Jumat, 03 April 2009

FAZLUR RAHMAN

FAZLUR RAHMAN
Antara Neo-modernisme dan Modernisasi Pendidikan Islam
Oleh Denis Handika


PENDAHULUAN

Pembaharuan adalah tema utama dalam skema pemikiran Fazlur Rahman. Tokoh intelektual asal Pakistan ini banyak mencurahkan perhatiannya pada upaya kontekstualisasi nilai-nilai universal Islam yang terkandung dalam al-Qur’an dan Sunnah agar tetap relevan dengan perkembangan zaman. Dengan begitu, dimensi ilahiah dan sistem nilai yang terkandung dalam Islam dapat diaplikasikan dalam fenomena kultural dan realitas sosial kehidupan manusia.
Corak khas gerakan pembaharuan yang diusung Fazlur Rahman adalah dengan menghadirkan wacana-wacana intelektual yang memiliki jiwa liberal dan progresif dengan tetap berpijak pada akar tradisi intelektual Islam. Gerakan pemikiran yang dikembangkan oleh Fazlur Rahman ini disebut neo-modernisme.
Secara kongkrit, gerakan neo-modernisme yang dirintis Fazlur Rahman domotivasi oleh hasrat untuk memajukan kehidupan kaum Muslimin di era kontemporer dengan jiwa dan semangat yang dinamis. Dengan pendekatan-pendekatan seperti ini, neo-modernisme berusaha untuk mengangkat persoalan-persoalan keagamaan yang nyata tengah berkembang di masyarakat.
Corak khas, jiwa dan semangat dinamis, serta tercapainya tujuan gerakan neo-modernisme harus ditopang dengan penambahan kualitas intelektualitas. Menurut Fazlur Rahman, pendidikan yang baik dapat menghasilkan Muslim dengan kualitas intelektualitas yang baik dan pemahaman yang komprehensif terhadap Islam. Sebaliknya, pendidikan yang kurang baik dapat menghilangkan jiwa progresif Islam yang akan beresiko pada terkikisnya kesucian dan kesempurnaan niliai-nilai moral Islam. Maka dari itu, peningkatan mutu pendidikan mutlak diperlukan dalam upaya menghasilkan sarjana-sarjana Islam yang memiliki kreativitas intelektualitas yang tinggi dalam memecahkan persoalan-persoalan kontemporer.
Hubungan keterkaitan antara neo-modernisme dan perlunya peningkatan kualitas intelektualitas bagi umat Muslim dalam alam kemodernan, adalah gagasan Fazlur Rahman yang oleh penulis dijadikan sebagai tema utama dalam pembahasan paper ini.

PEMBAHASAN

Sekilas Tentang Riwayat Hidup Fazlur Rahman

1919 adalah tahun kelahiran Fazlur Rahman, di wilayah Hazara, Punjab, yang kini terletak di bagian baratlaut Pakistan. Ia tumbuh di lingkungan keluarga religius dengan tradisi keagamaan mazhab Hanafi, mazhab yang dikenal lebih rasional ketimbang tiga mazhab Sunni lainnya.
Bekal dasar dalam pembentukan kepribadian dan intelektualitas Fazlur Rahman diperoleh dari ayahnya, Maulana Syahab al-Din, yang meyakini bahwa modernitas dalam Islam merupakan tantangan dan sekaligus kesempatan yang harus dihadapi.[1] Dari ayahnya pula, kemudian Rahman menjadi sosok yang tekun menimba pengetahuan dari berbagai sumber.
Pendidikan dasar Fazlur Rahman dijalaninya di Madrasah Deoband, sebuah madrasah terkemuka di Pakistan saat itu, di mana ia belajar filsafat, teologi, hadits, tafsir, dan bahasa Arab. Kualitas intelektualitasnya juga semakin mantap dengan penguasaan yang mumpuni dalam bahasa Persia, Urdu, Inggris, Perancis, dan beberapa bahasa Eropa lainnya.
Gelar Bachelor of Art (BA) dan Master of Art (MA) diraihnya dari Universitas Punjab, Lahore, pada tahun 1940 dan 1942. Pada tahun 1946, Rahman melanjutkan studinya ke Inggris, Universitas Oxford, dengan disertasi Ph.D berupa suntingan atas naskah klasik Ibn Sina, dan lulus pada tahun 1949. Selanjutnya Rahman mengajar di Universitas Durham, Inggris, dan Universitas Mc. Gill, Kanada, sampai awal tahun 1960-an.
Dengan pendidikan yang dijalaninya, dan pengalaman akademis yang diperolehnya, Fazlur Rahman menjadi seorang intelektual Muslim sejati dengan penguasaan yang mendalam terhadap sejarah Islam dalam bidang pemikiran, perkembangan sosial-politik, dan kebudayaan.
Semangat gerakan modernisme yang merebak kuat di Indo-Pakistan juga tertanam di dalam benak Fazlur Rahman. “Dalam dirinya mengalir darah pembaharuan warisan Syah Waliullah, Ahmad Khan, Amir Ali, dan terutama Mohammad Iqbal. Bersama mereka, ia menaruh skeptisisme terhadap banyak segi tradisi Islam yang dibela para alim dan teolog konservatif.” Demikian ungkapan Ihsan Ali Fauzi dalam tulisannya, “Mengenang 20 Tahun Wafatnya Fazlur Rahman: Menawarkan Bukan Kemenyan.”[2] Semangat pembaharuan ini terpancar ketika Rahman memimpin Lembaga Riset Islam atas permintaan Ayub Khan, presiden Pakistan kala itu. Ide-ide pembaharuan Rahman dituangkannya dalam lembaga tersebut. Sayangnya, kaum ulama tradisional-konservatif Pakistan menentang keras ide-ide Rahman. Kontroversi dan demonstrasi anti-Rahman pun merebak. Ia dianggap munkir i Qu‘an,[3] dan dihalalkan darahnya.
Puncak penentangan terhadap Fazlur Rahman tersebut terjadi pada tahun 1968. Tahun yang membuatnya harus mengambil keputusan untuk hijrah ke Barat, Amerika Serikat. Di negara ini ia menghabiskan waktunya untuk mengajar dan menulis, hingga diangkat menjadi Guru Besar Pemikiran Islam di Universitas Chicago. Mazhab neo-modernis Fazlur Rahman pun lahir di negeri Paman Sam ini.
Tahun 1985 Fazlur Rahman berkunjung ke Indonesia atas permintaan pemerintah Indonesia. Ia diminta untuk memberikan saran dan masukan bagi pengembangan pendidikan Islam di Indonesia.
Tahun 1988 adalah tahun kewafatan Fazlur Rahman, di Chicago, Amerika Serikat.

