Rabu, 22 April 2009

ESAI KRITIK

Kritik Terhadap Bias Modernisasi dalam Neo-Modernisme Islam

Gerakan Wahabi pada abad ke-19 merupakan suatu gerakan pembaruan Islam yang pertama dalam sejarah pemikiran Islam modern, sebagai respons langsung terhadap kebangkrutan dan kemandekan dunia Islam sejak abad pertengahan. Gelombang kebangkitan lahir sepanjang abad ke-19 dan awal abad ke-20, kali ini sebagai respons terhadap kemajuan yang dicapai masyarakat Barat modern. Gelombang kebangkitan dengan kepeloporan Muhammad Abduh yang kemudian diteruskan oleh Jamaluddin Afghani dan Rasyid Ridha ini menandai munculnya gerakan modernisme Islam.
Umat Islam dihadapkan pada kenyataan bahwa Barat telah jauh lebih maju di bidang Intelektual dan teknologi, dan karenanya sangat sulit bagi Islam untuk menghindari pengaruh-pengaruhnya. Sejarah telah memaksa umat Islam untuk menerima dan kemudian meniru cara-cara bagaimana Barat dapat maju. Dalam hubungan ini, Islam modernis untuk beberapa hal dapat memberi ruang yang cukup bagi tumbuhnya westernisme, yakni pandangan yang menganggap bahwa yang layak ditiru untuk kemajuan masyarakat Islam adalah Barat. Disamping itu, kaum modernis banyak mengembangkan tema sentral yang menjadi persoalan masyarakat Barat, dan kemudian dianggap begitu saja sebagai persoalan dalam masyarakat muslim. Hasil-hasil pemikiran yang didasarkan pada pengalaman Barat ini kemudian secara deduktif diturunkan bagi masyarakat Islam yang mempunyai latara belakang sosial-kultural yang relatif berbeda. Disinilah tampak respons modernis menjadi a-historis.
Peniruan kepada Barat yang menjadi ciri modernisme Islam bukannya tanpa ketegangan. Psikologi modernisme Islam dilatarbelakangi oleh situasi ini, sehingga bisa dimaklumi jika sebagian pemikirannya cenderung bersifat ideologis dengan karakter apologetiknya yang kuat. Banyak kemajuan Barat ditirunya dan dicarikan pembenarannya didalam doktrin Islam. Misalnya pemikiran bahwa Islam sangat menjunjung tinggi kemampuan akal, ilmu pengetahuan empiris, kebebasan berpikir, etos kerja, efisiensi, demokrasi, emansipasi wanita dan sebagainya. Hasil nyata dari respons modernis terhadap kemajuan Barat, harus diakui, tidaklah sedikit, terutama di bidang pendidikan. Tetapi seraya mengakui beberapa “sumbangan Barat”, modernisme Islam juga mengidap suatu bentuk penolakan ideologis kepada pandangan Barat tertentu. Sumber ketegangan intelektual modernisme Islam, mungkin berakar pada psikologi semacam ini.
Tetapi kesan apologetik modernisme Islam yang paling kuat terlihat terutama dalam memahami doktrin-doktrin Islam yang sesungguhnya secara umum didasarkan pada warisan ulama Salafi, tanpa terlebih dahulu merumuskan metodologi yang mampu menangani kaitan antara universalitas Islam dan sejarah yang terus berubah. Akibatnya adalah bahwa modernisme kemudian menimbulkan respons internal, apa yang kemudian dikenal sebagai gelombang pasca-modernis yaitu neo-revivalisme dan neo-modernisme.
Metodologi Neo-ModernismeNeo-revivalisme dan neo-modernisme merupakan reaksi terhadap kegagalan modernisme dalam merumuskan metodologi untuk menangani masalah hubungan antara universalitas Islam dan kebutuhan-kebutuhan sejarah yang spesifik yang dihadapi Islam karena dominasi peradaban Barat. Sementara neo-revivalisme menolak gagasan Barat dan mengembalikan persoalan umat Islam sekarang pada sumber asli ajaran Islam, neo-modernisme tetap berada dalam satu semangat dengan pemikiran kaum modernis, dan kemudian mencoba untuk merumuskan suatu metodologi yang gagal dirumuskan modernisme. Dalam merumuskan metodologi ini, latar belakang sosio-kultural Islam mendapat tempat penting. Dengan landasan inilah, neo-modernisme, yang penganjur utamanya adalah Fazlur rahman, berpijak diatas sejarah disatu pihak, dan bergantung pada semangat moral al-Qur’an yang bersifat universal dipihak lain. Langkah-langkah metodologi yang dirumuskan neo-modernisme dapat disederhanakan sebagai berikut:Pertama, menangkap dan merumuskan persoalan yang dihadapi umat Islam sekarang.Kedua, persoalan yang dirumuskan itu dicari pemecahannya dalam tradisi umat Islam, yaitu dari hasil ijtihad para ulama dan sahabat, dari Sunnah, dan juga dari al-Qur’an.Ketiga, jika pemecahan dari tradisi tersebut dianggap tidak sesuai dengan tuntutan zaman modern, maka suatu ijtihad baru dibutuhkan, yaitu dengan cara meneliti secara historis ayat-ayat Qur’an yang dikaitkan dengan pembahasan mengenai konteks sosio-historis masyarakat Arab pada zaman Nabi, untuk memahami dalam setting seperti apa ayat-ayat tersebut diturunkan.Keempat, dari telaah historis ini secara induktif ditarik semacam generalisasi hingga pesan al-Qur’an yang bersifat umum bisa dirumuskan dan dari sinilah mulai bisa dirumuskan apa yang disebut prinsip ethico-legal Qur’an.Kelima, dari prinsip inilah secara deduktif dilakukan legislasi terhadap persoalan yang telah dirumuskan tersebut. Dengan semua langkah ini, maka penanganan kita terhadap masalah yang terus berubah yang kita hadapi dalam masyarakat Islam dapat diletakkan dalam landasan etik al-Qur’an. Ketegangan antara universalitas Islam (nilai ethico-legal Qur’an) dan sejarah yang terus berubah dapat ditanggulangi secara dinamis.
Kritik Terhadap Neo-ModernismeMetode yang ditawarkan Rahman diatas barangkali dapat mengisi kelemahan yang dihadapi oleh kaum modernis. Tapi kita melihat masalah mendasar diluar struktur metodologi yang dikembangkan Rahman yang dapat berpengaruh secara negatif terhadapnya.
Metodologi Rahman pada dasarnya bersandar pada “hadap-masalah” (problem-posing). Namun tidak terlihat bahwa ia telah merumuskan “masalah” tentang persoalan ini. Dalam metodologi, ada suatu soal bagaimana suatu masalah dianggap sebagai suatu masalah. Ini adalah meta-metodologi. Dalam kenyataannya, ada kelompok masyarakat yang menganggap sesuatu sebagai masalah, dan ada yang tidak. Apa yang menentukan masalah sebagai suatu masalah yang dihadapi oleh umat Islam akan ditentukan oleh faktor-faktor “antropo-psiko-sosiologis” (menyangkut perbedaan pandangan hidup, kondisi-kondisi psikologis dan struktur masyarakat yang berbeda-beda antara satu individu atau kelompok dengan individu atau kelompok yang lainnya).
Kita mengetahui bahwa suatu masalah dianggap sebagai suatu masalah oleh suatu perumusan yang dipengaruhi oleh cara pandang (paradigma) atau teori tertentu. Dengan demikian suatu masalah adalah hasil tangkapan paradigma atau teori, sementara paradigma atau teori itu mempunyai asumsi dasar yang bersifat sarat-nilai. Karena itu sesuatu yang dianggap sebagai suatu masalah bagi suatu paradigma belum tentu dianggap sebagai masalah bagi paradigma lain yang berbeda. Masing-masing paradigma, seperti yang dikatakan Thomas Kuhn, berbasis pada latar dan cita-cita peradaban yang berlainan. Masing-masing punya masalah, cara pemecahan dan keinginan yang ingin dicapai secara berbeda-beda.
Contoh yang paling terkenal dalam bidang ilmu sosial dapat dilihat misalnya bagaimana teori dependensia dan teori fungsionalisme melihat masyarakat Islam. Dengan demikian, Muhammad Abduh yang modernis, misalnya, akan melihat apa yang menjadi persoalan umat Islam secara berbeda dengan apa yang dilihat Samir Amin yang strukturalis itu.
Rahman tidak bisa mengangkat apa yang dianggap sebagai suatu masalah oleh kaum modernis karena landasan metafisik yang inheren dalam teori modernisasi mungkin saja dianut oleh Rahman, sehingga metodologi yang dirumuskannya bisa dianggap sebagai derivasi dan varian lain dari metode-metode dalam teori-teori modernisasi. Bahwa apakah Rahman seorang modernis, terdapat sedikit data yang kurang mencukupi untuk menyimpulkannya. Tapi bahwa dengan rumusan metodologi neo-modernismenya itu dia harus mengembangkan teori pada level sosial, itu sudah jelas. Sayangnya dia belum banyak melakukan hal itu, dan itulah sebabnya masih jadi tanda tanya bagaimana paradigma teori sosial neo-modernisme.
Sejauh ini, dalam rangka mengisi kekosongan teori yang ditinggalkan Rahman, terutama untuk mengaplikasikan metodologi yang dikembangkannya pada tingkat kebijakan sosial, kita melihat banyak pengikutnya mengapresiasinya dengan mengadopsi teori modernisasi. Mungkin saja ada semacam koinsidensi antara neo-modernisme Rahmanian dengan teori sosial Barat yang dikembangkan oleh Weber atau Parson. Apa yang menarik adalah bahwa apresiasi terhadap teori modernisasi tampak memperoleh pembenarannya dalam semangat neo-modenisme yang masih mempunyai pandangan-pandangan Barat tertentu. Ini terutama tampak dalam pembelaan pengikut Rahman yang mengadopsi teori-teori modernisasi itu.
Saya kira, jika aktualisasi neo-modernisme pada tingkat kebijakan sosial tidak segera dilepaskan dari perspektif teori-teori modernisasi, maka dia akan tetap terasa sangat elitis dan cenderung berorientasi status-quo. Ini mengingat neo-modernisme, ditangan penganut teori-teori modernisasi, cenderung tidak akan memperhatikan agenda-agenda struktural yang justru menjadi persoalan terbesar sebagian umat Islam di dunia, termasuk di Indonesia. Dengan kata lain, jika neo-modernisme tidak bisa melepaskan diri dari pengikut-pengikutnya yang berparadigma teori modernisasi, maka ia bukan alternatif yang tepat bagi Islam di Indonesia sekarang ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar