Rabu, 22 April 2009

ESAI PEMIKIRAN CAK NUR

Islam dan Teori-Teori Modernisasi dalam Pemikiran Nurcholish Madjid

Persoalan dasar yang terus menerus dan wajar dirasakan oleh umat Islam, minimal oleh kalangan intelektualnya, adalah kurang pasnya hubungan antara Islam sebagai ajaran, dengan kehidupan sehari-hari umat. Islam sebagai doktrin, dari al-Qur’an dan Sunnah, dirasakan tak bisa langsung menjelaskan realitas umat. Oleh karenanya, diperlukan sistem penjelasan dan pemahaman yang tingkat abstraksinya lebih rendah, lebih elaboratif dan menyentuh persoalan-persoalan kongkrit yang terus mengalami perubahan. Tuntutan ini sebagian dapat dipenuhi dengan mengadopsi teori-teori sosial (sosiologi) yang sudah ada, yang kebanyakan merupakan produk sejarah masyarakat barat.Tetapi mengingat beragamnya teori sosial yang ada, masalahnya kemudian adalah teori sosial manakah yang harus dipilih? Keragaman ini bukan sekadar variasi, tapi merupakan pluralitas yang berbeda akar ontologis dan epistemologisnya. Karena itu pertanyaannya adalah apa dasar pertimbangan (ideologis, politis, ekonomis dan lain-lainnya) si intelektual muslim dalam menjatuhkan pilihan terhadap satu atau beberapa teori sosial tertentu? Pertanyaan ini didasarkan pada pertimbangan bahwa pengetahuan tak mungkin dipisahkan dari kepentingan. Makalah ini akan mencoba melihat pilihan dari Cak Nur mengenai teori-teori modernisasi yang dipilihnya untuk memberikan semacam solusi bagi umat Islam di Indonesia.
PembahasanCak Nur memang bukan ilmuwan sosial formal, kendati cukup banyak memberikan dasar pemikiran bagi penyetubuhan doktrin Islam dengan teori sosial. Disamping langsung menggunakan teori-teori sosial modernisasi untuk menjelaskan hubungan ajaran Islam dan umat, elaborasi keislaman Cak Nur memberikan ruang yang pas bagi masuknya teori-teori sosial yang berkutub paradigma modernisasi. Ini dilakukannya secara konsisten sejak awal 1970an.Dalam rangka menjelaskan hubungan doktrin dan umat Islam, Cak Nur banyak menggunakan sejarah peradaban Islam dan teori-teori sosial modernisasi, terutama yang dikembangkan oleh Weber dan Parsons. Pilihan ini bukannya tanpa pertimbangan epistemologis.Ilmu pengetahuan, baik yang alamiah maupun yang sosial, adalah netral. Artinya tidak mengandung nilai kebaikan atau kejahatan pada dirinya sendiri. Nilainya diberikan oleh manusia yang memilikinya atau menguasainya. Karena kenetralannya, Ilmu pengetahuan dapat ditukar - menukarkan atau diberi – dan dimintakan antara sesama manusia, tanpa memandang tata nilai masing-masing yang bersangkutan. Karena itu Islam dapat berperan untuk memberikan orientasi nilai kepada ilmu atau teori, sehingga ilmu mengabdi pada nilai-nilai kemanusiaan.Dari sudut pandang Islam, hanya segi metode dan empirisme ilmu pengetahuan modernlah yang nampak absah (valid). Sedangkan dalam hal moral dan etika, ilmu pengetahuan modern sangat miskin. Dengan memisahkan nilai etik dari ilmu atau teori, Cak Nur memberikan semacam definisi terhadap ilmu pengetahuan:Ilmu pengetahuan tidak lain dari pemahaman manusia terhadap hukum-hukum obyektif yang menguasai alam, ideal dan material sehingga alam ini berjalan menurut hukum alam yang berlaku. Pandangan semacam ini merupakan perspektif empirisme atau positivisme. Bahkan menurutnya, positivisme dan empirisme punya pijakan yang kokoh dalam tradisi intelektual Islam, seperti dalam pemikiran epistemologi Ibn Taimiyyah dan Ibn Khaldun misalnya, yang dipandangnya sebagai peletak dasar empirisme dan positivisme modern mendahului John Stuart Mills ataupun David Hume. Dalam epistemologi Barat, mulanya empirisme dan positivisme merupakan landasan ilmu-ilmu alam (fisika, biologi dan lain-lain). Dari itu kemudian lahir gagasan tentang ‘hukum alam’ yang bersifat obyektif dan eksternal, juga konsep organisme dan evolusionisme. Karena kuatnya pengaruh ilmu-ilmu alam ini, maka ilmu-ilmu sosial disusun atas dasar pengandaian positivis tersebut. Ini terlihat misalnya pada pemikiran Auguste Comte, Emile Durkheim dan Tallcot Parsons. Dengan Asumsi positivis, Durkheim merumuskan fakta sosial (social fact) sebagai subject matter sosiologi. Fakta sosial merupakan benda (thing) yang berada diluar individu (eksternal), memaksa individu untuk menyesuaikan diri dengannya (coercive) dan keberadaannya tidak ditentukan oleh kehendak individu sebagai subyek, karena itu fakta sosial bersifat otonom. Menurut Durkheim, fakta sosial merupakan kenyataan sui generis, termasuk kedalamnya adalah norma, hukum, peran, status, bahkan kepercayaan masyarakat. Sifat-sifat dasar fakta sosial seperti itu memungkinkan Durkheim mengklaim bahwa teori sosial bebas nilai. Dibawah pengaruh teori evolusi dan doktrin organisme, fakta sosial tersebut dilihat sebagai sistem organis, dimana masing-masing bagiannya terdiefensiasi dan saling terkait secara fungsional, sehingga membentuk suatu sistem sosial yang harmonis dan seimbang.Sementara itu, teori sosial Weber, yang juga merupakan asal dari teori modernisasi, bertumpu pada asumsi epistemologi idealistis, dimana penafsiran individu terhadap diri dan lingkungannya merupakan faktor yang menentukan atau menggerakan kehidupan masyarakat. Penafsiran tersebut tentulah sangat tergantung pada sistem nilai masyarakat bersangkutan. Karena itulah subject matter teori sosial merupakan nilai-nilai masyarakat. Tapi tidak berarti teori sosial tersebut menjadi subyektif. Manakala nilai (subyektif) sudah menjadi obyek studi, maka nilai merupakan sesuatu yang obyektif dan bebas nilai. Jadi serupa seperti kaum positivis, Weber yang idealis pun mengklaim bahwa teori sosial bersifat bebas nilai.Tradisi positivisme dan idealisme menyatu dalam sosiologi Parsons, walaupun ia tidak bisa membuatnya menjadi satu pemikiran yang utuh. Hal ini terlihat pada teori tindakannya (tahap awal kariernya) yang lebih banyak mencerminkan semangat positivisme. Tapi keduanya tetap memberikan tempat penting bagi agama sebagai sistem sosial.Semua itu memungkinkan Cak Nur mengambil teori-teori sosial Weberian dan Parsonian, terutama lewat sosiologi agama Robert N. Bellah dan antropologi budaya yang dikembangkan oleh Clifford Geertz (untuk ‘kasus’ Islam Indonesia). Yang Cak Nur lakukan dengan teori-teori modernisasi bukanlah penelitian sosial, sebagaimana lazimnya ilmuwan sosial, tetapi untuk mengelaborasi ajaran-ajaran Islam (al-Qur’an dan Sunnah) dan reaktualisasi tradisi Islam itu sendiri. Berarti, Cak Nur bekerja pada tingkat meta penelitian sosial, yakni memberikan rekomendasi bagi hasil penelitian sosial yang berparadigma modernisasi dalam mempertanyakan dan menjawab persoalan Islam secara umum.Tujuan rekomendasinya, adalah agar umat menerima kemodernan dalam arti yang luas. Karena makna modernisasi berarti merombak tata kerja yang tidak aqliyyah dan menggantinya dengan yang aqliyyah, padahal Tuhan memerintahkan manusia untuk menggunakan akalnya. Cak Nur menyimpulkan bahwa modernisasi merupakan “keharusan malah kewajiban yang mutlak”. Modernisasi merupakan pelaksanaan “perintah ajaran Tuhan yang Maha Esa”. Lebih lanjut Cak Nur juga menulis, “…yang modern secara mutlak, yang benar secara mutlak, yaitu Tuhan Yang Maha Esa”. Hal ini berarti makna moderniasasi telah bermuatan teologis, bukan sekadar kenyataan historis.Modernisasi dan Rasionalisasi semacam ini terkait erat dengan gagasan sekularisasi atau desakralisasi. Rasionalisasi yang berkonotasi berpikir ilmiah, dimungkinkan apabila dunia (material dan sosial) sebagai obyek pemikiran ilmiah dibebaskan dari mitos-mitos yang mensakralkannya, sehingga dengan demikian, ia dapat ditundukkan pada dan direkayasa, bagi kepentingan manusia. Desakralisasi, Demitologisasi, atau disebut juga Sekularisasi, mengimplikasikan ‘devaluasi radikal’ terhadap obyek-obyek mitologi. Diturunkannya nilai-nilai sakral menjadi obyek yang hanya mengandung kegunaan praktis sehari-hari saja. Pada tataran sosiologis, desakralisasi atau sekularisasi berarti pembebasan tatanan sosio-kultur dari ikatan-ikatan keagamaan. Agama ditempatkan pada tingkat yang lebih abstrak, sebagai nilai-nilai etis. Tapi ini tidak berarti agama kehilangan signifikansinya dalam kehidupan duniawi. Sebagai sistem nilai, agama berfungsi memberikan orientasi dan makna hidup serta sumber legitimasi bagi tertib sosial. Masyarakat, termasuk masyarakat modern, tak akan bertahan tanpa legitimasi, dan agama sebagai sistem nilai berkemampuan efektif untuk melegitimasi tatanan masyarakat. Peran ini tak bisa dimainkan oleh agama yang terbelenggu oleh bentuk-bentuk kelembagaan formal seperti negara, partai politik dan lain-lain. Karena itu, agama harus dilihat sebagai kenyataan universal, yang mampu melingkupi pluralisme yang menguat dalam masyarakat modern.Dalam kerangka sibernetik Parsonian yang digunakan Cak Nur, agama sebagai sistem nilai universal dapat memberikan masukan informasi terhadap sistem sosial, lewat sosialisasi terhadap sistem kepribadian, sehingga dapat memperbarui sistem sosial, disamping juga berperan sebagai kontrol. Dalam hirarki sibernetik ini, agama dapat menjadi pendorong bagi tumbuhnya kemodernan, meningkatnya etos kerja misalnya. Kerangka ini memungkinkan Bellah melihat hubungan agama Tokugawa dengan industrialisasi di Jepang. Geertz melihat tumbuhnya entrepreneurship golongan Islam Santri Jawa. Dengan kerangka itu pula, Cak Nur bicara tentang etos kerja umat Islam, bukannya “umat Islam sekarang maju karena pengaruh etika Islam”, tapi sebaliknya “umat Islam sekarang miskin dan terbelakang, karena tidak mengamalkan etika Islam”. Untuk itu, dia menengok kembali sejarah Islam dan melihat di sana, khususnya pada masa Rasulullah dan khalifah yang empat, bahwa Islam begitu modern, termasuk dalam kehidupan ekonominya. Bahkan, Islam terlalu modern, sehingga sistem kelembagaan mas sesudahnya tidak mampu menyangganya, maka ambruk. Ada kekuatan internal diantaranya sistem teologis, yang dapat membuat modern perilaku ekonomi umat Islam. Konsep kasb, yang berasal dari pemikiran teologis kaum Asy’ariah, dilihat Cak Nur sebagai pemikirian yang dapat menumbuhkan etos kerja.Golongan Sunni pada umumnya percaya bahwa manusia telah ditakdirkan oleh Tuhan dari zaman tanpa permulaan …. Tentang nasibnya, termasuk apakah akan ‘masuk surga’ atau ‘masuk neraka’ …. Walaupun begitu terdapat tanda-tanda di dunia ini bagi seseorang apakah ia bakal masuk surga atau tidak, yaitu apakah ia lebih banyak berbuat kebaikan atau kejahatan …. Maka seseorang tetap diwajibkan berbuat baik, antara lain untuk membuktikan bahwa ia ditakdirkan oleh Allah bakal masuk surga. Pengertian kasb tidak bisa dipisahkan dari konsep zuhud atau asketisme. Bekerja keras, disertai sikap menahan diri, termasuk menahan diri dalam mengkonsumsi hasil kerjanya (hemat), memungkinkan surplus dan saving, yang pada gilirannya akan berpengaruh bagi pertumbuhan ekonomi umat. Oleh karena itulah bagi Cak Nur, telogi Asy’ari berperan paralel seperti Calvinisme, yang dipandang Weber sebagai kekuatan budaya yang ikut memacu pertumbuhan ekonomi masyarakat barat, masyarakat yang menjadi model pembangunan umat. Maka teologi Asy’ari yang intinya adalah pertumbuhan ekonomi dianggap relevan dengan pembangunan.Dalam kehidupan politik, Cak Nur pun lebih memikirkan segi nilai-nilai perpolitikan, bukan tingkat kelembagaan seperti partai, negara dan lain-lain. Ia banyak berbicara tentang nilai-nilai yang dipandangnya universal, seperti demokrasi, pluralisme, egaliterianisme, keadilan dan lain sebagainya, yang dia elaborasi dengan berpijak pada doktrin dan sejarah politik umat. Dalam konteks Indonesia, Cak Nur menterjemahkannya dengan ungkapan yang sangat terkenal yaitu “Islam Yes, Partai Islam No !!” . ‘Partai’ atau ‘Negara’, berlabelkan ‘Islam’ ataupun tidak hanyalah alat. Yang paling penting adalah sejauh mana alat tersebut dapat mewujudkan nilai-nilai politik tersebut diatas.Disamping itu penolakan Cak Nur terhadap partai Islam didasarkan pada bacaannya terhadap sejarah, sosiologi dan antropologi politik Indonesia . Ada kesan kuat di kalangan pemerintah dan masyarakat bahwa Islam identik dengan lembaga-lembaga yang menamakan dirinya ‘Islam’, baik Ormas (misalnya Muhammadiyah, Persis, NU dan lain-lain) ataupun Orpol (Masyumi, Parmusi, NU, PSII, PERTI, PPP dan lain-lain). Padahal kondisi Orpol tampaknya jauh dari harapan umat yang majemuk itu. Sehingga Cak Nur memperkirakan jawaban umat kalau ditanya mengenai hubungan Islam dengan partai politik: “Islam Yes, Partai Islam, No !”.Dalam hal partai politik islam, Cak Nur mengatakan, “Jika partai-partai Islam merupakan wadah dari ide-ide yang hendak diperjuangkan berdasarkan Islam, maka jelaslah bahwa ide-ide itu sekarang dalam keadaan yang tidak menarik lagi. Ide-ide dan pemikiran Islam itu sekarang sedang memfosil, kehilangan dinamika. Partai-partai Islam tidak berhasil membangun imej yang psotif dan simpatik”. Dengan gagasan ini, Cak Nur hendak membuat pemisahan antara Islam dan Partai Islam. Perjuangan Islam melalui partai Islam hanyalah satu kemungkinan dan masih ada kemungkinan yang lain. Hal ini tidak absolut.
KesimpulanMemang pandangan Keislaman Cak Nur jelas sangat kental diwarnai paradigma modernisasi, dimana teori sosial Parsonian sangat sentral. Dalam sistem Parsonian, setiap unit tindakan sosial selalu terdiri dari individu yang bermotivasi mengejar tujuan, dengan sejumlah alat untuk mencapainya. Tapi, pilihan atas alat dan tujuan tersebut ditentukan oleh situasi biologis dan ekologis serta norma-norma atau nilai-nilai. Karena itu dapat dipahami, kendatipun motivasi individual dimasukkan kedalam unit tindakan sosial, kerangka Parsonian, secara keseluruhan, merefleksikan suatu determinisme sosial . Hal ini lebih kentara lagi, ketika teori aksi Parsonian (yang banyak terpengaruh oleh Weber) bergeser ke dalam teori sistem umum yang dikembangkannya kemudian. Teori sistem umum ini menyandera masyarakat sebagai kenyataan yang stabil dan harmonis, sehingga mengabaikan konflik-konflik sosial dan hampir tidak memberi ruang bagi perubahan. Cara pandang ini mengingatkan kita pada konservatisme, walaupun Parsons sendiri mengklaim dirinya sebagai seorang liberal. Ini berarti, mengelaborasi Islam dalam kerangka Parsonian secara tidak disadari sebenarnya melumpuhkan Islam dengan menjadikannya konservatif, dan terlebih lagi, menjauhkan kita dari cita-cita egaliterianisme, yang sebetulnya juga menjadi perhatian serius Cak Nur sendiri.Pandangannya punya sasaran sosiologis yang jauh dan luas. Cak Nur ingin melihat umat bersatu dalam keragamannya, mendambakan umat tidak lagi dikotak-kotakkan oleh sekat sosio-politik (dalam hal ini partai). Rakyat, Pemerintah, yang aktif di partai yang berlabel Islam ataupun tidak, dipandang sebagai bagian dari umat secara keseluruhan. Dengan cara seperti ini,yang ingin ‘direhabilitasi’ adalah kesan bahwa umat Islam adalah oposan dan merupakan kelompok yang kalah. Hasilnya tentu saja perlu studi dan penelitian tersendiri.
Daftar Pustaka:• Budhy Munawar-rachman, Islam dan Pluralisme Nurcholish Madjid, Pusat Studi Islam dan Kenegaraan, Jakarta, 2007• Margaret M.Poloma, Sosiologi Kontemporer, CV Rajawali Press, Jakarta, 1984• Nurcholish Madjid, Islam, Doktrin dan Peradaban, Sebuah Telaah Kritis tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan dan Kemodernan, Yayasan Wakaf Paramadina, Jakarta, 1992• Nurcholish Madjid, Keislaman, Kemodernan, dan Keindonesiaan, Penerbit Mizan, Bandung 1987• Nurcholish Madjid (ed), Khazanah Intelektual Islam, Penerbit Bulan Bintang, Jakarta, 1985

Tidak ada komentar:

Posting Komentar