Neo-modernisme dan Revitalisasi Tradisi

Elaborasi antara tradisi intelektual Islam dan dunia keilmuwan Barat yang liberal, progresif, rasional, dan kritis, tertanam di dalam diri Fazlur Rahman. Kualitas intelektualitas ini membawanya ke arah neo-modernisme, gerakan pembaharuan Islam yang memadukan pemikiran yang tumbuh di Barat dengan warisan pemikiran Islam sebagai landasan otentisitasnya, dan ijtihad yang sistematis dan komprehensif sebagai usaha intelektualnya.
Dalam latar historis, neo-modernisme muncul dari keprihatinan Fazlur Rahman menyaksikan berbagai kelemahan dari beberapa gerakan Islam yang telah muncul sebelumnya; revivalisme pra-modernis, modernisme klasik, neo-revivalisme, bahkan gerakan modernisme. Dalam kacamata keilmuwan Rahman, gerakan-gerakan pembaharuan Islam tersebut tidak menawarkan suatu metodologi pembaharuan Islam yang sistematis dan setia kepada tradisi intelektual Islam.[4]
Revivalisme pra-modernis, misalnya, terlalu menyederhanakan perhatiannya pada khazanah intelektual Islam abad pertengahan, sehingga terjadi pemiskinan intelektual.[5] Sedangkan tiga gerakan lainnya, disebabkan karena gerakan-gerakan tersebut hanya merupakan sebuah reaksi-apologetis atas tuntutan untuk meng-counter serangan-serangan Barat. Alhasil, pembaharuan mereka pun tidak mencapai hasil yang komprehensif, dan cenderung kehilangan identitas keislamannya. “Mereka,” menurut Rahman. “tak mampu melakukan lebih dari sekedar menyediakan dasar bagi perkembangan-perkembangan berikutnya pada garis modernis.”[6]
Sebaliknya, neo-modernisme menawarkan sebuah sikap kritis-objektif terhadap kekayaan intelektual Islam dan Barat sekaligus. Membangun suatu gerakan pembaharuan Islam yang padu dan mencerminkan nilai-nilai al-Qur‘an dan keteladanan akhlak Rasulullah, sehingga umat Islam tetap mampu bergulat di kancah dunia modern tanpa kehilangan jati diri keislamannya. Perspektif tersebut mengantarkan Rahman pada upaya pengaktualisasian prinsip-prinsip al-Qur‘an ke dalam kehidupan real umat Islam, untuk mengangkat segmen masyarakat Muslim dari situasi tertekan di bidang ekonomi, sosial-politik, dan pendidikan. Pandangan ini tumbuh dari latar belakang keadaan Muslim Pakistan pada khususnya, dan keadaan umat Islam pada umumnya.
Sebagai tokoh intelektual yang tumbuh di alam kelanjutan pembaharuan Islam Pakistan, Fazlur Rahman sangat sadar bahwa dirinya membawa jiwa dan semangat yang sama seperti tokoh-tokoh pembaharu sebelumnya–Syah Waliullah, Ahmad Khan, Amir Ali, dan Mohammad Iqbal, yaitu semangat untuk melakukan revitalisasi tradisi Islam secara kritis.
Pertanyaannya kini, “tradisi Islam apa yang harus direvitalisasi?” Jawabannya adalah tradisi yang tidak bersumber pada data-data obyektif al-Qur’an dan Sunnah, dan telah tercampur dengan unsur-unsur lokal yang berasal dari luar Islam, namun tradisi ini dipandang sebagai kepercayaan, sebagai Islam itu sendiri. Bangunan tradisi yang demikian oleh Rahman disebut dengan ortodoksi. Keadaan seperti ini menghasilkan Islam yang jumud, Islam yang beku, dan kehilangan semangat kreativitasnya. Islam tidak mampu lagi menjadi acuan dalam kehidupan aktual.
Sikap kesarjanaan yang kritis dari Rahman semakin tampak ketika Rahman dengan telaten memilah mana tradisi Islam yang sejati, dan mana pula yang merupakan tradisi ortodoksi. Tradisi Islam yang sejati itulah yang oleh Rahman dijadikan sebagai landasan otentisitas dalam gerakan pembaharuannya. Langkah yang ditempuhnya dalam mengembalikan dinamika Islam adalah menekankan perlunya pembedaan yang jelas antara “Islam normatif” dan “Islam historis.”
Islam normatif adalah seperangkat ajaran, norma, dan prinsip yang termuat di dalam teks-teks suci (al-Qur‘an dan Sunnah), bernilai abadi, dan merupakan sumber rujukan bagi umat Islam dalam menjalani kehidupan keberagamaan. Sedangkan Islam historis dalah pemahaman-pemahaman atau penafsiran-penafsiran yang diperoleh dari Islam normatif, sifatnya beragam, dan harus senantiasa kontekstual dengan kehidupan yang dinamis. Karena itu, Islam historis harus selalu disegarkan dengan tetap berada di bawah naungan cahaya al-Qur‘an dan Sunnah. Tidak boleh berhenti, dimutlakkan, apalagi diskralkan. Berikut ini saya kutip ungkapan Rahman mengenai hal tersebut:

Jelas tidak perlu bahwa suatu penafsiran yang telah diterima harus selalu diterima terus; selalu ada ruang maupun kebutuhan bagi penafsiran-penafsiran yang baru, karena hal ini, sebenarnya adalah suatu proses yang terus berlanjut.[7]

Dalam hal penafsiran al-Qur‘an yang “segar,” doktor lulusan Oxford ini bukanlah semata-mata sebagai peng-kritik, tetapi juga merupakan seorang problem solver. Karena tokoh ini telah menawarkan sebuah metodologi penafrsiran al-Qur‘an yang brilliant, yaitu metodologi Double Movement (Gerakan Ganda). Secara ringkas, metode tersebut dilakukan dengan memahami makna dari situasi ketika diturunkannya suatu ayat, dan mengambil makna general dari keadaan tersebut yang memiliki tujuan moral-sosial umum, yang sesuai dengan konteks kekinian.[8]
Usaha penafsiran semacam ini merupakan bagian dari ijtihad yang sistematis dan komprehensif, yang menjadi landasan gerakan neo-modernisme Fazlur Rahman. Menurutnya, ijtihad atau usaha intelektual adalah “upaya untuk memahami makna dari suatu teks atau preseden di masa lampau, yang mempunyai suatu aturan, dan untuk mengubah aturan tersebut dengan memperluas atau membatasi, ataupun memodifikasinya dengan cara sedemikian rupa hingga suatu situasi baru dapat dicakup di dalamnya dengan suatu solusi yang baru.”[9]
Proses ijtihad tersebut mensyaratkan kualitas intelektualitas yang tinggi dan sejalan dengan semangat modernisasi tanpa memutuskan tradisi keilmuwan Islam. Maka, tidak bisa tidak, modernisasi harus diiringi dengan penambahan ilmu pengetahuan agar nilai-nilai luhur yang terkandung dalam Islam tetap terjaga.
Lantas, siapa yang akan mampu melanjutkan proses ini?jawaban yang jelas dan tegas dituliskan oleh Rahman di dalam karya-karyanya seperti Islam, Islam dan Modernitas, dan Membuka Pintu Ijtihad (Islamic Methodology in History, edisi Bahasa Inggris). Namun, di dalam paper ini saya hanya akan mengutip jawaban atas pertanyaan tersebut yang dituliskannya di dalam Islam.
Di dalam karyanya itu, Rahman menegaskan bahwa pelanjut proses modernisasi bukanlah dari kalangan ulama konservatif. Hal ini disebabkan “bukan hanya karena pendidikan mereka terbatas pada ruang lingkup tradisional, tapi yang lebih mendasar lagi adalah karena mereka bahkan tidak mampu melihat dan memahami masalahnya. Itulah sebabnya mengapa modernisme, sejauh ia berwujud, adalah merupakan hasil kerja orang-orang Islam yang berpendidikan liberal.”[10]
Maka, pembahasan pada bagian selanjutnya dari paper ini adalah pandangan Fazlur Rahman tentang perlunya peningkatan taraf intelektualitas kaum Muslim dalam menopang laju modernisme. Dengan demikian, hubungan keterkaitan antara gerakan neo-modernisme dan perlunya kualitas keilmuwan yang baik akan semakin terlihat.

Metode Tradisional-Konservatif sebagai Kelemahan Pendidikan Islam

Fazlur Rahman, sebagaimana telah saya tulis pada bagian sebelumnya dari paper ini, memberikan perhatian yang besar pada masalah-masalah sulit yang umumnya sedang dialami umt Islam, seperti rendahnya kesejahteraan ekonomi, lemahnya sistem politik pada masyarakat atau bangsa-bangsa Muslim, fakta-fakta senjangnya distribusi kekayaan, dan kualitas pendidikan yang masih rendah.
Usaha intelektual untuk peningkatan kualitas diri–yang oleh Rahman disebut jihad intelektual–demi perbaikan kesejahteraan pada sektor-sektor seperti tertulis di atas, sangat diperlukan agar pribadi-pribadi Muslim memiliki kompetensi yang mumpuni dalam menghadapi modernisme.
Namun, Fazlur Rahman memperhatikan bahwa sistem pendidikan yang ada telah kehilangan jiwa progresif Islam, sehingga menempuh resiko berubah menjadi sistem yang sekular yang merusak “kesucian dan kesempurnaan semua nilai-nilai moral Islam”[11] Hal ini disebabkan kekakuan metode pendidikan tradisional-konservatif para ulama.
Kelompok Muslim ini menolak perubahan-perubahan yang dihasilkan oleh budaya dan intelektual. Dalam Islam dan Modernitas, Rahman berkomentar tentang mereka:

…mereka beranggapan “bahwa pemerolehan pengetahuan modern hanya dibatasi pada bidang teknologi praktis, karena pada bidang pemikiran murni kaum Muslimin tidak memerlukan produk intelektual Barat–bahkan produk tersebut haruslah dihindari–karena mungkin sekali akan menimbulkan keraguan dan kekacauan dalam pikiran Muslim, yang mana kepercayaan tradisional telah mampu memberikan jawaban-jawaban yang memuaskan bagi pertanyaan-pertanyaan puncak mengenai pandangan dunia.”[12]

Pandangan golongan tradisional-konservatif tersebut tentunya akan menimbulkan dualitas, yang pada akhirnya akan menciptakan sekularisme, yaitu suatu dualitas loyalitas; kepada agama dan kepada hal-hal duniawi. Fazlur Rahman yakin bahwa penolakan tersebut sebenarnya justru akan merugikan masyarakat Muslim secara luas, karena masyarakat Muslim akan tertinggal di belakang masyarakat kontemporer lain yang sudah maju di bidang ekonomi, politik, dan ilmu pengetahuan.
Ulama-ulama hasil cetakan sistem pendidikan tradisional kurang mampu memenuhi fungsi-fungsi yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat, atau memberi arahan-arahan pada sektor pendidikan modern. Hal ini terjadi karena diabaikannya pemikiran yang kritis dan terbuka yang merupakan penopang utama dalam pembaharuan, sehingga yang tersisa hanyalah terhentinya pertumbuhan, dan terciptanya tradisi hirarkis yang mengakibatkan stagnasi.
Lembaga-lembaga pendidikan tradisional dan modern yang begitu terpisah akan menghasilkan dua tipe orang yang tidak bisa berkomunikasi satu sama lain. Padahal, dalam beberapa aktivitas sosial–untuk peningkatan kualitas masyarakat Muslim–harus disertai dengan prasyarat berupa ”usaha intelektual yang sabar dan kompleks yang harus menghasilkan visi Islam yang penting.”[13] Visi penting tersebut adalah konstruksi intelektual dan moral spiritual.

Solusi Masalah

Untuk menghindari akibat-akibat negatif tersebut, Guru Besar di Universitas Chicago ini memulai modernisasi pendidikan Islam dengan mengintegrasikan dasar-dasar intelektual Islam dengan semangat liberalisme dan rasionalisme keilmuwan Barat. Dengan begitu, pendidikan Islam akan mampu untuk melakukan produktivitas intelektual yang kreatif dalam semua bidang usaha intelektual, bersama-sama dengan keterikatan yang serius kepada Islam.[14]
Langkah kongkritnya adalah dengan menerima sistem pendidikan sekular modern sebagaimana yang telah berkembang di Barat, dan mencoba untuk meng-Islamkannya, yakni dengan memasukkan konsep-konsep vital tertentu dari Islam. Pendekatan ini bertujuan untuk: pertama, membentuk watak para peserta didik dengan nilai-nilai Islam dalam kehidupan individu dan masyarakat, dan kedua, memungkinkan para ahli yang berpendidikan modern untuk memasukkan nilai-nilai yang sesuai dengan orientasi Islam ke dalam kajian mereka.
Pembentukan watak dengan nilai-nilai Islam harus dilakukan terutama pada pendidikan tingkat dasar, ketika para pelajar masih dalam usia muda dan mudah untuk menerima kesan. Apabila usaha ini dilakukan tatkala para peserta didik telah mencapai usia dewasa tentunya akan lebih sulit, sebab bukan tidak mungkin mereka telah tersekularkan, atau kemungkinan besar mereka akan menolak orientasi Islam apapun.
Solusi lain agar pendidikan Islam tetap relevan dengan modernisasi adalah pembenahan radikal metode tradisional-konservatif para ulama. Oleh karena itu, Rahman berharap agar para ulama tidak lagi menolak perubahan karena menyamakan kekuasaan dan kontrol dengan tradisi intelektual Islam. Ia juga mengusulkan adanya perubahan-perubahan silabus pada lembaga-lembaga pendidikan tradisional.
Fazlur Rahman berkeyakinan bahwa apabila penyesuaian metode pendidikan semacam itu direalisasikan, dan didukung dengan upaya-upaya kaum Muslimin untuk melaksanakan tugas intelektual secara efektif, tentunya akan membawa perubahan positif bagi generasi Muslim mendatang, sehingga dapat menjadikan mereka sebagai wakil-wakil Islam yang aktif di kancah dunia modern.
Inilah konteks hubungan keterkaitan antara mazhab neo-modernis dan modernisasi pendidikan Islam yang diidealkan oleh Fazlur Rahman.


PENUTUP

Warisan Pemikiran Fazlur Rahman di Indonesia: Sebuah Apresiasi Intelektual

Beberapa lembar halaman dalam paper ini tentunya tidak akan cukup untuk menangkap dan menggambarkan secara utuh keluasan pemikiran dan gerakan pembaharuan Fazlur Rahman yang diwujudkannya dalam gerakan neo-modernisme. Namun demikian, apresiasi dari kita sebagai pengkaji sangat layak untuk diberikan kepada tokoh intelektual yang satu ini.
Hal tersebut bukan saja karena ia telah berhasil menghidupkan suatu wawasan keilmuwan yang kritis, liberalis, rasional, dan tetap berpijak pada otentisitas tradisi keilmuwan Islam. Tetapi juga karena warisan pemikiran Fazlur Rahman telah “menapakkan jejaknya” dan mewarnai kajian Islam di Indonesia.
Ini dapat kita rujuk dari: pertama, kedekatan Rahman dengan Nurcholis Madjid (Cak Nur)–pelopor gerakan pemikiran Islam modern di Indonesia, dan tokoh lain seperti Ahmad Syafii Ma‘arif, yang mana kedua tokoh ini bahkan pernah berhubungan dan berguru langsung dengan Fazlur Rahman. Kedua, dari banyaknya apresiasi intelektual yang diilhami oleh Fazlur Rahman, seperti tulisan lepas, buku, dan terjemahan-terjemahan karya-karya Fazlur Rahman ke dalam Bahasa Indonesia. Dan ketiga, dari adanya kunjungan Rahman selama dua bulan di Indonesia pada tahun 1985.
Gagasan pemikiran neo-modernisme pun kian hari kian berkibar dan mendapat tempat dalam ruang keilmuwan Islam di Indonesia. Semangat keagamaan meningkat begitu pesat. Modernisme tidak hanya menjadi konsumsi dan dominasi kalangan menengah atas di perkotaan, tidak hanya terbatas pada kelompok yang dulu dianggap sebagai pembaharu, seperti Muhammadiyah. Tetapi juga telah merambah ke segmen-segmen muda pengkaji Islam yang berasal dari pesantren di pedesaan.[15]
Penerimaan yang luas terhadap neo-modernisme di Indonesia dikarenakan adanya kesesuaian antara faham tersebut dengan situasi dan keadaan masyarakat Indonesia yang majemuk. Gerakan pemikiran Islam ini cenderung menempatkan Islam sebagai sebuah system dan tata nilai yang harus dibumikan selaras dengan tuntutan zaman. Watak pemikirannya terbuka, moderat, dan plural, sehingga membentuk sikap keagamaan yang kontekstual, dengan apresiasi yang tinggi terhadap perbedaan yang lahir dari kemajemukan bangsa ini.
Maka dari itu, diskursus pemikiran Islam yang dilontarkan oleh Fazlur Rahman ini akan selalu menarik perhatian para pengkaji Islam di Nusantara, karena dari diskursus semacam inilah akan tercipta iklim keberagamaan yang terbuka, kritis, rasional, dan analitis, dengan niat yang luhur untuk kemajuan Islam.

DAFTAR PUSTAKA

A‘la, Abd., Dari Neomodernisme ke Islam Liberal: Jejak Fazlur Rahman dalam Wacana Islam di Indonesia. Jakarta: Paramadina, 2003.

Fauzi, Ihsan Ali, “Mengenang 20 Tahun Wafatnya Fazlur Rahman: Menawarkan Bukan Kemenyan.” Majalah Madina, edisi 8. Agustus 2008.

Rahman, Fazlur, Gelombang Perubahan dalam Islam, terj. Aam Fahmia. Jakarta: Raja Grafindo, 2001.

Rahman, Fazlur, Islam, terj. Ahsin Mohammad. Bandung: Pustaka, 2003.

Rahman, Fazlur, Islam dan Modernitas: Tentang Transformasi Intelektual, terj. Ahsin Mohammad. Bandung: Pustaka, 2000.

Rahman, Fazlur, Membuka Pintu Ijtihad, terj. Anas Mahyudin. Bandung: Pustaka, 1995.
[1] Abd A‘la, Dari Neomodernisme ke Islam Liberal: Jejak Fazlur Rahman dalam Wacana Islam di Indonesia (Jakarta: Paramadina, 2003), hal. 33.
[2] Ihsan Ali Fauzi, “Mengenang 20 Tahun Wafatnya Fazlur Rahman: Menawarkan Bukan Kemenyan,” majalah Madina, edisi 8 (Agustus 2008), hal. 51.
[3] Abd A‘la, Dari Neomodernisme ke Islam Liberal, hal. 37.
[4] Ihsan Ali Fauzi, “Mengenang 20 Tahun Wafatnya Fazlur Rahman,” hal. 52.
[5] Abd A‘la, Dari Neomodernisme ke Islam Liberal, hal. 2.
[6] Fazlur Rahman, Islam, terj. Ahsin Mohammad (Bandung: Pustaka, 2003), cet v, hal. 325.
[7] Fazlur Rahman, Islam dan Modernitas: Tentang Transformasi Intelektual, terj. Ahsin Mohammad (Bandung: Pustaka, 2000), cet. II, hal. 173.
[8] Penjelasan yang lebih memadai mengenai metode ini dapat dirurjuk pada Fazlur Rahman, Islam dan Modernitas, hal. 6-9, atau Abd A‘la, Dari Neomodernisme ke Islam Liberal, hal. 84-92.
[9] Fazlur Rahman, Islam dan Modernitas, hal. 9.
[10] Fazlur Rahman, Islam, hal. 325.
[11] Fazlur Rahman, Gelombang Perubahan dalam Islam, terj. Aam Fahmia (Jakarta: Raja Grafindo, 2001), Hal. 8.
[12] Fazlur Rahman, Islam dan Modernitas, hal. 54.
[13] Fazlur Rahman, Gelombang Perubahan dalam Islam, hal. 10.
[14] Fazlur Rahman, Islam dan Modernitas, hal. 160.
[15] Azyumardi Azra, “Jejak Fazlur Rahman dalam Wacana Islam di Indonesia,” pengantar dalam Abd A‘la, Dari Neomodernisme ke Islam Liberal, hal. Xv.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar