Senin, 06 April 2009

TEORI ETIKA

Teori-teori Akhlak Para Filosof

oleh: Zulpi Nurhamdan Rivai

Teori Plato

Plato, dalam teori sosialnya, menjelaskan pandangannya tentang ahklah. Mengenai bidang pilitk mudun (kota atau peradaban), ia sampai pada pembahasan ahlak. Ia memulai pembahasannya dari masalah keadilan social dan mengakhirinya pada masalah keadilan moral (ahlak).

Plato meyakini bahwa hanya tiga hal yang mempunyai nilai, yaitu: keadilan, keindahan dan hakikat. Dan menurutnya, tiga hal tersebut sumbernya hanya satu, yaitu baik. Jadi hanya satu yang mempunyai nilai, dan yang harus dicapai, yakni baik. Dan baik-lah yang akan dicapai oleh ahlak.

Plato mendefinisikan keadilan social: “Keadilan ialah ketika seseorang memperoleh sesuatu yang menjadi haknya, dan mencapai suatu pekerjaan yang memiliki kesediaan dan kepatutan”.

Dan tentang keadilan individual: “Keadilan dalam individu ialah tatanan dan rangkuman yang efektif dan menghasilkan, adalah keseimbangan kekuatan-kekuatan seorang individu insane. Dalam arti bahwa tiap kekuatan berada pada posisinya, dan tiap kekuatan berserikat penuh dalam amal perbuatan manusia.

Kita lihat bahwa ia mendefinisikan keadilan, baik keadilan individual maupun keadilan social, sebagai keseimbangan dan kesesuaian. Keseimbangan dan kesesuaian itu adalah keindahan. Jadi, keadilan kembali pada keindahan.

Di sisi lain, keindahan ada dua macam: mahsus berkaitan dengan pancaindra) dan ma’qul (rasional). Keindahan mahsus seperti keindahan bunga, atau keindahan burung merak, dan sebagainya. Adapun keindahan Ma’qul, ialah yang dapat dijangkau oleh akal, bukan indra, seperti keindahan kebenaran, keindahan etika, keindahan takwa, keindahan peduli, dan lainnya. Keindahan ma’qul, itulah yang kita sebut kebaikan, atau keindahan amal, atau kebaikan moral (ahlaqi). Keindahan keadilan merupakan bentuk keindahan ma’qul, bukan mahsus. Jadi, keadilan kembali pada kebaikan.

Di sisi lain, keadilan adalah kesucian asli alam. Diseluruh sistemnya, alam berdasarkan keadilan, tatanan, dan keseimbangan bekerja. Alam berdiri dengan adil dan seimbang. Karena itu, jika orang melampaui batas keadilan, dan jika seorang individu melampaui dan menyimpang dari batas kemampuan dan potensi alami, ia mampu memperoleh keistimewaan dan manfaat sesaat. Tetapi Tuhan akan “memaksakan” keadilan dan kemurkaan baginya. Tabiat laksana konduktor orchestra dengan tongkatnya yang menakutkan, yang karenanya tiap alat music yang mengalami ketidak sesuaian akan kembali pada posisinya, dan suara serta nada alaminya kembali.

Berdasarkan hali itu, hakikat adalah pencapaian keadilan alam dan pencapaian keadilan moral.

Baik (termasuk baik secara moral) dalam pandangan Plato adalah sebuah hakikat yang tetap, mandiri dari pikiran kita. Yakni seperti realitas-realitas matematika dan natural, yang lepas dari pikiran kita. Ada juga baik secara ahlak, yakni hasil hubungan pikiran kita (yang merupakan perkara yang relative) dengan sebuah realitas eksternal. Dari sisi pengetahuan, baik bukan perkara yang aksiomatis (dapat diterima kebenarannya tanpa perlu pembuktian), tetapi bersifat teoretis (nazhari). Yakni dalam mengetahuinya harus dengan kekuatan logika dan filsafat. Karena itu, hanya para filusuf yang mampu mengetahuinya.

Baik bagi semua orang—mencakup laki-laki dan perempuan, tua dan muda, yang berilmu maupun yang awam, individu maupun social—adalah satu. Jadi, ahlak untuk semua orang adalah satu dan mempunyai satu rumus.

Untuk mengamalkan kebaikan, mengetahuinya sudah cukup. Plato dan gurunya, Socrates, meyakini bahwa untruk melaksanakan tuntutan kebaikan, dengan mengetahuinya sudah cukup. Itu artinya manusia tidak mungkin dapat mengetahui dan menentukan kebaikan tapi tidak melaksanakanya. Kebodohanlah sebab tidak mengamalkannya. Jadi untuk memerangi keburukan ahlak, kebodohan harusalah disingkirkan, dan itu sudah cukup. Karena itu Socratesyakin bahwa sumber semua keutamaan atau kemuliaan adalah hikmah (filsafat), bahkan setiap keutamaan adlah semacam hikmah. Seperti keberanian, mengetahui tentang apa yang harus ditakuti dan apa yang tidak harus ditakuti. Seperti iffat (menjaga kehormatan), mengetahui kestabilan nafsu syahwat, seberapa kuatnya menahan dan menuruti kebutuhannya. Dan seperti keadilan, mengetahui dasar-dasar dan aturan dalam hubungan dengan orang lain (masyarakat), mana yang harus diperhatikan.

Menurut Plato, jika seorang manusia menjadi filsuf, niscaya ia akan menjadi baik. Mustahil seorang filsuf secara realitas tidak mempunyai ahklak, sebab buruk adalah bagian dari kebodohan.

Atas teori Plato, berkut ini beberapa masukan:

1. Plato berpandangan bahwa baik adlah perkara yang hakiki dan manidri dari pikiran manusia seperti perkara-perkara matematika dan alam. Yakni sebagaimana adanya lingkaran atau segitiga terlepas dari pikiran kita. Dan hanya pikiran kita yang dapat menyingkapnya. Baik adalah sebuah hakikat yang terlepas dari pandangan pikiran kitaz, dan pikiran kita yang menyingkapnya.

Telah kami katakan sebelumya dan nanti akan kita ketauhi bahwa masalah ni dapat dikritik. Sepertinya dari pernyataan Plato tidak ada perbedaan antara masalah-masalah filsafat teoretis dan praktis.

2. Selain itu, Plato memandang bahwa kebaikan moral (ahklak) adalah mandiri dari pikiran kita. Ia mengingkari setiap macam relativitas dalam ahklak. Masalah ini juga dapat dikritik. Mengenai hal itu, nanti akan kita bahas.

3. Plato, seperti gurunya, Socrates, berpandangan bahwa untuk mengatasi masalah ahklak cukuplah dengan hikmah (filsafat) dan pengetahuan. Namun ilmu penetahuan dan fisafat saja tidaklah cukup. Disamping ilmu pengetahuan, pendidikan juga diperlukan. Pendidikan (tarbiyah) mewujudkan sifat-sifat bawaan atau kebiasaan alami (malakh nafsani) yang sesuai dengan tuntutan pengetahuan dan hikmah. Dengan kata lain, menurut Plato, pendidikan untuk menjadi baik itu sudah cukup. Sedangkan pendidikan juga membutuhkan bimbingan.

Pandangan Aristoteles

Mengenai ahklak, Aristoteles melontarkan pandangannya tentang kebahagiaan. Menurutnya, manusia mencari kebahagiaan, bukan mencari kebaikan. Dan menurut pandangan Plato, kebaikan, setidaknya sebagiannya, adalah kebahagiaan.

Meskipun kami tidak melihat definisi Aristoteles tantang kebahagiaan, tetapi kami tau bahwa kebahagiaan adalah mengeruk kesenangan semaksimal mungkin dan menjauhi kesedihan semaksimal mungkin. Namun yang jelas, rasa senang dan tidak senang terbatas pada kesenangan dan kesedihan jasmani. Ada kesenangan dan kesedihan yang lebih tinggi, yaitu (kesenangan dan kesedihan) rohani dan spiritual.

Manusia di dunia ini mengharapkan dan mengejar kebahagiaan. Ia tidak mengharapkan kebahagiaan dan juga kesempurnaan. Mustahil ia berpegang pada sesuatu yang menetang kebahagiaan, yakni kesengsaraan. Ia tidak akan mengharapkan dan mencarinya. Kesenangan bukanlah hakikat kebahagiaan, tetapi adlah syarat kebahagiaan. Sebab banyak kesenangan yang berakhir pada kesengsaraan yang lebih besar.

Sekarang harus kita ketahui, apa jalan memperoleh kebahagiaan? Ilmu ahklak merupakan jalan memperoleh kebahagiaan.

Aristoteles yakin bahwa: “keutamaan dan kemuliaan adalah perantara untuk mencapai tujuan, yakni kebahagiaan. Sebab tujuan adalah sesuatu yang kita cita-citakan, sedangkan perantara adalah sesuatu yang kita pikirkan dan yang kita pilih (tentukan). Kita harus memilih dan menentukan amal perbuatan yang berkaitan dengan perantara. Jadi, memperhatikan keutamaan dan kemuliaan berhubungan dengan perantara.

Menurut Aristoteles, ahklak yang pada hakikatnya jalan menuju kebahagiaan, ialah memperhatikan keadilan dan garis tengah (had wasth). Ia mengatakan: “Keutamaan atau ahklak adalah garis tengah antara ifrath (melampaui batas) dan tafrith (menyia-nyiakan). Ia yakin bahwa setiap kondisi jiwa atau spiritual memilki batas tertentu, yang bila di bawah batas atau melampauinya adalah suatu kehinaan. Dan batas tertentu tersebut adalah suatu keutamaan atau kemuliaan. Misalnya sifat berani (syaja’ah), berhubungan dengan kekuatan emosional, dan tujuannya adalah pembelaan diri (difa). Sifat ini adalah batas atau garis tengah antara sifat pengecut (jubun) dan sifat konyol (tahawwur). Sifat iffat, berhubungan dengan kekuatan syahwat, ialah garis tengah antara membunuh nafsu (khumud) dan mengumbar nafsu (syarrah). Sifat hikmah (bijak), berhubungan dengan kekuatan akal, ialah garis tengah antara akal licik dan lemah akal, ialah garis tengah antara bakhil dan boros. Sifat tawadu, ialah garis tengah antara sombong dan menghinakan diri.

Berbeda dengan Plato, Aristoteles meyakini bahwa untuk mencapai keutamaan tidak cukup dengan ilmu pengetahuan. Untuk mencapainya, jiwa atau diri harus dididik dengan keutamaan. Sifat-sifat keutamaan harus diwujudkan dalam jiwa. Ia harus melakukan perbuatan-perbuatan utama dengan memperhatikan keseimbangan dan garis tengahnya, harus membiasakannya sebagus mungkin. Dan pekerjaan ini tidaklah mudah.

Tidak diragukan bahwa teori Aristoteles memiliki satu bagian (poin) dari hakikat ini. Tetapi ada masah pokok yang mungkin dapat dilontarkan atas teori ahklaknya Aristoteles, ialah bahwa menurutnya kerja ilmu ahklak hanya menentukan jalan yang terbaik (yakni garis tengah) untuk mencapai tujuan (yakni kebahagiaan). Arah tujuan telah ia tentukan. Ahklak, dalam pandangan Aristoteles, tidak menunjukan tujuan pada manusia, tetapi jalan mencapai tujuan. Sedangkan bisa dikatakan bahwa sebuah pemikiran ahklak itu mengemban tugas, juga menentukan tujuan manusia. Yakni bukan berarti manusia dari sudut pandang tujuan tidak butuh petunjuk.

Ahklak ala Aristoteles melihat tujuannya adalah kebahagiaan dan manusia selalu mencari kesenangan diri, maka harus ditunjukan padanya jalan menuju kesenangan. Sebenarnya, unsure ahklak yang paling mendasar ialah ahklak melahirkan kesucian. Ahklak, kesuciannya menafikan jalan pribadi dan egoisme. Dengan kata lain, keluar dari seputar diri. Jadi, dalam ahklak ala Aristoteles, teori yang hanya mengenal tujuan kebahagiaan dipandang berdasar pada seputar pribadi.

Sebagian orang menyimpulkan lain, bahwa semua ahklak mulia tidak dapat dijelaskan dengan tolok ukur garis tengah. Misalnya jujur, dimana garis tengah antara ifrath dan tafrith? Jujur adalah baik dan berdusta, yang merupakan lawannya, adalah buruk.

Setelah Socrates, disamping pemikiran filosof Plato dan Aristoteles, terdapat kelompok filsuf yang lain. Kelompok yang terkenal ini memilki pandangan-padangan tentang masalah-masalah logis, filosofis, dan moralitas. Mereka antara lain para Kalbis, Skeptisis, Epikuris, Ruwaqis.

Teori Kalbisme

Sebagian filsuf menamakan mereka Kalbis. Kata ini di ambil dari kata kalb (bahasa arab), yang artinya anjing. Berkenaan dengan nama ini, yang dinisbatkan kepada mereka.

Pemuka kalbisme adalah seorang laki-laki yang bernama Diogenes atau Dogen, bahasa Arabnya Dojans. Diogenes mempunyai seorang guru yang bernama Antisthenes yang merupakan muridnya Socrates.

Mereka kaum Kalbis mengatakan:

“Setelah kematian Socrates, dia berada dalam kumpulan yang terhormat di kalangan para muridnya. Tapi setelah ia lalui masa-masa mudanya yang kelam, ia menolak apapun kecuali kebaikan, kesucian, dan kesederhanaan hidup. Ia hidup bersama para pekerja kasar dan berpakaian layaknya mereka. Dengan bahasa yang dapat dipahami orang awam yang tak terpelajar sekalipun, ia memberikan ceramah di suatu rumah. Menurutnya, filsafat-filsafat yang dalam tidak ada maknanya. Keyakinannya merujuk pada tabiat, dan dalam keyakinan ini ia selalu berlebihan. Ia selalu mengatakan tidak perlu pemerintahan, tidak perlu kepemilikan pribadi, tidak perlu beristri, tidak perlu beragama. Ia selalu mengatakan, ‘Aku tegaskan bahwa aku gila, aku hidup tidak normal’.

Diogenes adalah murid Antisthenes. Pedomannya ialah lari dari peradaban, dan pada hakikatnya ia ingin hidup seperti cara hidup binatang. Dituliskan tentang dia bahwa: “Dia hidup seperti gaya hidup anjing”. Nama anjing telah dinisbatkan kepadanya.

Falsafah Kalbisme berdasarkan sifat kekejian yang relative pada maujudat (alam ciptaan). Yakni berdasarkan sifat cacat atau kekurangan mereka terhadap manusia. Menurut mereka, kebahagiaan manusia adalah apapun yang paling maksimal dalam kebebasan dan kepuasan manusia dari kesenangan dunia. Keutamaan terletak pada satu hal, yakni kepuasan diri. Namun kepuasan diri secara praktik terletak pada menjaga jarak pada benda materi, juga melepaskan dunia. Pada hakikatnya, slogan mereka ditemukan dalam bait Nashir Khusru:

Kebebasan…., dunia harus kau lepaskan.

Para pendahulu kalbisme, seperti Antishenes dan Diogenes, menagajak kepada kesederhanaan hidup dan tidak bergantung pada dunia, meskipun demikian mereka tidak dapat berlaku dengan benar. Namun generasi Kalbisme belakangan, cara berpikir mereka dalam hubungannya dengan segala sesuatu termasuk dasar-dasar perbuatan yang baik, tidak terikat dan “gampangan”. Kepuasan dan kebebasan dalam pandangan mereka ialah tidak peduli pada semua manusia, semua dasar dan hubungan. Mereka berhutang pada masyarakat dan tidak membayar. Mereka mengganggu masyarakat dengan kata-kata. Karena itu, lambat laun nama kalbi bermakna ‘watak anjing’.

Metode ahlaqi dan filsafat praktis mereka berangkat dari kesederhanaan, dan secara bertahap mengarah pada ketdakpedulian, tidak berperasaan dan tidak terpengaruh oleh kesedihan diri dan kawan mereka. Dan akhirnya berujung pada tingkah laku kebinatangan dan kebuasan terhadap orang lain.

Dalam substansi ahklak Kalbisme, sampai pada kaitannya dengan ‘kepuasan diri’, dapat ditemukan satu unsur yang benar. Namun disitu nama ‘kepuasan diri’ terhapus menjadi perasaan-perasaan lembut insane yang menyentuh. Dan lambat laun dapat dinilai perbuatan-perbuatan yang menentang perasaan. Dan disitu ‘kepuasaan diri’ disbut sebagai ‘menyingkir dari (kehidupan) masyarakat’ dan ‘menentang peradaban’. Dapat diterima kalau pemikiran ini terdapat unsure yang tidak benar.

Secara keseluruhan, filsafat-filsafat semacam Kalbisme menembus dalam setiap masyarakat, dan sudah tentu mereka akan menerima tamparan yang hebat.

Teori Skeptisisme

Pemuka pemikiran ini adalah seorang laki-laki bernama Pirhun yang pernah menjadi anggota pasukan Iskandar (Alexander Agung). Filsafat praktisnya sejalan dengan filsafat teoretisnya. Dalam filsafat teoretisnya, ia menyakini bahwa tiada dasar atau prinsip yang bisa di tetapkan. Indra tidak dapat dijadikan pedoman, juga akal. Sebab jangkauan indra itu akan salah, begitu pula akal. Dalam fisafat praktisnya pun ia meyakini bahwa secara akal tidak ada jenis perbuatan yang dapat diyakinkan atas perbuatan yang lain. Suatu perbuatan tidak dapat ditetapkan kebenarannyaz, juga kesalahannya. Misalnya, secara realitas dengan dalil akal, kejujuran tidak dapat ditetapkan atas perbuatan dusta, amanazh tidak dapat sitetapkan atas perbuatan dusta, amanah tidak dapat ditetapkan atas khianat, keadilan tidak dapat ditetapkan atas kezaliman.

Filsafat skeptis (syakk) dari sudut pandang kesan perilaku sebagaimana fatwa sebagian kaum skeptisis, terseret pada kepentingan pribadi dazn perbuatan diri.

Seorang skeptic bernama Karniades berkata:

“ketika kapal pecah, manusia mungkin kan menyelamatkan nyawa-nyawa yang nyaris tak berdaya, jika ia tidak melakukan demikian maka ia orang dungu. Dan jika anda di saat lari dari musuh yang menang, anda kehilangan kuda anda, tapi anda juga melihat teman anda yang juga terluka berada di atas kuda, apa yang anda akan lakukan? Jika anda seorang yang berakal dan berpkir, anda akan menariknya (teman anda) dari artas kudanya dan naik keatas kudanya. Apa pun kata orang, itu adil.

“Sebagaiman yang dketahui, apabila yang kita maksud dengan ahklak adalah bagaimana hidup seharusnya, pemikiran skeptisme memandang bahwa baik dan buruk, bernilai dan tidak bernilai adalah mafhum yang kosong, dan tidak dapat ditetapkan. Jadi, hidup yang seharusnya yang dapat dijaga adalah manfaat diri, itu lebih baik.

Adapun bila yang kita maksud dengan teori ahklak adalah bagaimana seharusnya hidup yang bernilai, suci, dan mulia, maka pemikiran skeptisme tidak punya teori ahklaqi.

Teori Epikurisme

Salah satu filsuf Yunani kuno yang terkenal ialah seorang Epicurus. Ia lahir pada tahun 342 SM, yaitu enam tahun setelah kematian Plato.

Dalam filsafat teoretis, ia adalah penganut ajaran Demokratis dan pro animism. Dikatakan bahwa ia tidak mengakui agama yang dianut Demokratis. Dan dalam filsafat praktis, ia penganut ‘pencari kenikmatan’. Yakni bahwa kenikmatan sama dengan kebaikan. Dan tugas setiap orang adalah mencari kenikmatan dan lari dari kesengsaraan.

Epicurus sangat mencela sesuatu kenikmatan ymembawa kesengsaraan. Namun di samping pandangannya itu, orang-orang mengenal pemikirannya cenderung pada kesenangan dan mengejar keuntungan.

Epicurus membagi kenikmatan pada kenikmatan yang bergerak (ladzdzat mutaharrik) dan kenikmatan yang diam (ladzdzat sakin), atau kenikmatan efektif dan kenikmatan reaktif. Yang dimaksud ladzdzat mutaharrik atau kenikmatan efektif, adalah kenikmatan yang manusia peroleh karena factor kecenderungan dan pencarian sesuatu. Kenikmatan macam ini biasanya muncul dari perasaan sakt, dan juga akan membawa kepedihan atau kesengsaraan, paling tidakkelelahan dan kepayahan. Seperti kenikmatan makan makanan, atau kenikmatan seks, atau kenikmatan kedudukan dan jabatan. Tapi ladzdzat sakin atau kenikmatan yang diam ialah dating dari tiadanya kesengsaraan. Seperti kenikmatan selamat. Epicurus mengajak pada kenikmatan yang diam, bukan kenikmatan yang bergerak. Ia selalu mengajak kesederhanaan, dan dari sisi ini ia tidak jauh beda dengan kaum Kalbis.

Dikatakan:

“Di saat aku menyerap air dari makanan, tubuhku merasa nyaman. Dan atas kenyamanan dan kenikmatan yang mempesona, aku meludah, bukan lantaran kesenagan-kesenangan itu sendiri, tetapi lantaran kesulitan-kesulitan yang dilalui.

Filsafat Epicurus, walaupun dikenal dengan nama filsafat kenikmatan, tapi pada hakikatnya filsafat ini adalah filsafat kontrakesengsaraan. Yakni ia memandang bahwa kebaikan dan keutamaan berada dalam pengurangan kesengsaraan. Oleh karena itu, mereka mengatakan, “Keutamaan terletak pada hazm (kokohnya perilaku atau berpikran panjang) dalam pencarian kenikmatan. Harus dikatakan (dengan tegas) bahwa menurutnya keutamaan ialah terletak pada hazm dalam berkurangnya kesengsaraan”.

Epicurus mengatakan, “Kebaikan yang paling agung adalah hazm. Hazm lebih bernilai sekalipun dari filsafat.

Semua itu perhatiannya berpusat pada pengurangan kesengsaraan. Maka dengan alas an ini, filsafatnya sama sekali tidak harus dikatakan filsafat ‘nasib baik’ dan ‘spekulasi keuntungan’.

Dalam masalah kenikmatan atau, dengan kata yang lebih tepat, ‘masalah menghindar dari kesengsaraan’, pandangan Epicurus hanya tertuju pada kenikmatan dan kepedihan jasmani. Ia tidak melihat bahkan tidak mengenal kenikmatan ruhi (spiritual) seperti kenikmatan memperoleh ilmu dan hasil penelitian, baik ‘kebaikan secara ahklak’ maupun ‘ibadah secara makrifat’.

Ia mengatakan, “Jika aku menolak kenikmatan rasa, kenikmatan cinta, kenikmatan melihat, dan kenikmatan mendengar (sesuatu), maka aku tidak tahu bagaimana menggambarkan ‘kebaikan’? pangkal dan sumber semua kebaikan adalah ‘kenikmatan perut’, hikmah dan pengetahuan haruslah merujuk padanya. Kenikmatan roh ialah merenungi kenikmatan jisim, dan satu macam keistimewaannya atas kenikmatan jism, ialah bahwa kami mampu memikirkan tentang kesenangan sebagai ganti memikirkan tentang kesenangan sebagai ganti memikirkan tentang kesengsaraan. Dengan demikian, kami menguasai kenikmatan ruhi lebih ketimbang kenikmatan jasmani.

Filsafat ini seperti filsafat Kalbis, ialah sebuah filsafat pelarian dari kehidupan social. Sebab hanya dengan perantara ini, ia dapat tetap aman dari kesengsaraan.

Secara keseluruhan, dalam filsafat ini sama sekali tidak tampak nilai spiritual dan insane. Dari sisi ini, filsafat kalbis lebih kuat, ia minimal bersandar pada unsure kebebasan dan kepuasan diri meskipun tidak sampai pada tujuannya, dan mengarah pada penyimpangan (ifrath). Sedangkan dalam filsafat Epicurus sama sekali tidak tampak unsure yang tinggi dan mulia. Pemikiran skeptic maupun Epikurisme tidak memuat teori ahlaqi.

Filsafat kenikmatan dapat dibahas dari dua sisi. Pertama, dari sisi psikologis. Kedua, dari sisi ahlaqi.

Dari sisi psikologis pertanyaan yang dapat dilontarkan ialah: apakah penggerak asli manusia dalam semua perbuatan, dan tujuan akhir manusia dari segala aktivitasnya adalah kenikmatan atau lari dari kepedihan, ataukah bukan? Pembahasan dan penelitian yang diangkat sebenarnya bukanlah pada hal demikian.

Dari sisi ahlaqi pertanyaan yang terlontar ialah: apakah kebaikan dan keutamaan itu sama secara esensial? Dengan kata lain, apakah yang memiliki nilai esensial itu kenikmatan ataukah tidak? Yang jelas, jawaban atas pertanyaan ini adalah manfi (tidak).

Poin ini haruslah kami beri tambahan, bahwa melihat dimasa kita, Epikurisme secara praktik dikenal dengan pemahaman yang buta dan hina. Sebagian orang membaca bahwa sebagian tokoh pemikir, filsuf dan sufi seperti Khayyam dan Hafiz dinisbatkan pada pemikiran ini (Epikurisme).

Mereka menyatakan bahwa Khayyam, bahkan Hafiz, adalah kelompok yang mengagumkan kenikmatan, spekulasi keuntungan, dan tidak berkepedulian. Hal ini khususnya banyak diyakini mengenai Khayyam.

Yang dapat diterima ialah bahwa Khayyam bukanlah seorang filsuf matematika, dan tidak berpemikiran demikian. Memang secara lahiriah terlihat demikian dari syair-syair yang dinisbatkan padanya. Tarulah syairsyair itu miliknya, tpi pandangan seorang filsuf tidak dapat dilihat dari bahasa syairnya. Khususnya belakangan ini, secara kebetulan masalah itu terungkap dalam syairsyair yang dinisbatkan kepadanya. Namun yang dapat menyelesaikan masalah ini atau yang memahami uangkapan Khayyam adalah gurunya, Abu Ali (Ibn Sina).

Teori Ruwaqisme

Sezaman dengan Epikurisme, terdapat sebuah pemikiran lain yangdikenal dengan nama pemikiran Ruwaqisme. Pencetus pemikiran ini adalah Zanun. Zanun Rawaqi, bukan Zanu Ilya’i. zanun Ilya’I hidup sekitar dua abad sebelum Zanun Ruwaqi. Kaum Ruwaqis dikenal dengan namanya, pada mulanya Zanun selalu duduk dan member pelajaran di teras rumah.

Minoritas kaum Ruwaqis adalah orang Yunani. Kaum Ruwaqis klasik mayoritas adalah bangsa Suriah, dan kaum Ruwaqis belakangan adalah bangsa Romawi. Sedangkan Zanun Ruwaqi sendiri adalah orang Qabras.

Sebagian pandangan Ruwaqisme dipengaruhi oleh pandangan-pandangan Kalbisme, namun mandiri dasar teorinya dalam filsafat praktis. Socrates emmuliakan kaum Ruwaqis lebih dari pribadi yang lain.

Russel berkata, “Perilaku Socrates di saat pengadilan, ia pantang mundur, tegar menghadapi kematian. Penentangnya itu lebih besar dari kezaliman dan siksaan yang di lakukan si zalim terhadap dirinya. Ia sepakat dengan ajaran kaum Ruwaqis. Ia tidak takut panas dan dingin, kesederhanaanya dalam makan dan berpakaian dan kebebasan totalnya dari sarana-sarana kenikmatan fisik, (dalam hal ini) ia juga sepakat dengan kaum Ruwaqis.

Terkadang filsafat Kalbis dan Epicurus, filsafat Ruwaqis memilki sejarah yang lebih panjang. Dikatakan bahwa, “Filsafat Ruwaqis bermula sebagai perubahan dan perkembangan pemikiran Kalbis, dan berakhir dalam bentuk idealism Platonis. Kaum Ruwaqis mengalami perubahan hebat dalam pandangan-pandangan menenai metafisika dan dalam logika. Teori-teori ahlak mereka relatif masih tetap.

Inti dari teori ahlak Rwaqis ialah ‘keutamaan’, yang muncul dari ‘kehendak baik’. Hanya kehendaklah yang merupakan baik dan/atau buruk. Keutamaan atau kemuliaan dan kehinaan, keduanya menempati kehendak (iradah).

‘Kehendak baik’ dalam pandangan Ruwaqis adalah suatu kehendak yan hubungannya dengan kejadian-kejadian eksternal berdampak hal yang tidak diinginkan. Sebenarnya ‘kehendak baik’ adalah kehendak yang berkekuatan, bahwa dengan suatu kehendak berdampak hal yang tidak ditolak, manusia dapat bebas. Seperti sebuah jazirah yang tetap kokoh dan selalu eksisis di tangah lautan yang bergelombang. Dikatakan:

“Jika manusia punya kehendak baik serta tidak peduli dan menganggap ringan kejadian-kejadian eksternal, kejadian-kejadian eksternal takkan mampu menggoyahkan kepribadian esansialnya”.

Pada hakikatnya, dalam pandangan Ruwaqis, kebebasan bergantung pada kepribadian manusia dan kepribadian manusia berhubungan dengan kehendaknya. Menurut kaum Ruwaqis, kehendak baik adalah suatu kehendak yang mana pertama, berkekuatan dan berdampak hal yang ditolak; kedua, selaras dengan tabiat.

Apikattus, salah seorang Ruwaqis yang ternama mengatakan:

“Jika anda menghindar dari masalah-masalah eksternal, dan kembali pada kehendak diri, dengan segala upaya dan latihan serta memperbaikinya, maka dengan kebiasaan yang selaras dengan tabiat itu, Anda akan menjadi mulia, bebas, berikhtiar, tidak berpaling, dan tetap melangkah serta stabil. Dan apabila otang menghendaki atau memilih sesuatu diluar kemampuannya, maka ia tidak akan mampu melangkah dengan tegak dn bebas, bahkan sudah pasti ia akan goyah dengan masalah-masalah eksternal.

Pada hakikatnya, menurut Ruwaqis, kebebasan terletak pada kehendak baik, dan kehendak baik—sebaimana telah kami katakana—memilki dua syarat: berdampak hal yang tidak diinginkan dari kejadian-kejadian alam dan selaras dengan tabiat.

Mereka meyakini bahwa baik dan buruknya sebuah kejadian bagi manusia bukanlah perkara yang mutlak, bergantung pada respons manusia atasnya. Mereka mengatkan:

“Pribadi-pribadi lain yang mampu menimpakan perkara-perkara eksternal kepada Anda, mereka mampu memenjarakan Anda dan menyiksa atau menyeret Anda. Tetapi jika Anda memilki sebuah kehendak yang berkekuatan, maka mereka tidak akan mampu berbuat apa-apa terhadap Anda”.

Tanpa keraguan, pertama, filsafat Ruwaqis memiliki suatu bagian dari hakikat. Memiliki kekuatan kehendak, kebebasan, kepribadian spiritual adalah merupakan suatu bagian dari sifat ahklak. Namun filsafat ini cenderung ke dalam (batin manusia), dan pada natijah-nya (kesimpulannya) menghasilkan sebuah bentuk dastur (undang-undang) ketidakpedulian dan menganggap ringan. Filsafat ini tidak memperhatikan dasar usaha yang keras dan perlawanan terhadap kejadian-kejadian (eksternal) dan mengubahnya dalam mencapai tujuan. Manusia tidak diciptakan di dunia ini hanya untuk mempertahankan diri dan menjaga batin dirinya, di mana kejadian-kejadian tidak mampu menggoyahkannya. Dan tidak diciptakan hanya supaya bebas, dan supaya tidak terseret dan tertawan oleh fenomena-fenomena alam. Akan tetapi, di samping itu, manusia diciptakan dalam rangka kesempurnaan diri, social, dan alam.

Kedua, filsafat ini lebih mengukur masalah pribadi. Semua perhatiannya terfokus pada individu, aspek sosialnya tidak ada. Target filsafat dan pemikiran ini tidak lebih dari penyelamatan individu. Rasa kebesaran insane tidak menempati ruang system ahlaqi ini.

Ketiga, filsafat ini melihat pada suatu bentuk perlawanan (muqawamah) dan suatu bentuk rasa menerima (taslim); yakni muqawamah batiniah terhadap pengaruh kejadian-kejadian (bukan kejadia-kejadian itu sendiri) dan taslim terhadap apa yang berlaku secara alami, atau mau tidak mau harus menerima takdir Tuhan. Kehendak baik adalah suatu kehendak yang di satu sisi adalah perlawanan dan di sisi lain adalah menerima dengan terpaksa kejadian-kejadian (eksternal).

Namun dari sudut pandang akhlaqi, ukuran tersebut (muqawamah dan taslim) tidaklah cukup untuk mempertahankan (pandangan) ‘baiknya kehendak’. Sebuah sasaran ‘baik’ yang mana kebaikannya bukan dari sisi kehendak, tetapi dari sisi yang lain. Dan di samping sasaran tersebut, adalah baik pada dirinya, bukan baik untuk ‘diriku’. Dengan kata lain, sasarannya adalah ‘baik secara mutlak’ bukan baik yang relatif.

Jika makna ahklak adalah dastur amal perbuatan dalam hidup, dalam arti bahwa setiap manusia hidup untuk meraih yang lebih baik, lebih utama, lebih berkekuatan, dan lebih berkepribadian, maka ia harus mengamalkan undang-undang tersebut, dan dastur amal perbuatan Ruwaqis dapat dikategorikan akhlak. Namun bila akhlak dalam arti perilaku dengan keutamaan dan dapat dinilai luhur dan agung, maka pemikiran Ruwaqis ada kekurangan. Sebab apa yang dibicarakan kaum Ruwaqis adalah menyangkut baik yang relative, yakni melaksanakan kebaika untuk individu. Sedangkan apa yang telah kami katakana sebelumnya mengenai kebaikan dan keutamaan, ialah kebaikan dan keutamaan yang tetap dan tidak berubah bagi pribadi-pribadi.

Persamaan ahklak Ruwaqis dengan ahklak Kalbis terletak pada ketidakpedulian dan berdampak hal yang tidak diinginkan dari kejadian-kejadian alam. Adapun perbedaannya, ahklak Kalbis mengenal bahwa kebaikan itu tidak mengharuskan mengerjakan dan meninggalkan segala sesuatu, atau menghindari segala sesuatu. Dan ia mengajak hidup sebagaimana anjing atau binatang hidup. Sedangkan ahklak Ruwaqis tidak mengajak menghindari dan meninggalkan suatu perbuatan. Ahklak Ruwaqis tidak membedakan dalam menghadapi datang dan perginya kejadian-kejadian alam, bukannya menghindar. Karena itu, Ruwaqis tidak menentang pemanfaatan peradaban dan anugerah-anugerah kehidupan. Ia menentang penyiksaan dan pemenjaraan oleh kejadian-kejadian alam.

Kalbis ibarat orang yang lari dari lingkungan lantaran takut akan cobaan wabah penyakit menimpa dirinya. Sedangkan Ruwaqis melakukan pengobatan pada dirinya sebagai pencegahan dari lingkungan berpenyakit. Namun keduanya (Ruwaqis dan Kalbis) tidak mengajak memerangi wabah penyakit.

Teori-Teori Baru

Teori Kant

Pandangan baru yang paling dikenal tentang ahklak dalam dua abad terakhir ialah teori Kant. Ia mencoba memilah antara perbuatan akhlak dari perbuatan nonakhlak, sampai pada kesimpulan bahwa perbuatan manusia, terkadang disebabkan keterpaksaan (majbur). Misalnya, ketika seseorang menghadapi perampok yang berbahaya, maka dengan terpaksa ia memberikan hartanya. Jika ia tidak serahkan hartanya, akibatnya akan fatal. Perbuatan ‘mamberi’ disini bukanlah perbuatan yang merdeka (freewill).

Perbuatan yang merdeka, yang lahir dari ihktiar, ada dua macam. Pertama, muncul dari kecenderungan. Kedua, muncul dari rasa tanggung jawab dan rasa memiliki kewajiban. Jika perbuatan itu muncul dari kecenderungan, ini bukanlah perbuatan ahklak; dan jika muncul dari rasa tanggung jawab, inilah ahklak.

Jadi perbutan manusia akan diketahui, apakah merupakan ahklak atau bukan, melalui factor pendorongnya. Jika keinginan (berbuat) lahir dari rasa tanggung jawab, maka perbuatannya memuat esensi akhlak; dan jika tidak lahir dari rasa tanggung jawab, maka tidak memuat esensi akhlak. Perbuatan yang berakhlak ialah manakala tidak ada campur tangan kecenderungan, bahkan kecenderungan harus dilawan.

Kant mengatakan:

“tiada sesuatu yang dapat digambarkan di dunia ini, bahkan di luar dunia, yang dapat disebut ‘baik’, yang ada adalah ‘keinginan yang baik’.”

Maksud Kant tentang ‘keinginan baik’ ialah keingina yang timbul dari rasa tanggung jawab.

Teori Kant secra ringkas dapat dilihat sebagai berikut:

1. Ada perbedaan antara amal perbuatan; sebagian merupakan akhlak dan sebagian yang lain bukan merupakan akhlak atau berlawanan dengan ahklak. Perbuatan akhlak ialah bernilai, patut dipuji, dan dinilai baik. Sedangkan perbuatan nonakhlak tiada nilai, rendah, dan dapat dicela. Perbuatan yang bukan akhlak tidak ada baik dan buruk, tidak ada nilai, juga tidak menentang nilai. Misalnya, seorang pedagang bekerja mulai pagi hingga petang. Dalam suatu transaksi, seorang pembeli seharusnya member uang seratus kepadanya, tetapi pembeli itu memberinya seribu. Jika ia mengetahui kesalahan si pembeli dan mengembalikan kelebihan uang yang diterimanya, maka perbuatan ini mengandung nilai. Namun jika sebaliknya, ia tidak jujur, ia gunakan uang lebih itu untuk kepentingan pribadinya, mka perbuatan yang dilakukannya itu menentang nilai. Adapun pekerjaan rutinnya itu (berdagang) tidak memuat nilai, juga tidak menentang nilai.

2. Perbuatan yang bernilai disebut bernilai karena lahir dari ikhtiar (freewill). Jadi jika (perbuatan) didasari keterpaksaan (majbur), mak ia tidak mempunyai nilai.

3. Perbuatan yang bernilai, yang didasari ikhtiar, dikatakan bernilai karena lahir dari kehendak (iradah) yang baik. Dan iradah yang baik adalah iradah yang muncul dari factor yang baik, yakni rasa tanggung jawab (taklif).

4. Lalu apa yang dimaksud dengan taklif? Ia adalah sebuah perintah yang muncul dari hati. Akan tetapi perintah ada dua macam; sebagian mutlak (amr muthlaq) dan sebagian bersyarat (amr masyruth). Perintah yang bersyarat ialah suatu perintah yang mana hati manusia menyampaikan tentang sesuatu kepadanya untuk mencapai tujuan. Misalnya member perintah: “Untuk mencapai tujuan, ambil jalan itu menuju ke kota itu!” maknanya, jika engkau ingin sampai pada yang dituju, laluilah jalan itu’. Amr masyruth ialah member petnjuk pada sebuah maslahat. Berbeda dengan amr muthlaq yang tidak memmilki satu syarat pun, amr masyruth ialah sebuah perintah yang diberikan oleh hati akan suatu perbuatan, bukan atas dasar suatu maslahat atau kepentingan dan perantara untuk mencapai tujuan tertentu. Akan tetapi atas dasar tugas (taklif) dan tanggung jawab (mas’uliyah). Jadi yang dimaksud dengan taklif ialah perintah tanpa syarat, hati yang memerintahkan berbuat. Dan setiap perbuatan yang dilakukan atas rasa tanggung jawab dan tugas, adalah perbuatan yang mengandung ahklak.

Ungkapan Kant memilki dua tahapan:

Pertama, tahapan yang berhubungan dengan alam jiwa dan psikologis. Artinya, kita harus menerima bahwa dalam hati manusia terdapat dua macam perintah kepada manusia, yakni mutlak dan bersyarat.

Perintah-perintah masyruth mengajak manusia berusaha memperoleh kehidupan (menyambung hidup). Sedangkan perintah-perintah mutlak ialah suatu perintah yang bersumberkan undang-undang akhlaqi. Hati manusia dalam hal ini memberikan perintah-perintah, yang disebut dengan sifat-sifat akhlak yang alami (wujdan akhlaqi).

Berhubungan dengan aspek wujdan akhlaqi pada diri manusia, Kant berdecak kagum, ia mangatakan:

“Dua hal yang amat mengherankan manusia. Pertama, langit yang penuh bintang dia tas kepala kita. keduaI, wujdani (hati yang mengetahui baik dan buruk) yang ada dalam batin kita.”

Dikatan, kata-kata itu termaktub di nisan makamnya.

Kedua, berhubunga dengan perbuatan manusia. Manusia bisa menaati perintah-perintah masyruth hatinya, yang pada hakikatnya mengikuti kecenderungan dan instingnya. Juga dibalik kecenderungan itu ia bisa menaati hati akhlaqi-nya, yang dalam bentuk ini perbuatan-perbuatannya akan merupakan perbuatan akhlaqi.

5. Dari mana kita mengetahui bahwa suatu perintah yang lahir dari hati kita itu adalah sebuah perintah mutlak, bukan masyruth? Apa tolok ukurnya sehingga kita dapat mengetahui bahwa suatu perintah yang sampai pada kita itu merupakan dari suara sifat alami yang akhlaqi atau lahir dari kecenderungan?

Kant menjelaskan ukur-tolok ukurnya. Kant mengatakan bahwa perintah hati (wujdan) ialah “berdasarkan sebuah kaidah, bentuk perilaku yang mendorong untuk berbuat, bila anda menginginkannya, di saat itu kaidah tersebut menjadi sebuah kaidah (qanun) universal.

Jadi setiap perintah yang Anda dengar dari suara hati tentang suatu perkara, perhatikanlah apakah Anda menginginkan perbuatan itu. Jika ya, itu adalah sebuah kaidah yang bersifat umum (umumi). Dalam kondisi Anda tidak membedakan antara diri Anda dan orang lain, maka itu adalah sebuah dastur (peraturan dan perintah) akhlaqi. Adapun bila tujuan dari perbuatan Anda hanyalah kepentingan pribadi Anda, itu bukan sebuah kaidah ‘umumi. Maka jelaslah bhwa perintah itu muncul dari kecenderungan pribadi, bukan dari rasa tanggung jawab.

Tolok ukur yang lain ialah:

“Bentuk perilaku yang dikatakan humanitas (spesies manusia), baik menyangkut pribadi maupun yang lain, yang Anda pikirkan dalam segala hal adalah semacam tujuan, dan tidak hanya perantaranya.

Teori Kant sangat dalam dan memuat sebagian dari hakikat, bukan seluruhnya. Teori Kant, hingga yang menyangkut adanya sejumlah perintah dan harus yang non-masyruth dan aturan munculnya bagian perintah-perintah ini, adalah benar. Namun masih ada beberapa kekurangan yang akan kami jelaskan berikut ini:

a. Kant menegaskan bahwa perbuatan-perbuatan ahklaqi tidak muncul dari kecenderungan. Hal ini tidak dapat dibenarkan; adakah kecenderungan bagi pelaku kewajiban akhlaqi dalam melakukannya ataukah tidak? Jika tiada kecenderungan, adakah rasa takut tidak melakukannya ataukah tidak? Mungkinkah manusia menaati suatu perintah yang tiada kecenderungan dalam menaatinya, dan tiada rasa takut dari menentangnya?

b. Kant telah menghapus mafhum kebaikan atau baik dari akhlak. Dalam pandangannya, perbuatan akhlaqi itu bukanlah suatu perbuatan yang dilakukan atas dasar baik esensial. Akan tetapi perbuatan akhlak itu adalah perbuatan yang didasari rasa tanggung jawab. Dengan kata lain ‘baik’ terletak pada iradah (kehendak), bukan pada murad (yang dikehendaki). Dan ‘baik iradah’ itu berkaitan dengan faktornya, yang jika disebabkan oleh rasa tanggung jawab, maka itu baik. Dan jika tidak, maka tidak baik.

Atas dasar itu, perintah-perintah akhlaqi Kant hingga pada batas maksimal adalah tidak jelas. Mungkin wujdani yang dikenal Kant adalah sebuah pusat yang memerintah tanpa alas an, yang mana dengan tanpa alas an ia harus menaati perintahnya.

Karena itu, pandangan orang-orang yang meyakini bahwa setiap perintah berdasarkan penentuan suatu macam kebaikan, sesuatu yang memuat kebaikan-kebaikannya, terkadang relative dan terkadang mutlak (sebagaimana pada pelajaran pertama dan kedua) dikuatkan teori Kant ini.

c. Sesuai teori Kant, jika perbuatan memuat kebaikan umum, dan dilakukan manusia dengan dasar rasa cinta sesama dan kecenderungan mengabdi, maka perbuatan yang dilakukan tersebut bukanlah atas dasar sebuah kewajiban dan rasa tanggung jawab, maka itu bukanlah perbuatan ahklaqi. Wujdan akhlaqi yang dipandang Kant tidak diterima.

d. Secara keseluruhan, setiap perbuatan ada di bawah tekanan perintah dan kewajiban, meskipun jika perintah tersebut datang dari dalam diri manusia aspek akhlaqi-nya sudah pasti berkurang. Jika suatu perbuatan bukan atas ketentuan rasa berkewajiban, tetapi disebabkan kebaikan esensial perbuatan tersebut dan didasari kesempurnaan ikhtiar, maka tentu saja ia akan memuat lebih banyak hakikat akhlaqi.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar