“Bustan” dan “Gulistan”
Karya Sa’di al-Syirazi
Oleh: Julpi Nurhamdan Riva’i
A. Pengantar
Pada abad ke-12 hingga akhir abad ke-13 M merupakan abad-abad gelap dan penuh malapetaka bagi Dunia Islam di timur. Selama lebih dari seratus tahun kaum muslimin menyaksikan peristiwa-peristiwa sejarah yang menandakan luluh lantaknya kehidupan politik dan tatanan social, yang diikuti dengan terpuruknya kehidupan ekonomi dan hancurnya peradaban.
Akan tetapi sungguh mengherankan pada zaman seperti itu di hampir seluruh bagian dunia Islam tampil guru kerohanian, ahli tasawuf, ulama dan sastrawan-sastrawan terkemuka, yang melalui perjuangan dan karya-karya peradaban dan kebudayaan Islam yang hancur bisa ditegakkan kembali.
Berkaitan dengan sastra Persia, semenjak pertengahan abad ke-12 yaitu masa-masa mulai pudarnya kekuasaan Bani Saljuq dan perpecahan yang parah, hingga akhir abad ke-13 M saat seluruh wilayah Persia berada di bawah pemerintahan Dinasti Ilkhan Mongol, secara berkesinambungan muncul penyair-penyair besar sepanjang sejarah dan penulis-penulis prosa yang tidak pernah letih mengasah kalam sekalipun disekeliling mereka berbagai malapetaka dan peperangan sedang berkecamuk.
Seperti penyarir besar Persia Fariduddin al-Attar (lahir 1120 M) yang mana dalam makalah ini saya akan membahas karyanya, serta bagaimana karyanya bisa berpengaruh besar dalam kehidupan masyarakat bangsa
B. Bustan dan Gulistan
Karaya ini merupakan masterpiece dalam sastra Parsi. Karya-karya sa’di, khasnya Bustan, dikagumi di Timur maupun Barat. Bahasanya yang indah, serta kerohanian dan moral yang terkandung dalam buku Sa’di sangat tinggi nilainya dan universal.
Dalam mukadimah Bustan secara tersirat Sa’di menulis: “Aku tidak bermaksud menulis puji-pujian untuk raja-raja, aku menulis buku ini untuk semua orang agar orang-orang bijak dapat berkata, Sa’di yang melebihi semua orang dalam kefasihan bertutur, hidup pada masa Abu Bakar bin Sa’d.
Bustan yang berarti taman merupakan kiasan bagi
Aku mengembara ke berbagai belahan bumi ini dan melalui hari-hariku bergaul dengan bermacam-macam orang. Aku memetik manfaat-manfaat di setiap penjuru bumi, dan mengutip sebutir gandum setiap menuai hasil tanaman. Tetapi tidak pernah kujumpai orang yang saleh dan alim seperti si bijak dari
Aku menyesal karena mesti pergi dari taman dunia ini tanpa membawa sesuatu apapun untuk teman-temanku, dan fikirku:
kemudian kata Sa’di lagi: pada tahun 655 H kekayaan yang masyhur ini pun lengkaplah dengan mutiara pembicaraan yang fasih. Sebuah jubah tebal dari sutera hasil sulaman orang-orang
Bustan terdiri dari sepuluh bab, belum termasuk mukadimah. Dalam bab 1 Sa’di membahas raja yang ideal dalam pandangan Islam, kewajiban raja kepada para pembantunya, pentingnya menggunakan pertimbangan yang matang dalam memutuskan perkara kenegaraan, kewaspadaan untuk tidak mengikuti perkataan tukang fitnah yang dapat merugikan diri sendiri dan kerajaan, kemuliaan raja yang berjiwa faqir dan lain-lain. Dalam nasihatnya yang ditujukan kepada Abu Bakar, Sa’di menulis:
“O Raja, jangan hiasai dirimu dengan pakaian kerajaan apabila kau sedang beribadah, buatlah permohonanmu seperti permohonan seorang darwis yang berkata, ‘Ya Tuhan! Kekuatan dan kekuasaan hanya milik-Mu. Apabila bukan karena pertolongan-Mu yang mendukungku, apa yang keperolehi?...Jika engkau memrintah pada siang hari, berdoalah dengan sungguh-sungguh pada malam hari, hamba-hambamu yang berbakti menunggu di pintumu, maka itu berbakti pulalah engkau dengan bersalat di hadapan pintu Tuhan”.
Dalam Nasihat Raja Nusyirwan kepada anaknya, Sa’di member ingat bahwa rakyat bagaikan akar dan raja bagaikan pohon, dan pohon, dan pohon memperolehi kekuatan dari akar. Dalam kisah tersebut Raja Nusyirwan menasihati anaknya, “Cintailah orang miskin dan jangan mencari kesenangan untuk dirimu sendiri. Penggembala tidak semestinya cuai apabila ada serigala berhampiran dengan domba-domba. Lindungilah orang-orang miskin karena seorang raja memakai mahkota demi rakyatnya.”
Dalam kisah tentang Pengembara Sa’di mengingatkan agar seorang raja menghormati para saudagar dan mufasir yang datang dan pergi ke negerinya, karena merekalah yang membawa nama baik kerajaannya ke negeri-negeri lain. Menurut Sa’di seorang raja dapat memrintah dengan baik dan membawa kerajaannya menjadi sejahtera apabila para pemimpinnya mencintai dan adil terhadap rakyatnya. Ini dikemukakan dalam Kisah Darius dan Pengembala. Kisah ini menceritakan bagaimana seorang pengembala kuda dapat lebih arif disbanding raja Darius yang cepat berang dan marah, dan setiap kali melihat seseorang datang kepadanya dianggap oleh raja sebagai musuhnya. Sa’di menyindir dalam kisah itu, “Kehancuran akan mengakibatkan penderitaan terhadap suatu kerajaan apabila kebijaksanaan penggembala melebihi kebijaksanaan rajanya.”
Dalam bab II Sa’di membahas masalah kebajikan melalui beberapa anektot yang menarik. Misalnya dalam kisah Hatim Tayy dan kisah Darwis dan Anjing Hutan (rubah). Hatim Tayy ialah seorang pemimipin legendaries kabilah Arab, yang memilih mati dari mengecewakan pesuruh yang dikirim seorang raja untuk membunuhnya karena raja tersebut iri hati kepada Hatim Tayy. Kisah Darwis dan Anjing Hutan patut mendapat perhatian. Dalam kisah ini terpencar visi yang diperlukan orang-orang Timur yang menganggap bahwa segala sesuatu yang terjadi dalam hidup ini telah ditentukan oleh Takdir.
Kepercayaan kepada takdir yang berlebihan telah menyebabkan orang Timur lupa pada kewajibannya untuk berikhtiar dan berfikir. Sa’di menunjukan bahwa Islam seharusnya membicarakan masalah takdir, namun Islam juga mengajarkan perlunya manusia menggunakan akal dan bahkan al-Qur’an menyatakan bahwa manusia akan dapat merubah jiwa dan fikirannya.
Setelah menggambarkan ketaksangupan banyak manusia menghindar dari ketentuan takdir, pada pembicaraan selanjutnya Sa’di membicarakan perkara pengembangan jiwa dan fikiran. Jiwa manusia dibandingkan dengan sebuah
Tiga bab terakhir dari Bustan tidak kalah menariknya. Sa’di mengeritik antara lain kebiasaan masyarakat yang memuja orang suci secara berlebihan. Dalam agama Islam hanya Allah Swt yang harus disembah dan dijunjung tinggi.
Sindiran dan kritik Sa’di yang berkenaan kehidupan beragama dalam masyarakat sezamannya dapat dilihat dalam dua kisah dalam bab III:
Tentang Ketabahan
Cinta menbuatmu tidak sabar dan selalu merasa terganggu. Dengan keikhlasanmu itu berarti kau telah meletakkan kepalamu di kaki-Nya dan melupakan dunia.
Apabila kekayaan tidak punya arti dalam pandangan Kekasihmu, maka emas dan debu tidak ada bedanya bagimu.
Dia selalu ada dalam mata, apabila matamu tertutup, Dia akan hadir dalam fikiranmu.
Apabila Dia menghendaki hidupmu, letakkanlah hidupmu pada tangan-Nya, apabila Dia meletakkan pedang di atas kepalamu, kau jangan menghindar.
Cinta dunia menerbitkan kebingungan dan sekaligus ketaatn, maka jangan heran apabila para musafir dalam jalan Tuhan karam dalam Lautan Hakikat ini.
Dalam mngingat Tuhan, mereka membelakangkan dunia; mereka begitu terpikat oleh Pembawa Piala (Saqi) tempat mereka menuangkan anggur.
Tidak ada obat yang bisa menyembuhkan sakit mereka, karena tidak satu orang pun yang mengetahui penyakit mereka.
Gunung hancur lebur disebabkan jerit rindu mereka; kerajaan porak poranda karena ratap tangis mereka.
Sedu sedan mereka pada waktu fajar menyucikan kotoran mata mereka. Siang dan malam mereka tenggelam dalam lautan cinta. Begitulah keadaan mereka sehingga tidak mengenal siang dan malam.
Mereka jatuh cinta kepada keindahan Penciptanya sehingga mereka tidak memperdulikan keindahan ciptaan-Nya. Mereka minum anggur suci Yang Maha Esa sehingga mereka lupa masa kini dan masa datang.
Catatan: ‘Meletakan kepala di kaki-Nya’ merujuk kepada posisi sujud dalam shalat. Bandingkan dengan sajak Rumi, “Kini kulihat kekasihku…” Perkataan “Apabila matamu tertutup, Dia akan hadir dalam fikiranmu” merujuk kepada tafakur dan meditasi. Ungkapan “Apabila Dia meletakkan pedangmu, kau jangan menghindar” merujuk kepada perintah Tuhan kepada Nabi Ibrahim a.s. untuk mengurbankan putranya Nabi Ismail a.s. dan apabila Nabi Ibrahim a.s. melaksanakan perintah itu maka Tuhan menggantikan Nabi Ismail a.s. dengan seekor domba. Peristiwa ini melandasi pelaksanaan Idul Adha atau Hari Raya Qurban pada bulan Haji. Ungkapan “Gunung hancur lebur oleh jeritan rindu mereka” merujik kepada hancurnya Thursina pada waktu Nabi Musa a.s. mendegar suara Tuhan sebagai jawaban terhadap jeritan dan permohonan Nabi Musa a.s.
Kisah Orang Yang Rajin Salat
Seorang tua telah melewatkan malam dan pagi harinya dengan salat dan bertasbih memuji-Nya. Malaikat berbisik kepadanya, “Bangkitlah Tentukan jalan hidupmu, karena salatmu tidak diterima pada pintu ini”
Pada malam selanjutnya dia mengulang perbuatan itu; dan seorang murid yang mngetahui perbuatannya, berkata: “Apabila kau tahu pintu itu tertutup, mengapa kau tetap beriktiar membukanya?”
Dia menjawab seraya meratap, “Oh muridku! Tidakah kau tahu bahwa aku akan selalu berpegang pada pelana kudaku, walaupun Dia mengambil tali kekangku? Apabila seorang pemohon ditolak dipintu yang satu, apakah yang dapat membuatnya takut jika dia mengetahui bahwa ada pintu lain?
Dia mengatakan itu dengan bersujud, malaikat lalu membisikan perkataan ini, “Walaupun tidak ada pahala untukmu, salatmu diterima, karena hanya Dia tempat berlindung.”
Dalam kisah seorang penipu dalam IX dapat dilihat bagaimana Sa’di menempatkan pesan rohani dan moral dalam kisah-kisah perumpamaannya.
Seseorang merampok uang dengan cara menipu, dan pada suatu saat selepas dia melakukan salah satu perbuatan jahatnya, maka dikutuknya setan. Setan berkata: “Tidak pernah kulihat orang bodoh seperti ini! Kau bersekutu denganku secara sulit; mengapa kini kau menghunus pedang permusuhan kepadaku”?
Waha! Malaikat akan mencatat kejahatan yang kaulakukan mengikuti perintah setan.
Masuklah apabila kau melihat pintu damai terbuka, karena pintu penyesalan akan tertutup secara tiba-tiba.
Beban dosa jangan kau tambah, Oh Anak, karena seseorang yang memikul barang berat pada akhirnya akan kehabisan tenaga didalam perjalanannya. Nabi ialah perantara untuk orang yang mengikuti jalan ajaran-ajarannya.
Unsur otobiografis dalam karya Sa’di telah dibahas. Kisah masa kanak-kanaknya sering memberinya ilham menuliskan kisah kecil yang mengandung hikmah seperti berikut:
Sebuah Kenangan Pada Masa Kanak-kanak
Pada waktu aku masih kanak-kanak, pada hari raya Idul Fitri, aku pergi keluar rumah bersama ayahku dan di antara keramaian orang yang berlalu lalang aku terpisah dari ayahku. Aku menangis ketakutan; tiba-tiba ayahku mencubit telingaku dan berkata: “Berapa kali telah kukatakan kepadamu agar jangan melepaskan ujung jubahku!”
Anak kecil tidak tahu caranya pergi sendiri, sukar untuk berpergian di jalan yang tak nampak.
Engkau, hai orang
Seperti Sa’di, pergilah, himpunlah biji kearifan agar kau peroleh panen pengetahuan yang melimpah.
C. Gulistan
Gulistan sebagai karya jauh lebih banyak mangandung kisah. Ia dibagi kedalam delapan bab di luar pendahuluan. Bab I, “Adab Raja-raja” terdidi dari 41 kisah; Bab II “Sifat-sifat Para Ulama” 49 kisah; Bab III “Kepuasan Yang Sempurna”, 29 kisah; Bab IV “Keuntungan Diam” 14 kisah; Bab V “Cinta dan Masa Remaja” 21 kisah; Bab VI “Kelemahan dan Masa Tua” 10 kisah; Bab VII “Pengaruh pendidikan” 20 kisah, yang terakhir cukup panjang; Bab VIII, “Tatakrama Hidup” terdiri dari kisah-kisah pendek, nasehat dan peribahasa semuanya berjumlah 82.
Pembagian ke dalam delapan bab itu bersifat simbolik. Ia didasarkan pada sebuah ayat al-Qur’an bahwa arasy itu dijaga oleh delapan malaikat. Delapan perkara dalam bab-bab Gulistan itu pula yang dapat memelihara kehidupan manusia di muka bumi dan mengembangkan peradaban religious.
Dalam bukunya ini Sa’di mengemukakan sejumlah kritik disertai humor kepada para penguasa. Misalnya dalam kisah 12 Bab I:
“Seorang raja yang tidak pernah menjalankan pemerintahan dengan adil bertanya tentang ibadah yang sesuai dilakukan olehnya.
Seorang lelaki yang taat beribadah menjawab, “Yang paling baik dilakukan oleh tuan ialah tidur setengah hari agar tidak dapat melakukan tindakan zalim buat sementara waktu!”
Kulihat orang zalim tidur sepanjang hari
Sungguh luar biasa kataku dalam hati
‘
Dapat merubah tabiat jeleknya
Namun jika dengan tidur sedikit saja
Lebih baik dibanding waktu terjaga
Mati akan lebih baik baginya
Daripada berbuat buruk sepanjang hayatnya
Membaca karya Sa’di dari bab yang satu ke bab berikutnya adalah seperti memasuki pintu-pintu yang menyebabkan iman dan cinta kita yang redup menjadi berkobar-kobar dan hidup kembali. Itulah salah satu peran penting sastra yang ditekankan dalam tradisi intelektual Islam.
Kisah 42 Bab II cukup menarik karena seluruhnya berupa sajak, yang melukiskan perlunya kerendah-hatian (tawaddu)
Dengar kisah dari
Bendera dan kain kelambu berdebat
Padahal keduanya sudah letih dan kotor
Disebabkan jauhnya perjalanan yang ditempuh
Bendera berkata seraya mendakwa temannya
“Aku dan kau ini sama-sama pelayan,
Dari waktu ke waktu aku hanya berjalan
Sedang kau tak pernah merasakan tusukan tombak atau pedang
Tak juga kenal betapa panasnya gunung, angin dan debu
Aku selalu berada di barisan depan dalam perjalanan
Mengapa kau dihargai lebih tinggi dariku?
Tiap saat kau bersama para pelayan tampan
Atau hamba sahaya wanita yang harum oleh wewangian
Aku dipegang tangan kasar dan kekar
Pun berjalan dengan kaki gemetar dan kepala goyang
Kelambu hanya menjawab, “Namun kepalaku
Selalu berada dibawh tangga
Tak seperti kau yang selalu mendengak ke atas
Ketahuilah, siapa yang ceroboh mengangkat leher
Tubuhnya akan rubuh disebabkan oleh sang leher!”
Tentu masih banyak lagi aspek-aspek penting dari dua karya Sa’di itu. Selain pelajaran moral dan keindahan pengucapannya, kecendikiaan penulisnya merupakan segi istimewa yang menjadikan karyanya ini memikat.
D. Penutup
Karya Sa’di ini merupakan karya yang mengajarkan tentang moral dan etika. Walaupun dia seorang sufi, namun nada tasawuf dalam karya-karyanya tak kalah sebegitu dalam seperti karya-karya ‘Attar dan Rumi.
Isi pesannya dari karyanya adalah untuk mempertahankan nilai kerohanian, serta memperhatikan masalah-masalah social.
Referensi
Abdul Hadi W. M. “karya-karya Klasik Terpilih Dari Sastra Arab dan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar