Jumat, 10 April 2009

POLITIK ISLAM INDONESIA

MELIHAT POLITIK IDENTITAS UMAT ISLAM INDONESIA
DALAM KASUS NADHLATUL ULAMA


Salah satu kelemahan besar dari sejarah pemikiran intelektual Barat adalah kencenderungan berpikir secara dikotomi, atau membuat dua pilihan yang saling berlawanan. Kecendrungan ini tercermin jelas dalam hubungan antara agama dan politik. Sejarah intelektual Barat membangun konsep bahwa sifat dasar atau esensial dari modernitas adalah keterpisahan antara agama dan politik (separation of church and state), sehingga salah seorang pakar menyatakan, “The Privatization of religion is essential to modernity,” (Casanova, Private and Public Religions, Social Research, V. 59 No. 1, 1992, 18). Sebuah badan literatur justru menyebutkan, teori modernissi didasarkan premis bahwa jalan satu-satunya untuk mencapai pembangunan (development) adalah lewat proses sekularisasi, rasionalisasi, dan diferensiasi, termasuk Almond dan Verba, a Civic Culture, 1963; Lucian Pye, Aspects of Political Development, 1957, dan yang lebih baru, Howard Wiarda, New Directions in Comparative Politics, 1991).

Proses ini berkali – kali dibantah secara empiris setelah adanya Revolusi Iran dan fenomena revivalisme Islam, namun tetap tidak mengubah keyakinan bahwa keterpisahan antara Negara dan agama adalah tanda modernisasi dan kemajuan. Hal ini seakan membuat lawan dikotomis dari nilai normatif itu, yaitu bahwa kesatuan diantara agama dan politik itu diasosiasikan dengan masyarakat dan kebudayaan yang tidak rasional, keras, dan tidak demokratis.

Perlu dicatat disini bahwa cukup banyak penelitian yang mencerminkan kenyataan bahwa di Barat bidang politik dan agama sangat mempengaruhi. Namun, hal ini juga tidak sanggup menggoyahkan pandangan bahwa cara Barat (baca : modern, rasional dan sekuler), yaitu keterpisahan agama dan politik, berlawanan dengan cara dunia Islam (baca ; irasional dan cenderung keras) yang menyatukan bidang agama dan politik.
Pemikiran dikotomis seperti ini memberi peluang bagi pemikir seperti Samuel Huntington, yaitu yang merumuskan pandangan yang agak mengerikan dalam karyanya The Class Of Civilizations. Huntington pertama-tama melihat dua pilihan yang berlawanan, yaitu keterpisahan Negara dan agama yang diwakilkan oleh Barat, dan kesatuan Negara dan agama dalam cara irasional dan keras yang diwakilkan oleh dunia Islam. Berdasar hal itu, ia kemudian menerapkan cara Barat sebagai standar dan cara Islam sebagai the other, untuk kemudian meramalkan konflik antar keduanya. Inilah bahayanya pikiran seperti itu. Di satu sisi, keterpisahan politik dan agama itu adalah keterpisahan buatan, yang dibuat oleh elit-elit Negara untuk meregulasi dan membatasi kekuasaan politik potensial yang ada di dalam Islam. Di sisi lain, menyatukan agama dan politik juga tidak memberikan jalan keluar, karena paradigma itu bisa dipakai oleh pakar seperti Huntington untuk menggambarkan dunia Islam sebagai irasional dan garang.

Memang, tidak semua pakar memakai kacamata dikotomis seperti itu. Ada beberapa usaha untuk mencari paradigma yang lebih kompleks. Contohnya, perdebatan yang sekarang terjadi di Eropa antara Reinhard Schulze dan Rathke mengenai kemungkinan adanya indigenous modernity atau Islamic enlightenment di lingkungan pemikiran Islam pada abad ke – 18, yang notabene mengawali enlighttement Eropa. Contoh lain, literature dari cendekiawan Islam di Timur Tengah, yang menyatakan bahwa modernisasi itu adalah amanat dari Allah ke Manusia, dengan cirri khas keseteraan sosial dan ekonomi.

Dengan cara ini kompleksitas yang lebih menarik dan lebih riil dapat diperoleh dari pelajaran kasus aktual saat negosiasi dan saling pembentukan terjadi antara elemen-elemen politik dan elemen-elemen Islam di Indonesia. Dan untuk lebih spesifik lagi umat Nadhatul Ulama di Indonesia merupakan contoh kasus yang pantas untuk dipelajari. Yaitu cara untuk menghindari esensialisme dan pelecehan yang dilakukan oleh teori modernisasi itu, adalah untuk memandang secara empiris dan teliti kasus spesifik, tanpa membuat generalisasi soal Islam maupun Politik.

Untuk mengungkapkan generalisasi –generalisasi yang tidak bermanfaat, kita mesti mulai dengan dekonstruksi konsep politik itu sendiri. Mengapa? Karena konstruksi defenisi istilah politik sendiri merupakan suatu exercise of power yang dapat menentukan bagaimana kita mengatur social order kita. Defenisi tradisional atau standar politik biasanya berkaitan dengan alokasi resources – who gets what, when, and how (siapa dapat apa, kapan, dan dengan cara apa) menurut Laswell – atau strunggle of power (perebutan kekuasaan). Tetapi menurut Eickelman dan Piscatori, politik tidak hanya sekedar sistem ketaatan terhadap kekuasaan, tetapi lebih menyangkut negoisasi atau perundingan antar beberapa kelopok atau golongan untuk membentuk suatu sistem social order yang tepat. Lagipula menurut mereka Politik Islam, khususnya, sering melibatkan keributan atau struggle terhadap symbol dan interpretasi symbol dan institusi yang dilambangkan oleh symbol tersebut (Muslim Politics, 1996).

Bagaimana semua ini dikaitkan dengan potret perpolitikan umat Islam di Indonesia sekarang? Dengan pengertian bahwa Politik bukan hanya suatu struktur regulasi, hukum, atau institusi kekuasaan, melainkan proses negosiasi, perebutan dan implementasi symbol dan konsep. Kita dapat melihat bahwa selama 32 tahun konsep politik ini telah dibentuk dan di konstruksi oleh Orde Baru sehingga lambat laun politik berkonotasi oposisi dan ditempel dengan nuansa negative. Konstruksi dari defenisi politik ini sendiri merupakan suatu exercise of power yang memungkinkan Negara memegang dan meregulasi secara ketat semua institusi – institusi kekuasaan tanpa memberikan kesempatan kepada lawan untuk bergerak dan bersaing dengan sehat.

Akibat dari konstruksi wacana oleh Orde Baru ini untuk umat Islam adalah cerita yang seringkali kita dengar belakangan ini, bahwa selama 32 tahun, Islam disingkirkan dan tidak dibolehkan berkembang dengan bebas. Satu alat Orde Baru yang digunakan untuk menahan dan membatasi potensi umat Islam adalah dikotomi antara Islam Kultural dan Islam Politik. Melalui Exercise of power, Orde Baru membuat garis antara praktik-praktik Islam Kultural yang agamais dan yang diberi konotasi baik dan dibimbing dan praktik-praktik Islam Politik yang langsung dianggap oposisional dai diberi konotasi jelek dan ditindas. Perlu digaris bawahi bahwa hal ini bukan suatu perbedaan yang baru, antara suatu sinergi yang bersifat exercise of power. Ahli Islam di bidang administrasi colonial Snouch Hurgronje, telah memakai strategi yang sama dalam pembentukan kebijakan resmi terhadap Islam, dengan tujuan menahan dan mengendalikan apa yang dianggap sebagai potensi revolusioner Islam. Snouch Hurgronje membedakan label religious Islam yang dapat ditoleransi, dan Political Islam yang tidak dapat ditoleransi.

Oleh karena itu, dibawah kebijakan Snouck umat Islam di Indonesia dibolehkan untuk pertama kalinya naik haji ke Mekkah, tetapi jika ada indikasi perkembangan politik, umat langsung dihancurkan. Apabila kebijakan itu bermanfaat mendasar disini bahwa perbedaan antara Islam Kultural dan Islam Politik adalah bawaan dari zaman kolonial. Latar belakang dikotomis ini memang sebagai alat untuk mengontrol dan mengendalikan umat Islam oleh pihak kekuasaan. Dan ini masih dilanjutkan oleh rezim Orde Baru. Penguasa membiayai pembangunan masjid dimana – mana tetapi menembak kaum Islam di Tanjung Priok.

Dengan kuatnya exercise of power Orde Baru itu, akhirnya dalam tiga dekade ini di Indonesia berkembang opini bahwa Islam cultural itu baik dan Islam politik itu jelek. Prof. Syamsul Arifin dan UMM, di harian Republika, pernah membuat argumentasi bahwa di Indonesia tidak akan terjadi Negara Islam. Dengan alasan sejak dekade ’80-an umat Islam di Indonesia kebanyakan mempraktikkan Islam Kultural, dan bukan Islam Politik. Islam Kultural digambarkan dalam nuansa berpijak pada pengembangan etos inklusivisme dan pluralisme, melawan Islam Politik yang nyata-nyata membawa umat Islam terpuruk dalam sejarah. Dari sini jelas bahwa Prof. Syamsul tidak hanya menerima perbedaan antara Islam Kultural dan Islam Politik, tetapi sekaligus nilai normatif bahwa Islam Kultural itu positif dan Islam Politik itu negatif, yang dikeluarkan selama tiga dekade oleh Orde Baru.

Demikian halnya dengan Abdurrahman Wahid. Gus Dur sejak awal sudah memperjuangkan konsep bahwa Islam Politik itu tidak bermanfat bagi Negara Indonesia, apalagi untuk warna NU yang menjalankan Islam Kultural. Manifestasi dari prinsif ini adalah fenomena kembali ke Khitah 26 yang dimotori oleh Gus Dur sejak awal 80-an, dan secara resmi diadopsi oleh NU pada muktamar Situbondo tahun 1984. Dengan cara ini Gus Dur seolah – oleh memilih mengeluarkan NU dari arena politik dan masuk ke arena sosial. Langkah ini sebenarnya di ambil sebagai tanggapan NU terhadap tersingkirnya Naro di PPP, namun pada tahap yang lebih dalam langkah ini sebagai maneuver untuk memperoleh kebebasan berpolitik.

Langkah ini dibenarkan oleh Kiai Muchith Muzadi dalam penjelasan beliau mengenai Khitah 26 itu. “Dengan tidak terikat itulah (dalam sistem politik formal, pen). NU ingin menggarap berbagai macam garapan yang menuju pada peningkatan kualitas insan NU”. (Implementasi Khitah NU dalam Sistem Politik di Indonesia, 1990, 15). Kiai Muzadi meneruskan, “kursi-kursi politik tetap penting, tetapi bagi NU sekarang, perjuangan pemberdayaan umat tidak boleh dikesampingkan bahkan harus diutamakan, serta NU menjadi kekuatan politik yang harus diperhitungkan oleh semua pihak”. Pengertian politik dijelaskan pula dengan mengutip pesan-pesan dari muktamar 28,”. Berpolitik bagi Nahdlatul Ulama menuntut perkembangan organisasi kemasyarakatan yang lebih mandiri dan mampu melaksanakan fungsinya sebagai sarana masyarakat untuk berserikat. “Berpolitik bagi Nahdlatul Ulama, tegasnya, dengan dalih apapun tidak boleh dilakukan dengan cara mengorbankan kepentingan bersama dan memecah belah persatuan. Pengertian ini didasarkan defenisi politik yang tidak hanya melihat pada struktur kekuasaan formal, seperti kursi-kursi DPR, tetapi lebih pada pengembangan dan pemberdayaan umat sebagai political force sendiri.

Pengertian dan defenisi politik itu harus juga dipakai sekarang, jika kita ingin menganalisis kegiatan perpolitikan umat NU pasca – Seoharto. Seperti kita ketahui, lengsernya Soeharto dan munculnya parpol-parpol baru, telah menghasilkan tekanan luar biasa yang ditujukan ke PBNU untuk membentuk partai politik lagi.

Hasil dari tekanan ini adalah lahirnya empat partai politik yang berfiliasi dengan NU, yaitu Partai Kebangkitan Bangsa (PBK), Partai Kebangkitan Umat (PKU), Partai Solidaritas Uni Nasional Indonesia (SUNI), Partai Nahdlatul Ummah (PNU). Empat partai ini tidak bertanding secara bersamaan, karena hanya satu yang direstui oleh PBNU, dan dikatakan “anak tunggalnya” NU, yaitu PKB. Posisi istimewa PKB itu akhirnya menimbulkan perdebatan mengenai status khitah. Adayang menyatakan bahwa karena PBNU hanya mengakui PKB, dan kemudian menyuruh warga NU untuk hanya memilih PKB, maka khitah itu sudah tidak berlaku lagi (Republika, 10/9/98). Tetapi ada juga yang menanggapi bahwa adanya empat partai yang berafiliasi dengan NU itu membuktikan bahwa khitah itu masih ada dan warga NU bebas untuk memilih sesuai dengan keinginan mereka. Sementara, Yusuf Hasyim berpendapat lain bahwa seyogyanya ada tuntutan supaya khitah itu dibahas kembali, yang dibenarkan oleh Kiai Wahid Zaini dengan menyatakan hal itu akan dibahas dalam muktamar mendatang.

Dengan menghadapi kemungkinan itu tidak digunakannya lagi khitah itu dalam prinsip perpolitikan NU, akhirnya banyak yang kemudian kembali ke zaman 50’an untuk mencari wawasan tentang agenda dan sikap politik NU. Hal itu wajar saja, karena memang ada cukup banyak faktor yang serupa. Pertama, pada tahun 1952 NU keluar dari Masyumi dan mendirikan partai sendiri. Penarikan diri ini, menurut Greg Fealy, menandai munculnya kembali ketegangan antara kaum tradisionalis dan kaum modernis zaman 1920 dan 1930-an – ketegangan ini mewarnai peta politik kontemporer juga (Fealy, Ulama and Politics in Indonesia; A History of Nahdlatul Ulama, 1952 – 67; 1998). Faktor kedua yang serupa adalah policy atau kebijakan partai NU pada waktu itu digambarkan oleh Fealy sebagai Islamic Populism, atau Islam Kerakyatan yang memihak pada masa di lapisan bawah, dan menekankan perlunya menjaga dan membangun situasi sosio ekonomi masa ini. Retorika NU dan PKB sekarang ini dipenuhi dengan peringatan bahwa NU yang punya “massa akar rumput” dan bahwa PKB ini yang akan mewakili massa itu. Elemen ketiga yang bisa dianggap mirip diantara tahun 1950-an dan sekarang adalah aliansi dengan kaum nasionalis yang lain, dengan alasan keinginan untuk mengurangi kuasa politik Masyumi (Fealy, 121).

Dinamika serupa antara PBK dan partai-partai yang berasas Islam seperti PBB, PK dan PKU juga dapat diamati sekarang. Walaupun ada banyak kesamaan dalam agenda dan bentuk perpolitikan NU pada tahun 1950-an dengan sekarang terdapat pula perbedaan. Pada tahun 1952, salah satu alasan mengapa NU keluar dari Masyumi adalah karena menurut mereka posisi ulama semakin tersingkir, sementara NU justru ingin menguatkan peran tersebut. Sementara, tokoh-tokoh politik dari kaum modernis Masyumi ingin mengarahkan partai itu kearah professional, global dan tidak mau kebijakan partai ditemukan oleh kaum pesantren. NU berkeberatan dengan sikap ini sehingga pada akhirnya memutuskan untuk keluar.

Hal kedua yang berbeda dari sikap NU terhadap fenomena Negara Islam. Dalam perdebatan di Konstituante antara 1956 – 1959, untuk dua tahun pertama NU mendukung dan memperjuangkan Negara Islam. Namun, setelah sebagian pimpinan NU yang duduk di Kursi Dewan menerima UUD 1945 tanpa dimasukkannya Piagam Jakarta, akhirnya sikap NU tersebut kembali dipertanyakan. Pilihan Matori sebagai ketua PKB, atas protes keras dari berbagai ulama dan kiai, mengindikasikan bahwa dalam pandangan Gus Dur PKB tidak akan dimotori oleh dua ulama dan kiai secara keseluruhan, tetapi lebih mengarah ke kaum politikus dan professional. Demikian juga dengan konsep Negara Islam, Gus Dur dengan konsisten selalu melawan konsep Negara Islam, sampai melakukan perdebatan di Media massa dengan adiknya soal asas pribadi.

Jadi bagaimana kita mesti memandang perbedaan ini, dan juga perindahan NU dari sikap berkhitah kepada berpartai lagi? Jika kita mengingat defenisi politik dari Kiai Muzadi, jelas bahwa agenda politik yang paling dasar untuk NU adalah kesejahteraan dan pembimbingan warga Nahdliyyin itu. Jadi, walaupun bentuk atau pendekatannya mungkin akan berubah, sesuai dengan iklim atau lingkungan politiknya, tujuan utamanya tetap sama. Kesimpulan ini didukung oleh Greg Fealy mengenai doktrin Politik NU. Menurut Fealy, doktrin politik NU terdiri dari tiga unsur kunci : 1) amar ma’ruf nahi mungkar, yang menurut Wahab Chasbullah dan Ahmad Siddiq bahwa cara paling efektif untuk beramar Ma’ruf nahi mungkar adalah dengan memegang posisi yang berpengaruh dalam pemerintah;
2) fleksibilitas, atau sikap menyesuaikan diri dengan situasi dan kondisi yang berlaku, berdiplomatis,
3) Moderat, dalam arti tawassuth, atau pendekatan jalan tengah, yang juga dikembangkan oleh Achmad Siddiq (Fealy, 57 – 65). Dengan doktrin politik yang bernuasan moderat dan fleksibel, dan dengan tujuan politik untuk menguntungkan warga nahdliyyin, bisa dipahami bahwa perpolitikan NU selalu konsisten, walaupun cara atau metodenya mungkin berubah dari zaman ke zaman.

Dari sini kita dapat menyimpulkan bahwa kegiatan dan agenda politik NU dalam waktu yang akan datang tidak akan banyak berubah. Kalaupun diputuskan bahwa NU sekarang tidak berkhitah, itu tidak berarti bahwa dulu NU tidak berpolitik dan sekarang berpolitik. Dulu juga berpolitik, dalam defenisi politiknya sendiri, dan dengan khitah atau tanpa khitah, praktik perpolitikannya itu akan diteruskan. Jikalau retorika politik NU sekarang sangat bernuansa antinegara Islam, yang merupakan pengubahan dari retorika masa lalu, hal itu juga bisa dijelaskan dengan doktrin politiknya yang pragmatis. Yaitu, dengan kesadaran bahwa prioritasnya untuk NU saat ini adalah untuk menaikkan status sosio – ekonomi warganya. Dan kenyataannya, penguasaan sumber daya sosial – ekonomi yang riil di Indonesia sekarang ini lebih banyak dikuasai orang – orang Cina, yang notebene sangat melawan iden Negara Islam.

Bagaimana hal ini jika dikaitkan dengan hubungan antara politik dan agama? Dengan memakai contoh maneuver politiknya NU untuk menggambarkan pandangan dikotomis hubungan antara Islam dan Negara kadang tidak begitu membantu kita dalam kasus kompleks seperti ini. Umat Islam dalam keluarga NU bersikap dilematis. Di satu sisi acuh terhadap hubungan antar agama dan Negara, di sisi lain mereka tidak menginginkan adanya Negara Islam. Mereka justru menjalankan suatu dinamika yang jauh lebih cair, dimana bentuk dan pendekatan politiknya bisa menyesuaikan diri dengan struktur politik formal ang berlaku, tanpa mengubah doktrin atau agenda dasarnya.

Kasus seperti ini, dan dinamika antara kelompok-kelompok Islam dan Negara di Indonesia dapat membantah dan mengungkapkan kekuatan teori-teori Barat yang kurang bermanfaat, termasuk teori modernisasi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar