Minggu, 17 Mei 2009

POLITIK dan KEKUASAAN


“MEREDAM NAFSU KEKUASAAN”
Sebuah refleksi Pemilu Indonesia[1]

Oleh: Lisyati Fatimah

Pengantar
Pemilu legislatif baru saja usai, menyusul kemudian pemilu presiden Indonesia. Banyak catatan yang kita rekam dalam ingatan kita tentang sebuah pesta demokrasi itu. Masa kampanye yang panjang kurang lebih sembilan bulan itu ditanggapi apatis oleh masyarakat pada umumnya, mengapa? Banyak alasan yang dikemukakan. Salah satunya janji politik yang diucapkan para caleg tidak bisa dipercaya, bagi mereka janji politik itu hanya “lip service” belaka, buktinya jauh panggang dari api.
Konon, mereka bertekad untuk berjuang, tatapi dengan mengeluarkan banyak sekali uang yang entah dari mana datangnya untuk kemenangan partai dan kemenangan diri mereka sendiri, tetapi rupanya hanya sedikit sekali yang masih ingat bahwa yang harus mereka lakukan adalah memenangkan cita-cita politik untuk rakyat mereka, dengan menggunakan kekuasaan yang mereka peroleh berkat suara rakyat yang diberikan untuk mereka. Mereka merasa perlu tampil dalam iklan dan baliho dengan ukuran spektakuler, tetapi hampir tidak ada yang mengangkat penderitaan rakyat dan memperlihatkannya dalam ukuran kecil saja supaya setiap orang yang lewat di Jalan Sudirman diingatkan bahwa ada demikian banyak sesama warga yang belum hidup layak dan tersingkir dari hak- haknya. Politik kita adalah politik yang permisif karena mengizinkan kemewahan dan pemborosan sambil membiarkan kemelaratan.
Bukan rahasia lagi bahwa persiapan pemilihan umum kali ini menelan biaya yang amat besar, baik dari pihak KPU sebagai penyelenggara dan penanggung jawab maupun dari para kontestan pada berbagai tingkat pemilihan umum. Maka, patut diantisipasi bahwa biaya uang sebelum pemilihan umum bakal disusul dengan biaya manusia yang sama tingginya setelah pemilihan umum, yaitu biaya yang diakibatkan oleh kekecewaan dan frustrasi para kontestan yang kalah bersaing dalam pemilihan legislatif. Untuk mendapat gambaran dalam angka, 560 kursi yang ada di DPR RI diperebutkan oleh 11.225 kontestan. Jadi, yang akan kalah dalam pemilihan adalah sebanyak 10.665 orang. Seterusnya, 1.998 kursi yang merupakan jumlah total kursi di semua provinsi diperebutkan oleh tidak kurang dari 112.000 kontestan. Ini artinya ada 110.002 orang yang akan mengalami kekecewaan. Paling fantastis adalah pemilihan legislatif untuk tingkat kabupaten/ kota, di mana yang menjadi kontestan adalah 1.500.000 orang yang memperebutkan total kursi sebanyak 16.720. Mereka yang tidak beruntung dan mengalami kekecewaan besar adalah sebanyak 1.483.280 orang. Tingkat kekecewaan bergantung kepada berapa besar jumlah uang yang sudah mereka keluarkan, kesiapan mental dalam menghadapi kekalahan, dan kesanggupan mereka menerima hasil pemilihan legislatif karena prosedur pemilihan dianggap telah berjalan dengan benar. Kalau hasil-hasil pemilihan bakal dipersoalkan oleh demikian banyak orang, kita harus siap menghadapi post-election syndrome yang semakin memperberat nasib rakyat, akibat ulah orang-orang yang semula berkeinginan menjadi wakil rakyat, tetapi kemudian menjelma menjadi beban masyarakat dan negara[2]
Oleh karena itu, untuk memasuki ranah politik, diperlukan individu yang memiliki niat yang tulus, kapasitas yang memadai dan mental yang kuat dalam bahasa agama memiliki spiritualitasyang baik atau berakhlak. Islam memandang politik adalah bagian darinya. Namun pada kenyataannya, tidak mudah masuk dalam ranah yang satu ini.
Kekuasaan Politik dan an-Nafs al-Ammarah

Politik adalah seni mencapai kekuasaan. Kekuasaan itu dapat dicapai secara konstitusional maupun inkonstitusioanal. Tak ada aturan pasti tentang bagaimana mencapai kekuasaan itu, dalam berpolitik tidak ada kawan yang abadi ataupun lawan yang abadi, akan tetapi yang ada hanyalah kepentingan yang abadi. Begitu pada umumnya orang memahami politik.

Apabila konteks politik dikaitkan dengan sifat dasar manusia maka pada dasarnya setiap menusia memiliki keinginan untuk berkuasa dan memiliki kekuasaan.kekuasaan adalah wilayah dimana manusia mencapai titik kulminasinya, pada puncaknya kekuasaan menjadi sebuah bentuk pengakuan “eksisitensi” manusia atas manusia lainnya dengan kekuasaan manusia bisa berbuat kebajikan atau bahkan kejahatan. Seorang politisi asal Inggris menyebutkan, bahwa “the power tends to corrupt”. Apalagi, kalau kekuasaan itu absolut dan tidak bisa dikontrol dengan check dan balance, maka akan lebih merusak lagi. Karena itulah maka sesuai dengan prinsip Islam, kita harus melakukan tausiyah bi al-haq wa bi al-shabr (saling menasihati dalam kebenaran dan kesabaran[3]

Kekuasaan pada hakikatnya adalah milik Tuhan, tercermin dari salah satu sifatnya yakni “al-Malik”. Percikan sifat ini ada didalam diri manusia sebagai manifestasi Ilahi, ia tumbuh dan berkembang, sifat ini ada menjadi salah satu unsur kekuatan jiwa manusia (an-Nafs al-amarah) disamping kekuatan jiwa lainnya. Kekuatan ‘amarah pada diri insan ini memiliki fungsi agar manusia dapat mempertahankan diri dari serangan dan kesewenang- wenangan[4]. Sifat buruk amarah ini dapat membuat manusia menjadi buas dan liar bahkan menimbulkan kekerasan. Kesenangan sifat ammarah ini terletak pada perasaan menjadi pemenang dan merasa puas ketika menguasai musuh dan bisa melakukan balas dendam. Kesengsaraannya terletak saat perasaan dikuasai dan dikalahkan. Dominasi dorongan amarah manusia lebih dekat dengan sifat syaithoniyyah ketimbang mencerminkan sifat Tuhan. Oleh karena itu, untuk mengendalikan atau menjaga moderasi ammarah, agar tidak condong pada sifat yang buruk sebagai akibatnya dibutuhkan kecakapan jiwa (malakah) lain yang lebih kuat mengendalikannya yakni kekuatan “aqal. Kekuatan ini mampu memberikan pembeda bagi manusia antara baik dan buruk. Dia akan memoderasi kelebihan-kelebihan sifat dan menjaganya ditempat yang sesuai untuknya[5]

Perilaku manusia khususnya perilaku dalam mencapai kekuasaan (an-Nafs al-Ammarah) menjadi kajian menarik para pemikir politik Islam sejak dulu. Karena kekuasaan dalam Islam adalah sesuatu yang teramat penting[6]. Dan persoalan etika dalam dalam kajian politik ini menjadi amat penting pula. Beberapa alasan yang dikemukakan Faisal Baasir antara lain,

Pertama, politik itu dipandang sebagai bagian dari ibadah, karena itu harus dilakukan berdasarkan prinsip-prinsip ibadah. Misalnya, dalam berpolitik harus diniatkan dengan lillahi taala. Dalam berpolitik, kita tidak boleh melanggar perintah-perintah dalam beribadah, karena pelanggaraan terhadap prinsip-prinsip ibadah dapat merusak "kesucian" politik. Kedua, etika politik dipandang sangat perlu dalam Islam, karena politik itu berkenaan dengan prinsip Islam dalam pengelolaan masyarakat. Dalam berpolitik sering menyangkut hubungan antarmanusia, misalnya saling menghormati, saling menghargai hak orang lain, saling menerima dan tidak memaksakan pendapat sendiri. Itulah prinsip-prinsip hubungan antarmanusia yang harus berlaku di dalam dunia politik.

Kecuali itu, keberadaan masyarakat dan negara merupakan hal yang sangat penting dan mutlak dalam Islam. Karena itu, beberapa para ahli fikih politik Islam mengemukakan adalah suatu kewajiban bagi orang Islam untuk mendirikan negara. Dengan adanya negara bisa diciptakan sebuah keteraturan kehidupan masyarakat yang baik, sehingga pada gilirannya umat Islam bisa menyelenggarakan ibadah-ibadahnya dengan baik pula.
Apabila hubungan antar masyarakat dan dan penyelenggaran negara tidak sesuai dengan ajaran-ajaran Islam, maka yang akan muncul adalah kekacauan dan muncul anarki yang sangat dikecam oleh para ulama. Kekacauan dan anarki dalam suatu masyarakat dan negara dapat mengganggu penyelenggaraan ibadah.

Dalam konteks situasi politik kita sekarang-dalam batas-batas tertentu, hal-hal yang bersifat jahiliyah itu memang sering terjadi di dalam dunia politik kita. Kebodohan dalam berpolitik terjadi, misalnya, menduduki kantor-kantor partai politik, melakukan kekerasan, tokoh politiknya asal main pecat kalau ada anak buahnya beda pendapat, atau tidak bermusyawarah dengan baik-padahal Islam mengajarkan, "Hendaknya kamu bermusyawarah di antara kamu. " Hal-hal tersebut cerminan jahiliyah.

Moral Politik dan Kualifikasi Pemimpin

Seperti telah disinggung sebelumnya berbicara perilaku atau moral politik dalam kajian ilmu akhlak dan tasawuf [7]. mengindikasikan adanya perilaku politik yang berakar dari sense of Absolute, berupa “kesadaran” ketika manusia selalu merasakan kehadiran Tuhan dalam dirinya

Pada pendekatan psikoanlisa, perilaku manusia banyak didominasi oleh ketidaksadaran. Sedangkan, pada kajian akhlak dan tasawuf ketidak sadaran berkaitan dengan an-nafs al ammrah, apabila bersifat lebih otoritarian terhadap pikiran dan tingksah laku, maka perilaku politik tentu sifat ini akan mempengaruhi perilaku politiknya. Misalnya, Jika perilaku zuhud didasari atas nilai dan perilaku kesadaran serta mempunyai pengaruh baik ada perilaku politik seseorang, maka sikap yang didasari ketidaksadaran merupakan sikap yang diametral bertentangan dengan perilaku politk. Sikap kedua ini menyebabkan terjadinya disintegrasi sosial.

Beberapa kasus realitas sosial poitik masyarkat akan banyak ditemui perilaku elit politik yang kurang terpuji, semisal: korupsi, kekerasan, penyalahgunaan kekuasaan, dan lain lain. Penyalahgunaan kekuasaan tadi dalah manifestasi dari alam bawah sadar pelaku. Menurut Ibnu Khaldun orang yang demikia adalah orang yang tidak memiliki Ashobiyyah yang tidak dapat mengurus dirinya sendfiri. Ini berbahaya, bagi kelangsungan hidup bangsa. Namun apabila penyakit tadi belum kronis penyakit tadi bisa disembuhkan. Ilmu akhlak membimbing manusia bagaimana menyembuhkan perilaku buruk tadi melalui pembersihan dan pelatihan yang gradual agar terhindar dari sifat buruk (tazkiyyatunnnafs) .

Kaitannya dalam memilih siapakah yang akan menjalankan kekuasaan itu, penting dalam pemilu yang diselenggarakan pemerintah, untuk menentukan pemimpin-pemimpin yang akan tampil nanti, apa saja yang menjadi kualifikasi pemimpin menurut para pemikir politik Islam?
Adalah, Al Farabi yang memiliki keseriusan mengenai pewenang tertinggi dalam pemerintahan ini Al Farabi menyebutkan dengan Al Rois Al Awwal li al madinah al fadhilah wa rois al ma’murah min al ardh kulliha (pemimpin tertinggi negara utama dan pemimpin oikumene dunia).

Di antara sifat-sifat pemimpin yang disebutkan Al Farabi adalah: “…bijak, berbadan kuat, bercita-cita tinggi, baik daya pemahamannya, kuat daya hafalannya, sangat cerdas, fasih berbicara, cinta kepada ilmu, sanggup menaggung beban dan kesulitan karenanya, tidak rakus kepada kenikmatan jasmani, cinta kepada kejujuran, mulia jiwanya, adil dan teladan bagi semua orang—bahkan terhadap diri dan keluarganya—serta berani dan paling awal.”

Kemudian ia melanjutkan, “terhimpunnya semua syarat dan sifat ini dalam diri seseorang adalah sesuatu yang jarang terjadi. Apabila semua ini terpenuhi dalam diri seorang, dialah sang pemimpin. Kalau tidak, orang yang paling banyak memiliki sifat-sifat tersebutlah yang dapat menjadi pemimpin. Apabila tidak ada seorang pun yang memenuhi sifat-sifat tersebut secara maksimal namun ada dua orang, yang satu bijak dan dalam (hakim) dan lainnya memiliki sifat-sifat yang lain, maka kedua-duanya menjadi pemimpin secara bersama. Dan masing-masing orang saling melengkapi satu dengan yang lain. Apabila sifat-sifat ini ada pada lebih dari dua orang, dan mereka saling mengerti, maka semuanya adalah para pemimpin yang dihormati.

Sementara itu, Syaikh Al Rois Ibn Sina menyatakan dalam kitabnya, Al Syifa, “bab penentuan khalifah dan imam”, sebagai berikut:
“……kemudian wajib bagi seorang pemimpin untuk mewajibkan patuh kepada orang yang akan menggantikannya. Pemilu (istikhlaf) ini tidak boleh terjadi melainkan dari sisinya, atau berdasarkan ijma’ para ahli senior atas seseorang yang secara publik dan aklamasi diakui sebagai orang yang mandiri dalam politik, kuat secara intelektual bermoral mulia—seperti berani, terhormat, cakap mengelola, dan arif dalam hukum syariat—sehingga tiada orang yang lebih dikenal darinya.”

“Ditetapkan kepada mereka bahwa apabila terjadi perselisihan atau pertikaian lantaran dorongan hawa nafsu, atau mereka sepakat (menetapkan) orang yang tidak memiliki keutamaan-keutamaan ini, dan yang tidak layak, maka mereka akan kafir kepada Allah SWT.”

“Pemilu (istikhlaf) dengan cara nash adalah lebih besar, karena ia tidak menyebabkan perpecahan, perselisihan, dan pertikaian…” (Lihat Ibnu Sina, Al Syifa, halaman. 451)


Al Qadhi Abu Ya’la Al Gharra dalam kitab Al Ahkam Al-Sulthoniyyah (Hukum-hukum pemimpin), menyatakan:
“Orang yang layak menjadi pemimpin harus memenuhi empat syarat, yaitu: (1). Berasal dari keturunan Quraisy; (2) Memenuhi sejumlah syarat seperti layaknya seorang hakim (qadhi), merdeka, aqil, baligh, berilmu, dan adil; (3). Arif dalam urusan peperangan, politik, dan pelaksanaan hukum-hukum hudud sehingga rasa belas kasihnya tidak menghalanginya dari berbuat adil, serta memiliki sikap membela umatnya; dan (4). Yang paling utama dalam ilmu dan agama di antara.”

Al-Mawardi merinci dalam kitabnya Al-Ahkam Al Shulthoniyyah bahwa:
“Orang yang layak menyandang kepemimpinan, harus memenuhi tujuh syarat, yaitu: (1). Adil dalam keseluruhan persyaratannya; (2). Berilmu pengetahuan sehingga mampu berijtihad dalam kasus-kasus yang dihadapi dan ketetapan-ketatapan hukum; (3). Memiliki kesempurnaan indera seperti pendengaran, penglihatan, dan pembicraan, agar dengannya ia bisa melaksanakan tugasnya sendiri; (4). Tidak memiliki cacat tubuh yang bisa menghalangi dinamika kerja dan tindakan segera; (5). Memiliki kemampuan menggagas yang dapat melahirkan strategi kepemimpinan rakyat dan pengaturan kemaslahatan; (6). Berani dan tangguh sehingga mampu mempertahankan negara dan melawan musuh; (7). Nasab sang pemimpin hendaklah dari keturunan Quraisy dan mendapatkan kesepekatan (konsensus).” (Lihat Al-Ahkam Al-Shulthoniyyah, h. 6)

Masih tentang kualifikasi pemimpin, dalam Kitab Al-Mukaddimah, Ibnu Khaldun menulis:
“Syarat-syarat jabatan ini ada empat: ilmu, keadilan, kemampuan, dan keselamatan indera dan anggota tubuh dari hal-hal yang bisa memengaruhi cara berpendapat dan bertindak. Adapun syarat kelima, yakni keturunan Quraisy, masih diperselisihkan. Syarat berilmu pengetahuan juga jelas karena ia akan bisa menjalankan hukum-hukum Allah apabila ia mengetahuinya. Hal yang tidak diketahuinya tidak boleh diajukan sebagai (ketetapan) hukum dan perintahnya. Berilmu pengetahuan yang dimaksudkan tidak akan memadai kecuali jika ia seorang mujtahid, mengingat taklid adalah suatu kekurangan; sementara kepemimpan menurut kesempurnaan dalam karakteristik dan watak…” (lihat Ibn Khaldun, Al Mukaddimah, 135)

Abd. Malik Al-Juwaini (Imam Al Haramain) dalam kitabnya, Al-Irsyad; Al-Qalqasyandi dalam bukunya, Ma’atsir al inafah fii ma’alim al khilafah (Juz I: 31), pasal kedua, Bab syarat-syarat Imamah; dan Ibn Hazm Al Andalusi, di antara para ulama yang lain umumnya mengungkapkan kualifikasi yang sama, dengan beberapa variasi kecil.

Penutup

Dari uraian diatas terdapat signifikasi bahasan perilaku politik dalam kajian akhlaq dalam konteks hari ini, kepada siapa “kekuasaan” itu akan diamanahkan , itu baik kekuasaan legislatif, eksekutif ,maupun yudikatif. Apabila tidak, lebih baik kiranya bagi seseorang untuk meredam nafsu kekuasaan (nafs al Ammarah) itu dari pada dia akan menyalah gunakannya, alih-alih menjadi bumerang bagi bangsa ini. Walaupun boleh dikata domain politik yang penuh intrik ini memang halal bagi siapapun. Tapi untuk kemaslahatan sebaiknya kita berkaca ulang. Layakkahh?

Untuk itu, ada baiknya kita renungkan perkatan Imam Ali Karamallhu Wajhah, beliau mengatakan “sesungguhnya Tuhan memberikan sifat malaikat dengan akal tanpa nafsu seksual dan amarah, dan binatang dengan amarah tanpa nafsu dan akal. Dia memulyakan manusia dengan melimpahkan kepadanya seluruh unsur-unsur tersebut. Oleh karena itu jika akal manusia menguasai nafsu dan kebuasaannya, dia akan naik ketingkatan diatas malaikat; tingkatan ini icapai manusia melalui ujian dan cobaan yang berat, sedangkan malaikat tidak akan merasa iri terhadap kecakapan itu,”


Waallahu A’lam Bisshowwab....








Bahan bacaan :
· “Penghimpun kebahagiaan” jami’ as-sadat , Muhammad Mahdi bin Abi Dzar An-Naraqi, Lentera 2004. Jakarta
· Etika Politik Islam, Azyumardi Azra (Harian Republika)
· Etika Politik , Ignas Kleiden (tulisan lepas)
· Politik yang santun, Menelusuri pemikiran soegeng sarjadi. Ed Sukardi Rinakit. Penenrbit; SSS. Jakarta
· Catatan kuliah Filsafat Politik Islam, Wong Dzolim (KASYAF). ICAS Jakartat;
[1] Ditulis oleh: Lisyati Fatimah, untuk tugas makalah mata kuliah “Etka Islam” semester IV, ICAS Jakarta.
[2] Ignas kleden. Etika Politik
[3] “Etika Politik dalam Islam” Azyumardi Azra/Amsal Bakhtiar
[4] Jami’ as-Sadaat, ( Penghimpun kebahagiaan ) Muhammad Mahdi bin Abi Dzar An-Naraqi, bab I hal 20
[5] ibid hal 21
[6] Dalam Alquran masalah “kepemimpinan dan kekuasaan” amat berkeiatan dengan kedudukan manusia sebagai “khalifah “Tuhan . manusialah yang akan mengurus dunia dan seisinya. Ummat Islam Di ayat lain disebutkan sebagai “Khairu Ummah” sebaik-baik umat menjadi pemimpin manusia/umat lainnya “kuntum khaira ummmatin ukhrijat linnasi ta’muruna bilma’rif watanhauna anil munkar…”…penulis-red
[7] “tazkiyatunnafs” atau pembersihan diri dari sifat-sifat tercela menuju sifat yang terpuji –penulis-red

Senin, 04 Mei 2009

LIRIK ACADEMIA

GAUDEAMUS
(MARI BERSUKA RIA)

Gaudeamus igitur iuvenes dum sumus
(selagi masih muda, marilah kita bersuka ria)
Post iucundam iunventutem
(sesudah waktu muda yang menyenangkan)
Post Senectutem
(sesudah saat tua)
Nos habebit humus
(tanah akan memiliki kita)
Vivat acdemica, vivent professores
(hidup pengajaran, hidup para profesor)
Vivet membrum quod libet
(hidup anggota yang senang)
Vivant senotores
(hiduplah para sesepuh)

KAMUS ISTILAH LATIN 1

ad infinitum
sampai tak terbatas

ada perpetuam rei memoriam
untuk kenangan abadi

advocatus diaboli
pembela iblis

amor mundum fecit
cinta itu menciptakan dunia

amor omnibus idem
kepada semua orang kasih sayang itu sama

Anno Domino (A.D.)
pada tahun Tuhan

Ante Christum (A.C.)
sebelum Kristus (sebelum Masehi)

aperto vivero voto
hidup dengan niatan jelas

at spes non fracta
harapan belumlah putus

auctor opus laudat
penulis memuji karyanya sendiri

audere est facere
berani itu artinya berbuat

barba non facit philosophum
jenggot itu tidak membuat orang menjadi filsuf. (jenggot bukan tanda orang itu bijaksana)

bene agere et laetari
berbuat baik dan bergembiralah

bona conscietia paradisus
hati nurani yang baik adalah firdaus/surga

cari Deo nihilo carent
yang mencintai Tuhan tidak akan kekurangan apapun

cave canem
awas (ada) anjing

conditio sine qua non
syarat yang tanpa itu sesuatu tidak akan terjadi/ada

contra bonos mores
bertentangan dengan kebiasaan yang baik

contra rationem
bertentangan dengan nalar

contradictio in terminis
pertentangan di titik akhir/kesimpulan

credo nulli
jangan percaya pada siapapun

cum sociis/cum suis (Cs.)
dengan teman-temannya

disciplina vitae scipio
pengetahuan adalah tongkat kehidupan

ditat virtus
kebajikan itu membuat kaya

docendo discimus
dengan mengajar kita belajar

E Pluribus Unum
dari keraguan menjadi satu

eo majora cupimus, quo majora venerunt
makin banyak kita peroleh, makin banyak yang akan kita kehendaki

esse quam videri
lebih baik yang nyata dari pada yang hanya tampaknya saja

et alii (et al.)
dan yang lainnya

excitat auditor studium
perhatian (dari pendengar) itu menyemangati si pengajar

experientia docet sapientiam
pengalaman mengajarkan kebijaksanaan

fabricando fabri fimus
dengan bekerja kita menjadi terampil/ahli

fac et spera
lakukanlah dan berharaplah

facta non verba
karya nyata bukan (hanya) kata-kata (belaka)

factum est
sudah terjadi

fallite fallentes
tipulah para penipu

fama nihil est celerius
tidak ada yang lebih cepat daripada desas-desus

fama semper vivet
semoga nama baiknya terus hidup

famam extendere factis
mengembangkan nama baik dengan fakta

gaudet tentamine virtus
dalam cobaan, kebajikan itu membuat orang (tetap) gembira

gloria sine labora nulla
tanpa ada kerja, tidak ada kemuliaan

op cit (opere citato)
seperti yang telah disebutkan

ora et labora
berdoa dan bekerja

oratio pro domo
pembelaan diri

tempus edax rerum
waktu itu memakan segalanya

Selasa, 28 April 2009

Fariduddin 'Attar

Sastra Sufistik Fariduddin ‘Attar

Oleh Mahbib Khoiron

Sekilas Riwayat Hidup
Jejak hidupnya tak terlalu banyak terungkap. Yang berhasil terekam, bahwa `Attar (1130-1220 M) termasuk seorang sufi dan sastrawan Persia terkemuka. Di kota kelahirannya, Nisyapur, ia
masyhur sebagai seorang ahli farmasi dan saudagar minyak wangi yang kaya raya.
Sesungguhnya, ia bernama asli Abu Hamid bin Abu Bakr Ibrahim. Julukan ‘Attar yang melekat
pada dirinya diperoleh lantaran kepiawaiannya dalam bidang farmasi.
‘Attar muda menimba ilmu kedokteran, bahasa Arab dan teosofi di sebuah madrasah (perguruan tinggi) yang terletak di sekitar tempat suci Imam Reza di Mashhad. Menurut catatan yang tertera pada buku yang ditulisnya Mosibat Nameh (Buku Penderitaan), pada saat remaja dia bekerja di sebuah toko minyak wangi milik sang ayah. Setelah sang ayah wafat, toko minya wangi itupun berpindah tangan kepadanya.
Episode perubahan hidup ‘Attar dimulai sejak pertemuannya dengan seorang laki-laki tua.
Laki-laki renta yang fakir, tak punya apapun selain jubah yang menempel di kulitnya yang keriput. Pak tua yang tergopoh-gopoh itu sekuat tenaga menghampiri bangunan megah, yang tak lain adalah toko ‘Attar. Menduga si fakir akan mengemis, ‘Attar pun segera bangkit dari
tempat duduknya, menghardik dan mengusirnya agar pergi meninggalkan tokonya. Namun, si fakir berkukuh tak mau pergi dari tempat usaha ‘Attar. Lalu dengan tenang si fakir berkata pada ‘Attar, ''Tak sulit bagiku untuk meninggalkan tokomu ini, bahkan mengucapkan selamat tinggal kepada kemegahan dunia pun bagiku tak susah. Yang melekat di badanku hanyalah sehelai jubah yang lusuh ini. Aku justru merasa kasihan kepadamu, bagaimana kamu meninggalkan dunia ini dengan harta yang kamu miliki.'' `Attar tersentak, lalu menjawab spontan, “Bagiku juga tidak sukar meninggalkan duniaku yang penuh kemewahan ini!”
Belum usai `Attar menjawab, fakir tua renta itu roboh dan meninggal seketika. `Attar terperanjat. Sehari kemudian, setelah menguburkan fakir itu selayaknya, `Attar menyerahkan
penjagaan toko-tokonya yang banyak di Nisyapur kepada sanak-saudaranya. Layaknya orang
miskin tadi, dia sendiri mengembara ke seluruh negeri untuk menemui para guru tasawuf
terkemuka, tanpa membawa uang satu peser pun. Beberapa negeri yang disinggahinya antara
lain, Ray, Kufah, Makkah, Damaskus, Turkistan, hingga India . Di setiap syekh yang
ditemuinya, ‘Attar mempelajari tarekat dan menjalani kehidupan di khaniqah (tempat-tempat
berkumpul untuk latihan dan praktik spiritual). Sungguh perjumpaannya dengan si fakir telah
mengubah jalan hidupnya.
Beberapa tahun kemudian, dalam usia 35 tahun, dia kembali ke tanah kelahirannya sebagai guru
kerohanian yang masyhur. Dia melanjutkan lagi profesinya sebagai ahli farmasi dan saudagar
minyak wangi, di samping memberikan latihan-latihan kerohanian dan membuka sejumlah sekolah.
Kekayaannya semakin bertambah-tambah, seiring popularitasnya sebagai seorang sufi.
Di antara kepiawaian `Attar yang telah lama dikenal penduduk Nisyapur ialah kemahirannya
bercerita. Cerita yang ia lantunkan umumnya berkisar buah pengalamannya menjelajahi hakikat
hidup. Ia sering melayani pasien-pasien dan pelanggannya dengan bercerita sehingga memikat
perhatian mereka. Di emmanfaatkan waktu luang di sela-sela bekerja dengan menulis cerita. Di
antara karya `Attar yang terkenal ialah Mantiq al-Tayr (Musyawarah Burung), Thadkira
al-`Awlya (Anekdote Para Wali), Musibat-namah (Kitab Kemalangan) dan Ilahi-namah (Kitab
Ketuhanan). Semua karyanya itu ditulis dalam bentuk prosa-puisi yang indah, kaya dengan
hikmah dan kisah-kisah perumpamaan yang menarik.
Ada sumber yang mengatakan, jumlah buku puisi yang ditulis ‘Attar mencapai 114 atau sama
dengan jumlah surat dalam Alquran. Namun, studi yang lebih realistis memperkirakan puisi
yang ditulis ‘Attar mencapai sembilan sampai 12 volume. Secara umum, karya-karya ‘Attar
dapat dibagi ke dalam tiga kategori.
Pertama, puisi yang ditulisnya lebih bernuansa tasawuf atau sufistik yang menggambarkan
keseimbangan yang sempurna. Kategori pertama ini dikemas dengan seni cerita bertutur. Kedua, puisi-puisi yang memuat tujuan untuk menyangkal kegiatan panteisme. Ketiga, puisi-puisi yang berisi sanjungan terhadap Khalifah Ali bin Abi Thalib.
Salah satu karya yang utama dari ‘Attar berjudul Asrar Nameh (Kitab Rahasia). Karya lainnya
yang terkenal dari ‘Attar adalah Elahi Nameh tentang zuhud dan pertapaan. Kitab Asrar Nameh
itu konon dihadiahkan kepada Maulana Jalaludin Rumi ketika keluarganya tinggal di Nisyapur
dalam sebuah perjalanan menuju Konya .
Ada momentum pertemuan antara ‘Attar dan Jalal al-Din al-Rumi. Kala itu Rumi kecil
diramalkan akan menjadi seorang tokoh besar dan terkenal. Ramalan itu ternyata benar-benar
terbukti. ‘Attar meninggal dunia di usianya yang ke-70 tahun. Ia ditawan dan kemudian
dieksekusi oleh pasukan Tentara Mongol yang melakukan invasi ke wilayah Nisyapur pada 1221
M. Kisah kematian ‘Attar memang simpang siur, dan masih sering berbaur antara legenda dan
spekulasi.
Menurut sebuah cerita, ‘Attar dipenjara oleh tentara Mongol. Lalu seseorang datang dan
mencoba menebusnya dengan ribuan batang perak. Namun, ‘Attar menyarankan agar Mongol tak
melepaskannya. Tentara Mongol mengira penolakan itu dilakukan agar tebusan yang diberikan
lebih besar. Setelah itu datang lagi orang lain yang membawa sekarung jerami untuk menebus
‘Attar. Kali ini ‘Attar meminta agar Mongol melepaskannya. Tentara Mongol pun marah besar
dan lalu memotong kepala ‘Attar.
‘Attar dimakamkan di Shadyakh. Makamnya yang megah dibangun Ali-Shir Nava'i pada abad ke-16.
Sosok ‘Attar hingga kini masih tenar dan populer di Iran . Tak heran, bila makamnya banyak
dikunjungi para peziarah.

Mantiq al-Thayr: Tujuh Pendakian Menuju Hakikat
Mantiq Al-Tayr (Musyawarah Burung) merupakan karya yang paling fenomenal dari Fariduddin
‘Attar. Kitab itu berisi pengalaman spiritual yang pernah dilaluinya untuk mencari makan dan
hakikat hidup. ‘Attar menuangkan pengalamannya itu melalui sebuah cerita perjalanan
sekawanan burung agar lebih mudah dimengerti.
Dengan gaya bertutur tinggi, kitab itu mengisahkan perjalanan sekawanan burung untuk mencari raja burung yang disebut sebagai Simurgh yang berada di puncak Gunung Qaf yang agung, terletak sangat jauh dari tempat mereka berada. Sebelum menempuh perjalanan berkumpulah segala burung di dunia untuk bermusyawarah. Tujuan mereka hanya satu yakni mencari raja.
Dalam perjalanan itu, para burung yang dipimpin oleh burung Hud-hud harus melalui tujuh
lembah (wadi). Ribuan burung sedunia pun berangkat. Namun yang berhasil bertemu dengan sang Simurgh hanyalah 30 ekor saja. Tujuh lembah yang dikisahkan dalam cerita itu melambangkan tingkatan-tingkatan keruhanian yang telah dilalui ‘Attar selama berkelana mencari hakikat hidup.
Apa yang diceritakan di atas tak lain adalah simbol-simbol dunia mistik yang agung. Hudhud,
yang merupakan burung kesayangan Nabi Sulaiman a.s., menjadi lambang guru sufi yang telah
mencapai tingkat ma’rifat yang tinggi. Adapun burung-burung merupakan lambang jiwa atau roh manusia lapar akan Hakikat Ketuhanan. Simurgh sendiri melambangkan diri hakiki mereka dan sekaligus lambang hakikat ketuhanan.
Perjalanan yang melalui tujuh lembah ini merupakan lambang tahap-tahap perjalanan sufi
menuju cinta ilahi. Masing-masing tahapan (maqam) menghadirkan pengalaman situasi (ahwal)
jiwa/rohani. Uraian keadaan rohani yang disajikan `Attar menarik karena menggunakan
kisah-kisah perumpamaan.
Secara simbolik, Mantiq al-Tayr menggambarkan bahwa jalan kerohanian dalam ilmu Tasawuf
ditempuh melalui tujuh lembah (wadi), yaitu: lembah pencarian (talab), cinta (`isyq),
makrifat (ma`rifah), kepuasan hati dan kebebasan (istighna), keesaan (tawhid), ketakjuban
dan kebingungan (hayrat), kefakiran (faqr) dan hancur (fana`). Namun `Attar menganggap bahwa secara keseluruhan jalan tasawuf itu sebenarnya merupakan jalan cinta, dan keadaan-keadaan rohani yang jumlahnya tujuh itu tidak lain adalah keadaan-keadaan yang bertalian dengan cinta. Misalnya ketika seseorang memasuki lembah pencarian. Cintalah sebenarnya yang
mendorong seseorang melakukan pencarian. Adapun kepuasan hati, perasaan atau keyakinan akan keesaan Tuhan, serta ketakjuban dan persatuan mistik (wahdatul wujud) merupakan tahapan keadaan berikutnya yang dicapai dalam jalan cinta. Satu persatu lembah-lembah itu memiliki kriteria-kriteria khas tersendiri.

Lembah thalab
Inilah lembah pertama yang harus dilalui seorang pencari dalam menjalani kehidupan
spiritualnya. Aneka ragam godaan duniawi akan menghampiri dan itu harus bisa ditaklukkan.
Para pencari diharuskan berjuang dengan gigih untuk mendapatkan cahaya ilahi yang didambanya dengan menghilangkan hasrat-hasrat duniawinya. Hasrat duniawi ini jangan diartikan dengan meninggalkan dunia sepenuhnya.
Melepaskan kecintaan pada dunia akan membuahkan keselamatan dari bahaya kehancuran diri dan sebagai labanya dapat menyaksikan cahaya kudus Keagungan Ilahi. Hasrat-hasrat murni kita dengan demikian juga akan berlipat ganda. Ikhtiar yang gigih untuk tidak terperdaya dengan hal-hal materiil akan menciptakan ketundukan total pada Kekasih. Tidak ada masalah lain baginya kecuali mengejar tujuan murni hidupnya dan dia pun tidak takut kepada naga-naga
kehidupan, yaitu hawa nafsunya. Pada level ini, sang salik sudah keluar dari sekat-sekat
dikotomis. Ia tidak lagi mempermasalahkan keimanan dan kekufuran, sebab dia telah berada
dalam Cinta.
`Attar bertutur, “Apabila kau gemar memilih di antara segala sesuatu yang datang dari Tuhan,
maka kau bukan penempuh jalan yang baik. Apabila kau suka memandang dirimu sendiri
dimuliakan karena memiliki intan dan emas segudang, dan merasa dihinakan karena hanya
memiliki setumpuk batu, maka Tuhan tidak akan menyertaimu. Ingatlah, jangan kau sanjung
intan dan kau tolak batu, karena keduanya berasal dari Tuhan. Batu yang dilemparkan oleh
kekasih yang setia lebih baik daripada intan yang dijatuhkan oleh seorang wanita perusak
rumah tangga.”
Pada lembah penyarian memang dibutuhkan usaha intensif dalam proses pencerahan spiritual.
Perlu kesabaran lebih hingga akhirnya meraih hidayah (petunjuk jalan). Di samping, harus
sekuat tenaga menguasai diri dan keluar dari jeratan hidup jasmani, yang menipu dan
menyesatkan.

Lembah ‘Isyq
Setelah melalui lembah pertama, sang pencari harus menemukan cinta sejati dalam dirinya
untuk dapat menghalau tangan hitam akal yang menutupi ketajaman mata batin. Hanya dengan
mata batinlah para pencari kebenaran ini dapat melihat realita apa adanya. Mata hati tidak
dapat dibohongi. Dalam kecintaannya, seorang pencari haruslah memiliki kesudian untuk
mengorbankan apa-apa darinya demi yang diharapkannya yang dicintanya. Keikhlasan dalam
berkorban menjadi parameter kebesaran cintanya. Sang penempuh benar-benar berupaya
menyucikan diri dengan cinta, demi meraih ketersingkapan batin dari kungkungan bentuk formal yang menyelimuti. Dalam syair mistiknya, Rabi‘ah al-Adawiyyah bersenandung:
Allah menutup hati makhluk-Nya dengan hijab yang halus Para ulama’ terhalang karena keluasan ilmunya Para zahid terhijab karena ambisinya Dan para hukamâ’ tak mampu menembus karena kehalusan hikmahnya Orang-orang arif dan para pecinta sejati alpa dari segala dinding Hal itu karena mereka menempatkan kalbu sucinya dalam cahaya Ilahi
Dari situlah cinta sejati lahir. Yaitu ketika penglihatan batin memperoleh pencerahan dan
mampu menembus bentuk zahir segala sesuatu sehingga mencapai hakikatnya yang terdalam.
Karena dapat melihat dari arah hakikat, maka seorang pencinta dapat memiliki gambaran yang
berbeda dari orang lain tentang dunia. `Attar sendiri mengingatkan:
Ketahuilah wahai yang tak pernah diberi tahu!
Di antara pencinta, burung-burung itu telah bebas
Dari kungkungan sangkarnya sebelum ajal mereka tiba
Mereka memiliki perkiraan dan gambaran lain tentang dunia
Mereka memiliki lidah dan tutur yang berbeda pula
Di hadapan Simurgh mereka luluh dan bersimpuh
Mereka mendapat obat demi kesembuhan mereka dari penyakit
Sebab Simurgh mengetahui bahasa sekalian burung
Lembah Ma‘rifah
Dengan mata hati yang terbuka, seorang pencari dapat melihat jelas realita ciptaan-Nya.
Dengan begitu kearifan akan menyertai kehidupannya. Jalan makrifat dapat dilalui dengan cara
tata cara ibadah yang khusuk, dan latihan-latihan penempaan diri. Tentu setelah melalui
jalan cinta.
Kearifan merupakan hasil yang diperoleh seseorang setelah memperoleh penglihatan batin yang
terang, di mana ia mengenal dengan pasti hakikat tunggal segala sesuatu. Kearifanlah yang
akan melestarikan kesadaran ilahiyahnya dari kealpaan jiwa berikut kelemah-lemahannya yang
merintangi. Itu sebabnya mengapa kearifan tidak bisa disamakan dengan pengetahuan biasa.
Pengetahuan biasa bersifat sementara, kearifan ialah pengetahuan yang abadi, sebab isinya
ialah tentang Yang Abadi.
Nur (cahaya) akan bersinggah pada seorang yang mencapai makrifat, buah jerihpayah
ikhtiyarnya, plus mendapat peringkat spiritual dalam mengenal kebenaran Ilahi. Mata orang
arif terbuka kepada Yang Satu, bagaikan bunga tulip yang kelopaknya selalu terbuka kepada
cahaya matahari. Dengan nur ini seseorang mendapat anugrah yang amat dahsyat. Karena nur
adalah pengetahuan (‘ilm). Pengetahuan di sini bukanlah sebarang pengetahuan, karena ‘ilm di
sini langsung bersumber dari Sang Kekasih pujaan. Tentu saja hal itu akan diraih setelah
benar-benar suci dari berbagai bentuk maksiat, yang bisa menjelma menjadi hijab bagi
kesadaran rohani. Sebagaimana dituturkan Muhammad ibn Idris al-Syafî’î:
Dan guruku telah berwasiat kepadaku
Bahwa ilmu itu nur (cahaya)
Dan nur Allah tak akan dihadiahkan
bagi orang yang gemar durhaka

Lembah istighna’
Lembah ini merupakan tahapan yang harus dilalui para pencari yang sudah mampu menghilangkan nafsu untuk mendapatkan sesuatu dengan mudah atau dengan ikhtiar biasa. Dalam tingkatan ini kesibukan seorang pencari akan fokus pada hal-hal yang utama dan hakiki. Dia melihat segala seakan biasa, tanpa ada yang mengherankan.
Karena pandangan telah tercerahkan oleh kehadiran Yang Abadi, maka seseorang tidak pernah
melihat ada yang baru atau ada yang lama di dunia ini. Lautan tampak sebagai setitik air di
tengah wujud-Nya yang tak terhingga luasnya, dan dadanya selalu lapang sebab dia mengetahui
bahwa rahmat Tuhan tidak akan pernah menyusut atau berkembang. Seseorang merasa puas dengan rahmat yang dilimpahkan Tuhan. Oragn seperti ini akan meninggalkan hal-hal sia-sia. Di dunia ia hanya tinggal bekerja, berikhtiar dan berusaha sesuai potensi dan pengetahuannya tentang sesuatu, dan hasil terpasrahkan penuh pada Yang Maha Rahman.
Menurut `Attar, tujuan ini tercapai hanya manakala seseorang melakukan kewajiban yang
dipikulkan kepadanya tanpa beban. Segala kealpaan dan kelalaian terhadap agama harus diisi
dengan keimanan yang teguh atau (haqq al-yaqin).
Berkenaan dengan makrifat para sufi biasanya juga menggunakan istilah lain untuk
menggambarkan keadaan ini, yakni musyahadah, artinya penyaksian bahwa Tuhan itu satu.
Musyahadah menjamin stabilitas jiwa dan pikiran seseorang, sebab benar-benar telah terpaut
pada tali Yang Satu. Istilah lain yang digunakan para sufi untuk keadaan ini ialah haqq
al-yaqin, yakni yakin secara mendalam bahwa kebenaran hakiki ialah Dia. Keyakinan seperti
itu sudah barang tentu mendatangkan kepuasan rohani dan kebebasan daripada yang selain Dia.
Jadi batas antara lembah makrifat dan lembah isytighna tidak begitu jelas.

Lembah tauhîd
Lembah keesaan murni ialah sebuah lambang wujud, di mana dalam jagat raya ini hanya ada satu wujud, yaitu wujud Tuhan. Segala wujud yang di alam yang tampak bervariasi ternyata
bersumber dari hakikat yang sama. Cinta Yang Satu, rahman dan rahim, telah mengejawentah
menjadi semesta kehidupan yang tampaknya terpecah-pecah, tersekat-sekat, saling berlainan,
namun pada hakikatnya satu.

Lembah Hayrat
Di lembah ini sang pencari akan mengalami ketakjuban luar biasa karena semua menjadi serba
terbalik. Siang jadi malam, malam jadi siang, semuanya serba berubah. `Attar memberi contoh
“Kisah Seorang Putri Raja Yang Mencintai Hambanya”. Hamba di sini melambangkan seorang salik yang tak memikirkan apa-apa lagi, yang penting mengabdi. Sang hamba benar-benar tenggelam dan hanyut dalam pengabdiannya hingga dia memancarkan keindahan luar biasa. Putri raja diam-diam jatuh cinta kepadanya, dan dengan dibius oleh dayang-dayangnya maka hamba itu pun dibawa ke peraduan sang putri, diberi minuman dan makanan lezat, dihidangi tari-tarian dan musik yang indah, sebelum keduanya beradu. Hamba tersebut mengalami semua itu antara sadar dan tak sadar, penuh kebingungan.

Lembah faqr
Inilah lembah terakhir dari sebuah pencarian. Ketika sampai pada level ini, sang pencari
akan menemukan dirinya secara utuh. Yang ditemukannya hanyalah dirinya dan hakikat dirinya.
Setelah tahap inipun sang pencari akan menemukan Simurgh yang tak lain adalah hakikat
dirinya sendiri. Jiwa orang yang melewati ini telah penuh terisi oleh-Nya. Dengan demikian,
sebesar apapun pengorbanan akan dilakukan demi Kekasihnya.

Lembah fanâ’
Inilah lembah terakhir dari sebuah pencarian. Ketika sampai pada level ini, sang pencari
akan menemukan dirinya secara utuh. Yang ditemukannya hanyalah dirinya dan hakikat dirinya.
Setelah tahap inipun sang pencari akan menemukan Simurgh yang tak lain adalah hakikat
dirinya sendiri.
Manunggaling kawula Gusti atau Unio-mystica, wahdatul wujud mempunyai pengertian yang mirip bahkan sama dengan Fana’ , yakni persatuan mistik. Keadaan ini disusul dengan baqa’, yaitu satu kondisi dimana eksistensi salik telah tenggelam dalam diri Tuhan. Pada maqam ini, dia
akan mengenal dirinya yang hakiki, dirinya yang universal, dan dengan demikian mengenal
sungguh-sungguh asal kerohaniannya.
‘Attar bersyair indah:
Melalui kesukaran dan kehinaan jiwanya burung-burung itu pun susutLantas hapus (fana’), sedangkan tubuh mereka menjelma debu
Setelah dimurnikan maka mereka pun menerima hidup baru
Dari limpahan Cahaya Tuhan di hadirat-Nya
Sekali lagi mereka menjadi hamba-hamba-Nya dengan jiwa segar
Sekali lagi di jalan lain mereka binasa dalam ketakjuban
Perbuatan dan diam mereka di masa lalu telah dienyahkan
Dan disingkirkan dari lubuk hati serta dada mereka
Matahari Kehampiran bersinar terang dari diri mereka
Jiwa mereka diterangi semua oleh cahanya
Dalam pantulan wajah tiga puluh (si-murgh)
Mereka lantas menyaksikan wajah Simurgh yang sebenarnyaApabila mereka memandang, yang tampak hanya Simurgh:
Tak diragukan Simurgh ialah tiga puluh ekor burung
Semua bingung penuh keheranan, tak tahu apa mereka ini atau itu.
Mereka memandang diri mereka tak lain adalah Simurgh.
Pada bagian lain `Attar menyatakan:
Bebaskan dirimu dari segala yang kaumilikiCampakkan semua dari sisimu satu demi satu
Lantas asingkan dirimu secara rohani dari dunia
Apabila batinmu telah menyatu dengan kefakiran
Kau akan bebas dari kebaikan dan keburukan
Dan jika kebaikan dan keburukan telah kaulalui
Kau akan menjadi seorang pencinta

Referensi:
Bayat, Mojdeh, dkk., Para Sufi Agung: Kisah Dan Legenda, Yogyakarta: Pustaka Sufi, 2003.
Muryanto, Sri, Ajaran Manunggaling Kawula-Gusti, Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2007.
Hadi WM, Abdul, Sastra Islam I: Karya-Karya Klasik Terpilih Dari Sastra Arab Dan Persia,
Jakarta: Paramadina, 2006.
_______, Sastra Sufi: Sebuah Antologi, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1985.

Pemikiran Maududi

Abû al-A'lâ al-Maudûdî dan “Negara Islam”-nya*

Oleh Mahbib Khoiron

Latar Historis
Di Aurangabad, India Selatan, pada 3 Rajab 1321 H (25 September 1903 M) lahir seorang pemikir muslim bereputasi internasional bernama Abû al-A‘lâ al-Maudûdî. Kehidupannya dalam kultur keluarga syarif (keluarga tokoh muslim India Utara) dari Delhi, yang bermukim Diccan telah membentuk pribadinya sebagai seorang muslim yang taat dan menguasai doktrin normatif Islam secara luas. Sayyid Ahmad Hasan, ayahnya, merupakan penganut setia sebuah ordo sufi. Secara akademis, sejak belia ia memang kaya dengan penempaan agama dari sang ayah. Tak heran, pada usia empat belas tahun beliau sudah berhasil menerjemahkan karya Qasim Amin ke dalam bahasa Arab bertajuk al-Mir’ât al-Jadîdah (Wanita Modern).
Setelah kenyang dengan pendidikan agama, dalam usia sebelas tahun konsentrasinya dialihkan pada literatur-literatur modern, khususnya sains. Bahkan, ia mulai merambah ke disiplin politik, hingga membawanya pada watak nasionalis India. Contoh kongretnya adalah ketika dalam sebuah esai ia memuji pemimpin Partai Kongres, terutama Mahatma Ghandi dan Madan Muhan Malaviya, dua tokoh kunci India yang tengah berjuang keras melawan kolonialisme.
Karir politiknya mulai meningkat setelah ia memutuskan untuk bergabung sebagai seorang jurnalis dalam majalah Taj pada tahun 1919, sebuah media yang sangat vokal menyuarakan aspirasi Partai Kongres. Secara bersamaan, ia juga aktif dalam gerakan khilafah serta andil memobilisasi umat Islam supaya pro terhadap Partai Kongres. Di sini terlihat betapa al-Maudûdî menampilkan nasionalisme yang cukup tinggi, sebab aksi yang dilakukannya merupakan perjuangan atas kemerdekaan masyarakat India dari kolonialisasi Inggris kala itu.
Dalam karir politiknya, al-Maudûdî juga banyak bersinggungan dengan tokoh-tokoh muslim di sana, semisal Muhammad ‘Âli, pemimpin penting Khilafah. Pada 1921, al-Maudûdî berkenalan dengan pemimpin Jâmi‘at Ulamâ’ Hindî (Komunitas Ulama India), Maulana Mufti Kifayatullah dan Ahmad Sa‘îd.
Di fase terakhir masa hidupnya, yakni sejak 1925 hingga wafat, al-Maudûdî kian berwajah puritan. Nasionalismenya kian pudar, dan bergeser pada puritanisasi Negara menjadi dâr al-Islâm. Setidaknya hal ini disebabkan oleh beberapa faktor. Di antaranya, pertama, keruntuhhan kekhilafahan Turki ternyata tak hanya membuat resah pemikir muslim pada umumnya, tetapi juga menggugah hati al-Maudûdî untuk menggerakkan juangnya. Apalagi, fakta bahwa umat Islam terpuruk dan terhegomoni bahkan terjajah oleh Barat semakin tampak nyata.
Kedua, konflik internal masyarakat India, yang dilatari oleh sentimen antara Hindu-Muslim. Al-Maudûdî memandang, Partai Kongres yang didominasi Hindu, semakin tidak akomodatif terhadap kepentingan Islam yang terbilang minoritas. Partai Kongres sekedar berkedok dibalik nasionalisme India untuk melancarkan ambisi politik Hindu. Bahkan, ia berani secara terang-terangan mengungkapkan ketidaksenangan terhadap kaum nasionalis, termasuk Komunitas Ulama India yang loyal kepada Partai Kongres dan mengkhiyanati orang muslim, dan Liga Muslim yang dinilai sebagai kelompok sekular.
Hawa permusuhan kaum Hindu dan Islam dipertajam dengan insiden pembunuhan Swami Shardanand oleh seorang muslim. Dalam kegalauan politik dan jatuhnya reputasi Islam ini al-Maudûdî lantas menelurkan sebuah karya, al-jihâd fî al-Islâm, demi menjawab segenap anggapan miring yang ditudingkan pada Islam.
Dan terakhir, adalah keterkekangan di bawah cengkeraman imperialisme Inggris, yang semakin mendesak umat Islam bangkit dari keterpurukan melawan penindasan orang kafir. Dari serangkaian penyebab di atas, terlihat bahwa telah terjadi pergeseran paradigma politik yang diperjuangkan al-Maudûdî. Semangatnya yang menggebu membela masyarakat India dari ketertindasan kolonialis, tergantikan oleh komunalisme radikal yang memposisikan kaum muslimin India pada level tertinggi, baik dalam hak politik maupun status sosial. Tak pelak, cita-citanya mendirikan dâr al-islâm pun mau tidak mau harus dirumuskan menurut ideologi yang ia yakini. Di sinilah lahir konsep “Negara Islam” Abû al-A‘lâ al-Maudûdî.

Pemikiran Politik al-Maudûdî

Corak pikir al-Maudûdî sesungguhnya bisa diidentifikasi sebagai corak ala gerakan neo-revivalis. Neo-revivalis muncul ke permukaan dimoivasi oleh upaya meng-counter madzhab modernis klasik yang telalu memuja peradaban Barat, sehingga “melenceng” dari pekem tradisinya sendiri. Al-Maudûdî pun demikian. Keyakinannya akan kesucian dan keunggulan Islam yang begitu tinggi, membulatkan tekatnya untuk mengadakan teorisasi politik berbasikan Islam. Islam telah memiliki landasan, aturan dan karakternya sendiri, sehingga akomodasi berlebihan terhadap tradisi luar menjadi hal naif.
Menurutnya, ideologi politik ala Barat harus segera diganti dengan ideologi Islam. Bukan saja karena fakta kegagalan sosialisme dan kapitalisme Barat, namun juga karena ideologi tersebut tidak memadai bagi kepentingan muslim. Tak hanya kritis terhadap peradaban Barat, al-Maudûdî juga sangat kritis terhadap perilaku umat Islam sendiri. Misalnya ia mengkritik ritualisme tasawwuf yang “tidak islami”, yang sarat pengaruh budaya lokal dan tradisi non-Islam. Bukan berarti sufisme harus diberangus, namun perlu adanya penataan ulang bagi praktik-praktik yang dinilai menyimpang.
Inti paling pokok dari konsep negara al-Maudûdî adalah menempatkan teks suci (al-Qur’an dan al-Hadits) pada posisi amat sentral dalam menentukan regulasi negara, dan menjadi acuan utama bagi menyimpang-tidaknya sebuah tindakan warga negara secara keseluruhan. Hukum teks suci sama dengan hukum Tuhan. Dan inilah satu-satunya hukum yang paling representatif bagi manusia selaku ‘abdi-Nya. Maka, kedaulatan pun bukan kedaulatan rakyat, sebagaimana demokrasi, melainkan kedaulatan Tuhan. Ijtihad menjadi urgen digerakkan manakala terdapat kekosongan petunjuk dari al-Kitâb, al-Sunnah, dan konvensi al-Khulafâ’ al-Râsyidîn, serta fatwa ulama-ulama terdahulu.
Orientasi utama penyelenggaraan pemerintahan Islam adalah penegakan syarî’ah. Baginya, syarî‘ah harus dijalankan secara total (kâffah), meliputi seluruh lekuk aktifitas masyarakat. Namun demikian, bukan berarti Islam akan menerapkan hukum Islam secara membabibuta tanpa mempertimbangkan kondisi masyarakat. Hukum kaku umat Islam, seperti hudûd, tak bisa dijalankan begitu saja tanpa kesiapan masyarakat muslim memenuhi tuntutan (taklîf) tersebut. Karenanya, perjuangan Islam harus dilancarkan secara gradual, meliputi pengembangan pendidikan atau perjuangan secara non-revolusioner—tanpa menumbangkan habis struktur yang telah ada. Proses islamisasi masyarakat sangat perlu dilakukan.
Meskipun amat kritis terhadap budaya Barat, namun al-Maudûdî , dalam beberapa permasalahan cukup apresiatif terhadap peradaban Barat. Dalam menetapkan kepemimpinan negara, misalnya, al-Maudûdî tergolong demokratis, lantaran siapapun berhak menduduki jabatan pemerintahan. Namun demokratsasi yang beliau tampilkan terasa agak janggal manakala kita cermati prasyarat calon pemimpin yang ditetapkan. Di antara kriteria kepemimpinan adalah bahwa seorang kepala negara harus berstatus muslim dan laki-laki. Ini nyata menegaskan adanya deskriminasi hak politik dalam konsep negara Islam yang telah dirumuskan al-Maudûdî.
Bentuk negara yang direkomendasikan al-Maudûdî adalah republik, yang menganut “kedaulatan Tuhan” (teo-demokrasi). “Teo” di sini melukiskan bahwa negara tidak berbasis kepentingan rakyat murni, tapi juga “kepentingan” Tuhan.
Struktur pemerintahan yang diidealkan al-Maudûdî adalah pola yang pernah dilakukan sahabat al-Khulafâ’ al-Râsyidîn, sembari sedikit beradaptasi pada konteks masyarakat. Segenap argumentasi teori negara Islam harus bermuara pada al-Qur’an dan al-Sunnah, teladan khilâfah râsyidah, dan fatwa para ulama otoritatif klasik maupun modern. Ia memformulasikan bahwa struktur politik ialah pertama, Âmir (kepala negara), sebagai pemegang kekuasaan tertinggi baik dalam soal pemerintahan maupun agama. Kedua, lembaga eksekutif, yakni pelaksana pedoman-pedoman ilâhiyyah yang disampaikan oleh teks suci, serta memastikan pedoman-pedoman tersebut terlaksana dalam kehidupan masyarakat. Ketiga, ahl al-hâl wa al-‘aqd. Berbeda dengan trias politika, lembaga ini lebih merupa dewan konsultan atau majlis syûrâ. Badan ini juga merupakan tempat Amir meminta pendapat atau bermusyawarah, di samping sebagai lembaga otoritatif penafsiran teks keagamaan yang membuahkan sejumlah undang-undang negara. Keempat, badan qâdlî, yang keanggotaannya ditentukan oleh âmir. Lembaga ini diciptakan untuk berdiri independen, tanpa intervensi kepentingan politik tertentu dalam memutuskan sebuah penyelesaian hukum.
Dalam konsep kewarganegaraan, al-Maudûdî mencoba memilah antara warga muslim dan ahl al-dzimmah (masyarakat non-muslim yang tunduk atas aturan main negara Islam). Seluruh hak dan kewajiban adalah sama sebagai warga negara, kecuali pada persoalan menduduki jabatan strategis pemerintahan. Pembatasan hak mereka dalam hukum Islam merupakan soal keamanan nasional dan soal menjaga diri. Tidak terbatasnya hak kaum minoritas dapat merongrong negara Islam. Dalam hal politik, posisi wanita amat mirip dengan ahl-al-dzimmah. Ia berpendapat, hukum Islam sudah jelas soal ini, sehingga negara Islam tak perlu susah memikirkannya. Tugas negara hanya menerapkan syarî‘ah, dan tiap syarî‘ah, bagi al-Maudûdî, akan senantiasa membawa implikasi mashlahah. Model sikap yang sama juga terjadi pada persoalan-persoalan ekonomi negara. Ia tidak menguraikan secara detail ekonomi Islam, ia sekedar menyinggung aturan normatif ekonomi Islam yang sekedar meliputi pembahasan waris, riba, dan hak pekerja.

Idealisme “Utopis” dan Paradoks Pemikiran

Pada titik ini tergambar betapa niat suci dan spirit keislaman al-Maudûdî demikian besar. Idealisme untuk membumikan seluruh aturan normatif Islam ke dalam tiap aspek kehidupan masyarakat menjadi sesuatu yang patut dibanggakan. Namun, satu hal yang perlu menjadi catatan, al-Maudûdî lupa bahwa apa ia sebut sebagai negara Islam telah mengacu pada "produk-produk kebenaran" yang tentu merupakan salah satu interpretasi keagamaan dari sekian ribu penaafsiran yang ada. Jelas di sini, ia hendak menerapkan syari'at sebagaimana ia pahami. Akibatnya, meskipun umat Islam India cukup banyak, namun mereka harus terpecah ke dalam sektarianisme lantaran perbedaan pandangan atas doktrin keagamaan. Konflik internal dalam Islam sendiri juga menjadi batu sandungan yang cukup berarti bagi al-Maudûdî.
Paradoks pemikiran al-Maudûdî amat terlihat pada doktrinnya tentang pembatasan hak politik kaum perempuan. Karena terjebak oleh pragmatisme politik saat itu, ia berani melanggar doktrin yang telah ia bangun dengan mengusung Fatimah Jinnah memperebutkan kursi presiden lewat Jama'at Islaminya. Barangkali ini wajar, mengingat rivalnya adalah Ayub Khan, tokoh politik tekemuka berpikiran sekular yang pernah menjebloskan al-Maudûdî kedalam penjara akibat kelantangannya menyuarakan konstitusi islami.
Ajaran al-Maudûdî mengenai hak politik, ekonomi, hukum dan yang lainnya, tergolong konservatif. Dia percaya bahwa kesejahteraan akan muncul seiring dengan penegakan syari'ah Islam secara penuh dan merata. Karena itu, al-Maudûdî tidak memperhatikan kerja atau basis ilmiah dari sebuah negara Islam. Yang diperhatikan adalah potensinya. Keefektifannya terletak bukan pada sifat teknis atau operasionalnya, tetapi pada muatan etika dan janji negara Islam. Tentu, ini berangkat dari satu postulat bahwa syari'ah adalah kebenaran mutlak Tuhan. Tak pernah terbayang di benak al-Maudûdî akan terjadi labilitas politik ketika totalitas norma Islam terealisasikan. Kesuksesan penerapan syari'ah akan senantiasa berbanding lurus dengan kemakmuran warga dâr al-islâm.
Wa 'llâh a'lam bi al-shawâb…
Bahan Acuan:

Al-Maudûdî, Abû al-A‘lâ, Khilafah dan Kerajaan; Evaluasi Kritis Atas Sejarah pemerintahan Islam, Penj. Muhammad al-Bagir, Bandung: Mizan, 1996.
____________, The Islamic Law and Constitution, Penj. Asep Hikmat, Hukum dan Konstitusi; Sistem Politik Islam, Bandung: Mizan, 1990.
Ali Rahmena (ed.), Para Perintis Zaman Baru Islam, Bandung: Mizan, 1995.
Al-Jabiri, Muhammad Abid, Agama, Negara, dan Penerapan Syari'at, Penj. Mujiburrahman, Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 2001.

Rabu, 22 April 2009

ESAI PEMIKIRAN CAK NUR

Islam dan Teori-Teori Modernisasi dalam Pemikiran Nurcholish Madjid

Persoalan dasar yang terus menerus dan wajar dirasakan oleh umat Islam, minimal oleh kalangan intelektualnya, adalah kurang pasnya hubungan antara Islam sebagai ajaran, dengan kehidupan sehari-hari umat. Islam sebagai doktrin, dari al-Qur’an dan Sunnah, dirasakan tak bisa langsung menjelaskan realitas umat. Oleh karenanya, diperlukan sistem penjelasan dan pemahaman yang tingkat abstraksinya lebih rendah, lebih elaboratif dan menyentuh persoalan-persoalan kongkrit yang terus mengalami perubahan. Tuntutan ini sebagian dapat dipenuhi dengan mengadopsi teori-teori sosial (sosiologi) yang sudah ada, yang kebanyakan merupakan produk sejarah masyarakat barat.Tetapi mengingat beragamnya teori sosial yang ada, masalahnya kemudian adalah teori sosial manakah yang harus dipilih? Keragaman ini bukan sekadar variasi, tapi merupakan pluralitas yang berbeda akar ontologis dan epistemologisnya. Karena itu pertanyaannya adalah apa dasar pertimbangan (ideologis, politis, ekonomis dan lain-lainnya) si intelektual muslim dalam menjatuhkan pilihan terhadap satu atau beberapa teori sosial tertentu? Pertanyaan ini didasarkan pada pertimbangan bahwa pengetahuan tak mungkin dipisahkan dari kepentingan. Makalah ini akan mencoba melihat pilihan dari Cak Nur mengenai teori-teori modernisasi yang dipilihnya untuk memberikan semacam solusi bagi umat Islam di Indonesia.
PembahasanCak Nur memang bukan ilmuwan sosial formal, kendati cukup banyak memberikan dasar pemikiran bagi penyetubuhan doktrin Islam dengan teori sosial. Disamping langsung menggunakan teori-teori sosial modernisasi untuk menjelaskan hubungan ajaran Islam dan umat, elaborasi keislaman Cak Nur memberikan ruang yang pas bagi masuknya teori-teori sosial yang berkutub paradigma modernisasi. Ini dilakukannya secara konsisten sejak awal 1970an.Dalam rangka menjelaskan hubungan doktrin dan umat Islam, Cak Nur banyak menggunakan sejarah peradaban Islam dan teori-teori sosial modernisasi, terutama yang dikembangkan oleh Weber dan Parsons. Pilihan ini bukannya tanpa pertimbangan epistemologis.Ilmu pengetahuan, baik yang alamiah maupun yang sosial, adalah netral. Artinya tidak mengandung nilai kebaikan atau kejahatan pada dirinya sendiri. Nilainya diberikan oleh manusia yang memilikinya atau menguasainya. Karena kenetralannya, Ilmu pengetahuan dapat ditukar - menukarkan atau diberi – dan dimintakan antara sesama manusia, tanpa memandang tata nilai masing-masing yang bersangkutan. Karena itu Islam dapat berperan untuk memberikan orientasi nilai kepada ilmu atau teori, sehingga ilmu mengabdi pada nilai-nilai kemanusiaan.Dari sudut pandang Islam, hanya segi metode dan empirisme ilmu pengetahuan modernlah yang nampak absah (valid). Sedangkan dalam hal moral dan etika, ilmu pengetahuan modern sangat miskin. Dengan memisahkan nilai etik dari ilmu atau teori, Cak Nur memberikan semacam definisi terhadap ilmu pengetahuan:Ilmu pengetahuan tidak lain dari pemahaman manusia terhadap hukum-hukum obyektif yang menguasai alam, ideal dan material sehingga alam ini berjalan menurut hukum alam yang berlaku. Pandangan semacam ini merupakan perspektif empirisme atau positivisme. Bahkan menurutnya, positivisme dan empirisme punya pijakan yang kokoh dalam tradisi intelektual Islam, seperti dalam pemikiran epistemologi Ibn Taimiyyah dan Ibn Khaldun misalnya, yang dipandangnya sebagai peletak dasar empirisme dan positivisme modern mendahului John Stuart Mills ataupun David Hume. Dalam epistemologi Barat, mulanya empirisme dan positivisme merupakan landasan ilmu-ilmu alam (fisika, biologi dan lain-lain). Dari itu kemudian lahir gagasan tentang ‘hukum alam’ yang bersifat obyektif dan eksternal, juga konsep organisme dan evolusionisme. Karena kuatnya pengaruh ilmu-ilmu alam ini, maka ilmu-ilmu sosial disusun atas dasar pengandaian positivis tersebut. Ini terlihat misalnya pada pemikiran Auguste Comte, Emile Durkheim dan Tallcot Parsons. Dengan Asumsi positivis, Durkheim merumuskan fakta sosial (social fact) sebagai subject matter sosiologi. Fakta sosial merupakan benda (thing) yang berada diluar individu (eksternal), memaksa individu untuk menyesuaikan diri dengannya (coercive) dan keberadaannya tidak ditentukan oleh kehendak individu sebagai subyek, karena itu fakta sosial bersifat otonom. Menurut Durkheim, fakta sosial merupakan kenyataan sui generis, termasuk kedalamnya adalah norma, hukum, peran, status, bahkan kepercayaan masyarakat. Sifat-sifat dasar fakta sosial seperti itu memungkinkan Durkheim mengklaim bahwa teori sosial bebas nilai. Dibawah pengaruh teori evolusi dan doktrin organisme, fakta sosial tersebut dilihat sebagai sistem organis, dimana masing-masing bagiannya terdiefensiasi dan saling terkait secara fungsional, sehingga membentuk suatu sistem sosial yang harmonis dan seimbang.Sementara itu, teori sosial Weber, yang juga merupakan asal dari teori modernisasi, bertumpu pada asumsi epistemologi idealistis, dimana penafsiran individu terhadap diri dan lingkungannya merupakan faktor yang menentukan atau menggerakan kehidupan masyarakat. Penafsiran tersebut tentulah sangat tergantung pada sistem nilai masyarakat bersangkutan. Karena itulah subject matter teori sosial merupakan nilai-nilai masyarakat. Tapi tidak berarti teori sosial tersebut menjadi subyektif. Manakala nilai (subyektif) sudah menjadi obyek studi, maka nilai merupakan sesuatu yang obyektif dan bebas nilai. Jadi serupa seperti kaum positivis, Weber yang idealis pun mengklaim bahwa teori sosial bersifat bebas nilai.Tradisi positivisme dan idealisme menyatu dalam sosiologi Parsons, walaupun ia tidak bisa membuatnya menjadi satu pemikiran yang utuh. Hal ini terlihat pada teori tindakannya (tahap awal kariernya) yang lebih banyak mencerminkan semangat positivisme. Tapi keduanya tetap memberikan tempat penting bagi agama sebagai sistem sosial.Semua itu memungkinkan Cak Nur mengambil teori-teori sosial Weberian dan Parsonian, terutama lewat sosiologi agama Robert N. Bellah dan antropologi budaya yang dikembangkan oleh Clifford Geertz (untuk ‘kasus’ Islam Indonesia). Yang Cak Nur lakukan dengan teori-teori modernisasi bukanlah penelitian sosial, sebagaimana lazimnya ilmuwan sosial, tetapi untuk mengelaborasi ajaran-ajaran Islam (al-Qur’an dan Sunnah) dan reaktualisasi tradisi Islam itu sendiri. Berarti, Cak Nur bekerja pada tingkat meta penelitian sosial, yakni memberikan rekomendasi bagi hasil penelitian sosial yang berparadigma modernisasi dalam mempertanyakan dan menjawab persoalan Islam secara umum.Tujuan rekomendasinya, adalah agar umat menerima kemodernan dalam arti yang luas. Karena makna modernisasi berarti merombak tata kerja yang tidak aqliyyah dan menggantinya dengan yang aqliyyah, padahal Tuhan memerintahkan manusia untuk menggunakan akalnya. Cak Nur menyimpulkan bahwa modernisasi merupakan “keharusan malah kewajiban yang mutlak”. Modernisasi merupakan pelaksanaan “perintah ajaran Tuhan yang Maha Esa”. Lebih lanjut Cak Nur juga menulis, “…yang modern secara mutlak, yang benar secara mutlak, yaitu Tuhan Yang Maha Esa”. Hal ini berarti makna moderniasasi telah bermuatan teologis, bukan sekadar kenyataan historis.Modernisasi dan Rasionalisasi semacam ini terkait erat dengan gagasan sekularisasi atau desakralisasi. Rasionalisasi yang berkonotasi berpikir ilmiah, dimungkinkan apabila dunia (material dan sosial) sebagai obyek pemikiran ilmiah dibebaskan dari mitos-mitos yang mensakralkannya, sehingga dengan demikian, ia dapat ditundukkan pada dan direkayasa, bagi kepentingan manusia. Desakralisasi, Demitologisasi, atau disebut juga Sekularisasi, mengimplikasikan ‘devaluasi radikal’ terhadap obyek-obyek mitologi. Diturunkannya nilai-nilai sakral menjadi obyek yang hanya mengandung kegunaan praktis sehari-hari saja. Pada tataran sosiologis, desakralisasi atau sekularisasi berarti pembebasan tatanan sosio-kultur dari ikatan-ikatan keagamaan. Agama ditempatkan pada tingkat yang lebih abstrak, sebagai nilai-nilai etis. Tapi ini tidak berarti agama kehilangan signifikansinya dalam kehidupan duniawi. Sebagai sistem nilai, agama berfungsi memberikan orientasi dan makna hidup serta sumber legitimasi bagi tertib sosial. Masyarakat, termasuk masyarakat modern, tak akan bertahan tanpa legitimasi, dan agama sebagai sistem nilai berkemampuan efektif untuk melegitimasi tatanan masyarakat. Peran ini tak bisa dimainkan oleh agama yang terbelenggu oleh bentuk-bentuk kelembagaan formal seperti negara, partai politik dan lain-lain. Karena itu, agama harus dilihat sebagai kenyataan universal, yang mampu melingkupi pluralisme yang menguat dalam masyarakat modern.Dalam kerangka sibernetik Parsonian yang digunakan Cak Nur, agama sebagai sistem nilai universal dapat memberikan masukan informasi terhadap sistem sosial, lewat sosialisasi terhadap sistem kepribadian, sehingga dapat memperbarui sistem sosial, disamping juga berperan sebagai kontrol. Dalam hirarki sibernetik ini, agama dapat menjadi pendorong bagi tumbuhnya kemodernan, meningkatnya etos kerja misalnya. Kerangka ini memungkinkan Bellah melihat hubungan agama Tokugawa dengan industrialisasi di Jepang. Geertz melihat tumbuhnya entrepreneurship golongan Islam Santri Jawa. Dengan kerangka itu pula, Cak Nur bicara tentang etos kerja umat Islam, bukannya “umat Islam sekarang maju karena pengaruh etika Islam”, tapi sebaliknya “umat Islam sekarang miskin dan terbelakang, karena tidak mengamalkan etika Islam”. Untuk itu, dia menengok kembali sejarah Islam dan melihat di sana, khususnya pada masa Rasulullah dan khalifah yang empat, bahwa Islam begitu modern, termasuk dalam kehidupan ekonominya. Bahkan, Islam terlalu modern, sehingga sistem kelembagaan mas sesudahnya tidak mampu menyangganya, maka ambruk. Ada kekuatan internal diantaranya sistem teologis, yang dapat membuat modern perilaku ekonomi umat Islam. Konsep kasb, yang berasal dari pemikiran teologis kaum Asy’ariah, dilihat Cak Nur sebagai pemikirian yang dapat menumbuhkan etos kerja.Golongan Sunni pada umumnya percaya bahwa manusia telah ditakdirkan oleh Tuhan dari zaman tanpa permulaan …. Tentang nasibnya, termasuk apakah akan ‘masuk surga’ atau ‘masuk neraka’ …. Walaupun begitu terdapat tanda-tanda di dunia ini bagi seseorang apakah ia bakal masuk surga atau tidak, yaitu apakah ia lebih banyak berbuat kebaikan atau kejahatan …. Maka seseorang tetap diwajibkan berbuat baik, antara lain untuk membuktikan bahwa ia ditakdirkan oleh Allah bakal masuk surga. Pengertian kasb tidak bisa dipisahkan dari konsep zuhud atau asketisme. Bekerja keras, disertai sikap menahan diri, termasuk menahan diri dalam mengkonsumsi hasil kerjanya (hemat), memungkinkan surplus dan saving, yang pada gilirannya akan berpengaruh bagi pertumbuhan ekonomi umat. Oleh karena itulah bagi Cak Nur, telogi Asy’ari berperan paralel seperti Calvinisme, yang dipandang Weber sebagai kekuatan budaya yang ikut memacu pertumbuhan ekonomi masyarakat barat, masyarakat yang menjadi model pembangunan umat. Maka teologi Asy’ari yang intinya adalah pertumbuhan ekonomi dianggap relevan dengan pembangunan.Dalam kehidupan politik, Cak Nur pun lebih memikirkan segi nilai-nilai perpolitikan, bukan tingkat kelembagaan seperti partai, negara dan lain-lain. Ia banyak berbicara tentang nilai-nilai yang dipandangnya universal, seperti demokrasi, pluralisme, egaliterianisme, keadilan dan lain sebagainya, yang dia elaborasi dengan berpijak pada doktrin dan sejarah politik umat. Dalam konteks Indonesia, Cak Nur menterjemahkannya dengan ungkapan yang sangat terkenal yaitu “Islam Yes, Partai Islam No !!” . ‘Partai’ atau ‘Negara’, berlabelkan ‘Islam’ ataupun tidak hanyalah alat. Yang paling penting adalah sejauh mana alat tersebut dapat mewujudkan nilai-nilai politik tersebut diatas.Disamping itu penolakan Cak Nur terhadap partai Islam didasarkan pada bacaannya terhadap sejarah, sosiologi dan antropologi politik Indonesia . Ada kesan kuat di kalangan pemerintah dan masyarakat bahwa Islam identik dengan lembaga-lembaga yang menamakan dirinya ‘Islam’, baik Ormas (misalnya Muhammadiyah, Persis, NU dan lain-lain) ataupun Orpol (Masyumi, Parmusi, NU, PSII, PERTI, PPP dan lain-lain). Padahal kondisi Orpol tampaknya jauh dari harapan umat yang majemuk itu. Sehingga Cak Nur memperkirakan jawaban umat kalau ditanya mengenai hubungan Islam dengan partai politik: “Islam Yes, Partai Islam, No !”.Dalam hal partai politik islam, Cak Nur mengatakan, “Jika partai-partai Islam merupakan wadah dari ide-ide yang hendak diperjuangkan berdasarkan Islam, maka jelaslah bahwa ide-ide itu sekarang dalam keadaan yang tidak menarik lagi. Ide-ide dan pemikiran Islam itu sekarang sedang memfosil, kehilangan dinamika. Partai-partai Islam tidak berhasil membangun imej yang psotif dan simpatik”. Dengan gagasan ini, Cak Nur hendak membuat pemisahan antara Islam dan Partai Islam. Perjuangan Islam melalui partai Islam hanyalah satu kemungkinan dan masih ada kemungkinan yang lain. Hal ini tidak absolut.
KesimpulanMemang pandangan Keislaman Cak Nur jelas sangat kental diwarnai paradigma modernisasi, dimana teori sosial Parsonian sangat sentral. Dalam sistem Parsonian, setiap unit tindakan sosial selalu terdiri dari individu yang bermotivasi mengejar tujuan, dengan sejumlah alat untuk mencapainya. Tapi, pilihan atas alat dan tujuan tersebut ditentukan oleh situasi biologis dan ekologis serta norma-norma atau nilai-nilai. Karena itu dapat dipahami, kendatipun motivasi individual dimasukkan kedalam unit tindakan sosial, kerangka Parsonian, secara keseluruhan, merefleksikan suatu determinisme sosial . Hal ini lebih kentara lagi, ketika teori aksi Parsonian (yang banyak terpengaruh oleh Weber) bergeser ke dalam teori sistem umum yang dikembangkannya kemudian. Teori sistem umum ini menyandera masyarakat sebagai kenyataan yang stabil dan harmonis, sehingga mengabaikan konflik-konflik sosial dan hampir tidak memberi ruang bagi perubahan. Cara pandang ini mengingatkan kita pada konservatisme, walaupun Parsons sendiri mengklaim dirinya sebagai seorang liberal. Ini berarti, mengelaborasi Islam dalam kerangka Parsonian secara tidak disadari sebenarnya melumpuhkan Islam dengan menjadikannya konservatif, dan terlebih lagi, menjauhkan kita dari cita-cita egaliterianisme, yang sebetulnya juga menjadi perhatian serius Cak Nur sendiri.Pandangannya punya sasaran sosiologis yang jauh dan luas. Cak Nur ingin melihat umat bersatu dalam keragamannya, mendambakan umat tidak lagi dikotak-kotakkan oleh sekat sosio-politik (dalam hal ini partai). Rakyat, Pemerintah, yang aktif di partai yang berlabel Islam ataupun tidak, dipandang sebagai bagian dari umat secara keseluruhan. Dengan cara seperti ini,yang ingin ‘direhabilitasi’ adalah kesan bahwa umat Islam adalah oposan dan merupakan kelompok yang kalah. Hasilnya tentu saja perlu studi dan penelitian tersendiri.
Daftar Pustaka:• Budhy Munawar-rachman, Islam dan Pluralisme Nurcholish Madjid, Pusat Studi Islam dan Kenegaraan, Jakarta, 2007• Margaret M.Poloma, Sosiologi Kontemporer, CV Rajawali Press, Jakarta, 1984• Nurcholish Madjid, Islam, Doktrin dan Peradaban, Sebuah Telaah Kritis tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan dan Kemodernan, Yayasan Wakaf Paramadina, Jakarta, 1992• Nurcholish Madjid, Keislaman, Kemodernan, dan Keindonesiaan, Penerbit Mizan, Bandung 1987• Nurcholish Madjid (ed), Khazanah Intelektual Islam, Penerbit Bulan Bintang, Jakarta, 1985

ESAI KRITIK

Kritik Terhadap Bias Modernisasi dalam Neo-Modernisme Islam

Gerakan Wahabi pada abad ke-19 merupakan suatu gerakan pembaruan Islam yang pertama dalam sejarah pemikiran Islam modern, sebagai respons langsung terhadap kebangkrutan dan kemandekan dunia Islam sejak abad pertengahan. Gelombang kebangkitan lahir sepanjang abad ke-19 dan awal abad ke-20, kali ini sebagai respons terhadap kemajuan yang dicapai masyarakat Barat modern. Gelombang kebangkitan dengan kepeloporan Muhammad Abduh yang kemudian diteruskan oleh Jamaluddin Afghani dan Rasyid Ridha ini menandai munculnya gerakan modernisme Islam.
Umat Islam dihadapkan pada kenyataan bahwa Barat telah jauh lebih maju di bidang Intelektual dan teknologi, dan karenanya sangat sulit bagi Islam untuk menghindari pengaruh-pengaruhnya. Sejarah telah memaksa umat Islam untuk menerima dan kemudian meniru cara-cara bagaimana Barat dapat maju. Dalam hubungan ini, Islam modernis untuk beberapa hal dapat memberi ruang yang cukup bagi tumbuhnya westernisme, yakni pandangan yang menganggap bahwa yang layak ditiru untuk kemajuan masyarakat Islam adalah Barat. Disamping itu, kaum modernis banyak mengembangkan tema sentral yang menjadi persoalan masyarakat Barat, dan kemudian dianggap begitu saja sebagai persoalan dalam masyarakat muslim. Hasil-hasil pemikiran yang didasarkan pada pengalaman Barat ini kemudian secara deduktif diturunkan bagi masyarakat Islam yang mempunyai latara belakang sosial-kultural yang relatif berbeda. Disinilah tampak respons modernis menjadi a-historis.
Peniruan kepada Barat yang menjadi ciri modernisme Islam bukannya tanpa ketegangan. Psikologi modernisme Islam dilatarbelakangi oleh situasi ini, sehingga bisa dimaklumi jika sebagian pemikirannya cenderung bersifat ideologis dengan karakter apologetiknya yang kuat. Banyak kemajuan Barat ditirunya dan dicarikan pembenarannya didalam doktrin Islam. Misalnya pemikiran bahwa Islam sangat menjunjung tinggi kemampuan akal, ilmu pengetahuan empiris, kebebasan berpikir, etos kerja, efisiensi, demokrasi, emansipasi wanita dan sebagainya. Hasil nyata dari respons modernis terhadap kemajuan Barat, harus diakui, tidaklah sedikit, terutama di bidang pendidikan. Tetapi seraya mengakui beberapa “sumbangan Barat”, modernisme Islam juga mengidap suatu bentuk penolakan ideologis kepada pandangan Barat tertentu. Sumber ketegangan intelektual modernisme Islam, mungkin berakar pada psikologi semacam ini.
Tetapi kesan apologetik modernisme Islam yang paling kuat terlihat terutama dalam memahami doktrin-doktrin Islam yang sesungguhnya secara umum didasarkan pada warisan ulama Salafi, tanpa terlebih dahulu merumuskan metodologi yang mampu menangani kaitan antara universalitas Islam dan sejarah yang terus berubah. Akibatnya adalah bahwa modernisme kemudian menimbulkan respons internal, apa yang kemudian dikenal sebagai gelombang pasca-modernis yaitu neo-revivalisme dan neo-modernisme.
Metodologi Neo-ModernismeNeo-revivalisme dan neo-modernisme merupakan reaksi terhadap kegagalan modernisme dalam merumuskan metodologi untuk menangani masalah hubungan antara universalitas Islam dan kebutuhan-kebutuhan sejarah yang spesifik yang dihadapi Islam karena dominasi peradaban Barat. Sementara neo-revivalisme menolak gagasan Barat dan mengembalikan persoalan umat Islam sekarang pada sumber asli ajaran Islam, neo-modernisme tetap berada dalam satu semangat dengan pemikiran kaum modernis, dan kemudian mencoba untuk merumuskan suatu metodologi yang gagal dirumuskan modernisme. Dalam merumuskan metodologi ini, latar belakang sosio-kultural Islam mendapat tempat penting. Dengan landasan inilah, neo-modernisme, yang penganjur utamanya adalah Fazlur rahman, berpijak diatas sejarah disatu pihak, dan bergantung pada semangat moral al-Qur’an yang bersifat universal dipihak lain. Langkah-langkah metodologi yang dirumuskan neo-modernisme dapat disederhanakan sebagai berikut:Pertama, menangkap dan merumuskan persoalan yang dihadapi umat Islam sekarang.Kedua, persoalan yang dirumuskan itu dicari pemecahannya dalam tradisi umat Islam, yaitu dari hasil ijtihad para ulama dan sahabat, dari Sunnah, dan juga dari al-Qur’an.Ketiga, jika pemecahan dari tradisi tersebut dianggap tidak sesuai dengan tuntutan zaman modern, maka suatu ijtihad baru dibutuhkan, yaitu dengan cara meneliti secara historis ayat-ayat Qur’an yang dikaitkan dengan pembahasan mengenai konteks sosio-historis masyarakat Arab pada zaman Nabi, untuk memahami dalam setting seperti apa ayat-ayat tersebut diturunkan.Keempat, dari telaah historis ini secara induktif ditarik semacam generalisasi hingga pesan al-Qur’an yang bersifat umum bisa dirumuskan dan dari sinilah mulai bisa dirumuskan apa yang disebut prinsip ethico-legal Qur’an.Kelima, dari prinsip inilah secara deduktif dilakukan legislasi terhadap persoalan yang telah dirumuskan tersebut. Dengan semua langkah ini, maka penanganan kita terhadap masalah yang terus berubah yang kita hadapi dalam masyarakat Islam dapat diletakkan dalam landasan etik al-Qur’an. Ketegangan antara universalitas Islam (nilai ethico-legal Qur’an) dan sejarah yang terus berubah dapat ditanggulangi secara dinamis.
Kritik Terhadap Neo-ModernismeMetode yang ditawarkan Rahman diatas barangkali dapat mengisi kelemahan yang dihadapi oleh kaum modernis. Tapi kita melihat masalah mendasar diluar struktur metodologi yang dikembangkan Rahman yang dapat berpengaruh secara negatif terhadapnya.
Metodologi Rahman pada dasarnya bersandar pada “hadap-masalah” (problem-posing). Namun tidak terlihat bahwa ia telah merumuskan “masalah” tentang persoalan ini. Dalam metodologi, ada suatu soal bagaimana suatu masalah dianggap sebagai suatu masalah. Ini adalah meta-metodologi. Dalam kenyataannya, ada kelompok masyarakat yang menganggap sesuatu sebagai masalah, dan ada yang tidak. Apa yang menentukan masalah sebagai suatu masalah yang dihadapi oleh umat Islam akan ditentukan oleh faktor-faktor “antropo-psiko-sosiologis” (menyangkut perbedaan pandangan hidup, kondisi-kondisi psikologis dan struktur masyarakat yang berbeda-beda antara satu individu atau kelompok dengan individu atau kelompok yang lainnya).
Kita mengetahui bahwa suatu masalah dianggap sebagai suatu masalah oleh suatu perumusan yang dipengaruhi oleh cara pandang (paradigma) atau teori tertentu. Dengan demikian suatu masalah adalah hasil tangkapan paradigma atau teori, sementara paradigma atau teori itu mempunyai asumsi dasar yang bersifat sarat-nilai. Karena itu sesuatu yang dianggap sebagai suatu masalah bagi suatu paradigma belum tentu dianggap sebagai masalah bagi paradigma lain yang berbeda. Masing-masing paradigma, seperti yang dikatakan Thomas Kuhn, berbasis pada latar dan cita-cita peradaban yang berlainan. Masing-masing punya masalah, cara pemecahan dan keinginan yang ingin dicapai secara berbeda-beda.
Contoh yang paling terkenal dalam bidang ilmu sosial dapat dilihat misalnya bagaimana teori dependensia dan teori fungsionalisme melihat masyarakat Islam. Dengan demikian, Muhammad Abduh yang modernis, misalnya, akan melihat apa yang menjadi persoalan umat Islam secara berbeda dengan apa yang dilihat Samir Amin yang strukturalis itu.
Rahman tidak bisa mengangkat apa yang dianggap sebagai suatu masalah oleh kaum modernis karena landasan metafisik yang inheren dalam teori modernisasi mungkin saja dianut oleh Rahman, sehingga metodologi yang dirumuskannya bisa dianggap sebagai derivasi dan varian lain dari metode-metode dalam teori-teori modernisasi. Bahwa apakah Rahman seorang modernis, terdapat sedikit data yang kurang mencukupi untuk menyimpulkannya. Tapi bahwa dengan rumusan metodologi neo-modernismenya itu dia harus mengembangkan teori pada level sosial, itu sudah jelas. Sayangnya dia belum banyak melakukan hal itu, dan itulah sebabnya masih jadi tanda tanya bagaimana paradigma teori sosial neo-modernisme.
Sejauh ini, dalam rangka mengisi kekosongan teori yang ditinggalkan Rahman, terutama untuk mengaplikasikan metodologi yang dikembangkannya pada tingkat kebijakan sosial, kita melihat banyak pengikutnya mengapresiasinya dengan mengadopsi teori modernisasi. Mungkin saja ada semacam koinsidensi antara neo-modernisme Rahmanian dengan teori sosial Barat yang dikembangkan oleh Weber atau Parson. Apa yang menarik adalah bahwa apresiasi terhadap teori modernisasi tampak memperoleh pembenarannya dalam semangat neo-modenisme yang masih mempunyai pandangan-pandangan Barat tertentu. Ini terutama tampak dalam pembelaan pengikut Rahman yang mengadopsi teori-teori modernisasi itu.
Saya kira, jika aktualisasi neo-modernisme pada tingkat kebijakan sosial tidak segera dilepaskan dari perspektif teori-teori modernisasi, maka dia akan tetap terasa sangat elitis dan cenderung berorientasi status-quo. Ini mengingat neo-modernisme, ditangan penganut teori-teori modernisasi, cenderung tidak akan memperhatikan agenda-agenda struktural yang justru menjadi persoalan terbesar sebagian umat Islam di dunia, termasuk di Indonesia. Dengan kata lain, jika neo-modernisme tidak bisa melepaskan diri dari pengikut-pengikutnya yang berparadigma teori modernisasi, maka ia bukan alternatif yang tepat bagi Islam di Indonesia sekarang ini.