majelis Pertimbangan dan Pembelaan Anggota (MP2A) pada tanggal 20-22 Maret 1993.
Dari semu ini, dapat terlihat bahwa bidang kedokteran sesungguhnya telah mempunyai seperangkat aturan normatif yang menjunjung tinggi arti sebuah kehidupan. Euthanasia, dalam semua deklarasi etika kedokteran tersebut, adalah dilarang karena tidak sesuai dengna prinsip-prinsip moral dasar. Argumen lain yang juga menunjukkan ketidaksesuaian euthanasia dengan etika kedokteran adalah sebuah prinsip bahwa tugas seorang dokter adalah untuk menyembuhkan, bukan membunuh; untuk mempertahankan hidup, bukan malah mengakhirinya.


2. Sudut Pandang Hukum

Beberapa negara, seperti Amerika Serikat, Belanda, Australia, dan Selandia Baru, telah memberikan legalitas pada pelaksanaan euthanasia. Namun, di Indonesia, masalah euthanasia adalah sesuatu yang ilegal karena bertentangan dengan hukum pidana positif yang telah diakui secara yuridis formal, yaitu dalam pasal 344 KUHP. Pasal ini secara tegas menyatakan:

“Barang siapa merampas nyawa orang lain atas permintaan orang lain itu sendiri yang jelas dinyatakan dengan kesungguhan hati, diancam dengan pidana penjara paling lama 12 tahun”.

Dengan demikian, dalam konteks hukum positif di Indonesia, tindakan euthanasia, meskipun atas kemauan pasien sendiri, adalah termasuk tindak pidana yang diancam dengan hukuman pidana bagi siapa saja yang melanggarnya. Kalau ini kita tarik pada falsafah deontologi Immanuel Kant, euthanasia yang–apabila–dilakukan di Indonesia, adalah sebuah tindakan yang melanggar kewajiban mentaati hukum, sehingga dapat dikategorikan sebagai tindakan amoral. Karena menurut Kant setiap perbuatan baru memasuki taraf moralitas apabila dilakukan semata-mata karena kewajiban. Dan pelanggaran atas sebuah kewajiban adalah sebuah tindakan tidak bermoral.[8]


3. Sudut Pandang Agama (Islam)

Manusia adalah makhluk yang terhormat di sisi Tuhan karena mereka diciptakan dengan kedua tangan Tuhan sendiri. Ini merupakan bagian yang menunjukkan besarnya kasih saying Tuhan kepada manusia. Pandangan seperti ini tertuang dalam al-Qur’an surat Shaad ayat 175.
Hal yang perlu kita cermati dalam proses penciptaan manusia adalah adanya sebuah ‘fitrah kesucian’ pada diri manusia, yang dengan ini manusia dapat mengembangkan berbagai potensinya, kesadaran diri untuk ber-Tuhan dan bertanggungjawab terhadap sesama, karena itu hidup seseorang menjadi sesuatu yang sangat mulia dan berharga, dan penghilangan atas nyawa seseorang adalah bertentangan dengan norma-norma agama.
Dengan demikian, agama–terlebih Islam–sesungguhnya dapat memberikan efek positif terhadap sains di bidang kedokteran, terutama dalam ranah penerapan norma-norma, seperti yang dikatakan Mehdi Golshani:

“Agama bisa berguna dalam mengorientasikan sains pada arah penguatan kapasitas-kapasitas spiritual manusia dan dalam mencegah penggunaan sains bagi tujuan-tujuan yang merusak”.[9]


D. Komersialisasi Rumah Sakit dan Mahalnya Biaya Kesehatan

Pelayanan kesehatan masih menjadi sesuatu yang mahal─dengan tingginya biaya perawatan dan obat-obatan di rumah sakit─bagi sebagian besar masyarakat Indonesia. Karena itu, bukan sesuatu yang aneh bila kita menyaksikan di kehidupan sehari-hari kita tentang berbagai keluhan masyarakat mengenai masalah ini, sehingga mereka lebih suka membawa anggota keluarganya yang sedang didera penyakit ke tempat-tempat pengobatan alternatif. Lagi-lagi karena alasan biaya, tidak sedikit orang yang tidak berani menggunakan jasa rumah sakit untuk mengatasi persoalan kesehatan yang mereka alami.
Akibatnya, tidak sedikit pula penyakit kronis dan berbahaya yang dialami masyarakat ekonomi lemah diabaikan begitu saja, sama sekali tanpa perawatan, bahkan sampai pada kondisi yang mengenaskan. Bagi mereka yang telah terlanjur membawa anggota keluarganya ke rumah sakit pun, mungkin akan terganjal oleh besarnya biaya yang harus dibayar. Hingga tak jarang kasus keluarga yang menarik anggota keluarganya keluar dari rumah sakit meskipun belum dalam kondisi sehat. Bahkan lebih ironis lagi, ada juga keluarga yang rela memutuskan untuk mengambil tindakan euthanasia dalam situasi keuangan yang sudah sangat mendesak.
Sebuah keadaan yang sangat disayangkan tentunya. Namun kita pun tak bisa menyalahkan begitu saja pihak keluarga yang terkait dalam masalah ini, karena ada problema besar yang melatarbelakangi lahirnya keputusan tersebut, yaitu mahalnya biaya kesehatan akibat adanya komersialisasi rumah sakit.
Rumah sakit, yang tujuan utamanya memberikan pelayanan kesehatan untuk masyarakat, mengubah paradigmanya ke arah komersialisasi. Pelayanan kesehatan yang sejatinya memiliki nilai sosial, dijadikan sebagai komoditas jasa atau barang (obat-obatan dan alat-alat pendukung teknis kesehatan) yang diperjualbelikan dengan mengikuti hukum-hukum ekonomi. Akhirnya, masyarakat lah yang selalu menjadi korban. Praktek “jual-beli” kesehatan, antara masyarakat dan penyedia layanan kesehatan, terjadi secara tak seimbang; karena masyarakat seringkali tidak memperoleh informasi yang cukup mengenai detil-detil sesuatu yang mereka beli.
Hilang sudah tanggungjawab sosial untuk menyediakan pelayanan kesehatan yang lebih baik. Hilang sudah rasa kemanusiaan oleh tujuan mencari profit. Hilang pula nilai-nilai moral.


III. Kesimpulan

Di dalam dunia materialistik seperti sekarang ini–dimana materi; uang, seringkali dijadikan tolok ukur bagi segala sesuatu–nilai-nilai moral, agama, dan prinsip-prinsip kemanusiaan seringkali di sisihkan. Bukan mustahil bahwa euthanasia akan semakin banyak digunakan oleh para pasien atau penderita untuk menolong mereka agar terbebas dari penderitaan. Hal seperti ini sesungguhnya mengindikasikan bahwa sedang terjadi proses pergeseran nilai struktural di masyarakat. Hal yang patut kita waspadai, tentunya.
Namun demikian, isu-isu yang merupakan ekses dari kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang terkait kehidupan manusia akan semakin berkembang secara kompleks. Perbedaan-perbedaan pendapat dan pandangan pun mungkin akan semakin meruncing. Diperlukan sebuah kebijaksanaan dari berbagai pihak untuk menyikapi hal tersebut agar kemaslahatan umat manusia tetap menjadi prioritas.
Bagaimanapun, prinsip-prinsip dasar moral, seperti prinsip sikap baik kepada sesama, prinsip keadilan, dan prinsip hormat terhadap sesama manusia sebagai suatu person; dan prinsip agama yang memandang hidup sebagai suatu kesucian karunia Tuhan, merupakan sesuatu yang urgen untuk kita pegang teguh dalam berbagai aspek kehidupan kita agar kita tidak terjebak pada pemahaman-pemahaman yang keliru dalam bertindak.



DAFTAR PUSTAKA


Catatan kuliah Mata Kuliah Filsafat Moral, bimbingan Dr. Umar Ibrahim, pada Selasa18 Nopember 2008, untuk mahasiswa semester III (angkatan 2007) Program S1 Kajian Islam ICAS Jakarta.

Golshani, Mehdi, Melacak Jejak Tuhan dalam Sains: Tafsir Islami atas Sains, terj. Ahsin Muhammad. Bandung: Mizan, 2004.

Suseno, Franz Magnis, Etika Dasar: Masalah-masalah Pokok Filsafat Moral. Yogyakarta: Kanisius, 1987.

Suseno, Franz Magnis, Filsafat Kebudayaan Politik: Butir-butir pemikiran Kritis. Jakarta: Gramedia, 1992.

Taher, Tarmizi, Medical Ethics: Manual Praktis Etika Kedokteran untuk Mahasiswa, Dokter, dan Tenaga Kedokteran. Jakarta: Gramedia, 2003.



[1] Franz Magnis Suseno, Filsafat Kebudayaan Politik: Butir-butir pemikiran Kritis (Jakarta: Gramedia, 1992), hal. 12-19.
[2] Tarmizi Taher, Medical Ethics: Manual Praktis Etika Kedokteran untuk Mahasiswa, Dokter, dan Tenaga Kedokteran (Jakarta: Gramedia, 2003), hal. 77.
[3] Franz Magnis Suseno, Filsafat Kebudayaan Politik: Butir-butir pemikiran Kritis, hal. 18-20.

[4] Franz Magnis Suseno, Etika Dasar: Masalah-masalah Pokok Filsafat Moral (Yogyakarta: Kanisius, 1987),cet. 17, hal. 123.
[5] Ibid., hal. 129-137.
[6] Tarmizi Taher, Medical Ethics: Manual Praktis Etika Kedokteran untuk Mahasiswa, Dokter, dan Tenaga Kedokteran, hal. 95-97.
[7] Ibid., hal. 95-125.
[8] Catatan kuliah Mata Kuliah Filsafat Moral, bimbingan Dr. Umar Ibrahim, pada Selasa-18 Nopember 2008, untuk mahasiswa semester III (angkatan 2007) Program S1 Kajian Islam ICAS Jakarta.
[9] Mehdi Golshani, Melacak Jejak Tuhan dalam Sains: Tafsir Islami atas Sains, terj. Ahsin Muhammad (Bandung: Mizan, 2004), cet. I, hal. 9.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar