Minggu, 05 April 2009

TANGGUNG JAWAB MANUSIA ATAS PERBUATANNYA
DILIHAT DARI PERSPEKTIF ILMU KALAM

Posisi manusia yang unik dalam tatanan alam semesta, menurut al-Qur’an, membawa konsekuensi yang berat baginya. Pilihannya atas apa yang dilakukannya tidak hilang beitu saja bersamaan dengan habisnya kehidupannya di dunia. Semua itu tercatat dalam buku catatan[1]. Sesuai dengan itu manusia terikat dengan apa yang diusahakannya[2].
Pada kenyataannya, manusia sering melupakan atau tidak menyadarai hal ini. Hidup ini sering kali dianggapnya sebagai permainan yang tidak mempunyai kosekuensi apapun di dalam kehidupan yang akan datang nanti. Perbuatan dari sementara manusia dalam kehidupan ini menunjukkan bahwa, menurut perkiraan mereka, mereka tidak harus bertanggung jawab atas semua yang telah mereka lakukan itu. Kutipan-kutipan berikut ini menjelaskan hal itu

Ia tidak mau membenarkan (Rasul dan al-Qur’an) dan tidak mau mengerjakan salat. Tetapi ia mendustakan (rasul) dan berpaling (dari kebenaran). Kemudian ia pergi kepada ahlinya dengan bersombong. Kecelakaanlah bagimu (hai orang kafir) dan kecelakaanlah bagimu. Kemudian kecelakaanlah bagimu dan kecelakaanlah bagimu. Apakah manusia mengira bahwa ia akan dibiarkan begitu saja (tanpa pertanggungjawaban)?.[3]

Apakah ia menjanjikan kepadamu, bahwsanya bila kamu telah mati dan telah menjadi tanah dan tulang belulang, kamu akan dikeluarkan (dari kuburan)?, jauh, jauh sekali (dari kebenaran) apa yang mereka janjikan kepadamu itu. Kehidupan itu tidak lain hanyalah kehidupan kita di dunia ini, kita mati dan kita hidup dan sekali-kali kita tidak akan dibangkitkan lagi.[4]

Maka apakah kamu mengira bahwa sesungguhnya Kami menciptakan kamu untuk main-main, dan kamu tidak akan dikembalikan kepada Kami?.[5]

Dan mereka berkata,”Kehidupan ini tidak lain hanyalah kehidupan di dunia. Kita mati dan kita hidup; tidak ada yang membinasakan kita selain masa”, mereka tidak mempunyai pengetahuan tentang itu; mereka hanyalah menduga-duga.[6]

Orang-orang yang kafir mengira bahwa mereka sekali-kali tidak akan dibangkitkan. Katan,”tidak demikian, demi Tuhanku, pasti kamu akan dibangkitkan, kemudian akan diberitakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan”, yang demikian itu mudah bagi Allah.[7]

Manusia akan ditanyai tentang segala hal yang dilakukannya[8]. Secara khusus, pertanyaan seperti itu akan diajukan juga kepada para Rasul Allah dan kaum mereka[9], serta kepada orang-orang kafir[10]. Dalam suatu tempat dalam al-Qur’an bahkan disebutkan bahwa mengenai pendengaran, penglihatan dan hati manusia akan dimintai pertanggungjawaban pula, sehingga tidak dibenarkan sikap orang yang mengikuti sesuatu tanpa pengetahuan yang memadai mengenainya[11].
Dalam kehidupan di dunia ini, seseorang mungkin dapat menutup-nutupi perbuatannya yang tidak baik sehingga orang lain tidak melihatnya atau ia lupa akan sesuatu yang telah dilakukannya. Akan tetapi, itu semua akan diungkapkan dan dipertunjukkan oleh Allah kepadanya di hari kiamat nanti, sehingga ia tidak dapat mengelak kembali dari pertanggungjawaban. Dinyatakan dalam suatu ayat:
Sesungguhnya kamu berada dalam keadaan lalai dari (hal) ini, maka Kami singkapkan darimu tutup (yang menutupi) matamu, maka pandanganmu pada hari itu amat tajam.[12]

Manusia akan kembali kepada Allah, yakni dihadapkan ke hadapan-Nya, kemudian akan diberitahukan kepadanya apa yang telah dilakukannya[13]. Allah menyaksikan apa pun yang dilakukannya itu[14]. Allah Maha Melihat atas apa pun yang dilakukannya, sebagaimana dinyatakan dalam suatu ayat:
Allah Maha Mengetahui apa pun yang mereka kerjakan.[15]
Dia pun Maha Mengetahui sampai sekecil-kecilnya semua yang dilakukan manusia. Dinyatakan dalam ayat lain:
….Allah Maha Mengetahui sampai sekecil-kecilnya apa yang kamu kerjakan.[16]
Dia juga tidak melalaikan sedikit pun dari apa yang dilakukan manusia. Dinyatakan dalam ayat lain lagi:
….Allah sama sekali tidak lengah dari apa yang kamu kerjakan.[17]
Dia bahkan membuat perhitungan terhadap apa pun yang ada pada diri manusia. Difirmankan-Nya dalam suatu ayat:
Kepunyaan Allahlah segala sesuatu yang ada di langit dan di bumi. Dan jika kamu mengungkapkan apa yang ada di dalam hatimu atau kamu menyembunyikannya, niscaya Allah akan membuat perhitungan dengan kamu tentang perbuatanmu itu. Maka Allah akan mengampuni siapa pun yang dikehendakiNya dan menyiksa siapa pun yang dikehendakiNya. Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.[18]

Kehidupan di dunia ini merupakan cobaan baginya. Karena alasan itulah Allah menciptakan dan membekalinya dengan pendengaran dan penglihatan.
Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari setetes mani yang bercampur; Kami hendak mengujinya, karena itu Kami jadikan ia mendengar dan melihat.[19]

Segala yang ada di atas bumi dijadikan sebagai hiasan untuk menguji manusia. Dengan demikian akan diketahui siapakah yang paling baik amalnya.
Sesungguhnya Kami telah menjadikan apa yang ada di bumi sebagai perhiasan baginya, untuk kami uji mereka: siapakah di antara mereka yang terbaik perbuatannya.[20]

Kematian, kehidupan, rizki, kedudukan dan lain sebagainya yang ada dalam kehidupan ini merupakan ujian pula untuk mengetahui orang yang paling baik perbuatannya.
Yang menjadikan mati dan hidup, untuk Dia uji kamu: siapakah diantara kamu yang paling baik perbuatannya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.[21]

Pernyataan keimanan tidak akan membuat seseorang selamat dari cobaan atau ujian. Cobaan atau ujian itu akan dikenakan pada orang-orang yang menyatakan dirinya beriman untuk membuktikan kebenaran atau kepalsuan pernyataannya. Allah berfirman dalam surat al-‘Ankabut:
Apakah manusia mengira bahwa mereka dibiarkan saja berkata, “kami telah beriman”, sedangkan mereka tidak diuji lagi? Sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka. Maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang berdusta.[22]

Cobaan atau ujian untuk mengetahui nilai seseorang ini menuntut kebebasan, yakni kemungkinan untuk berbuat baik dan buruk yang diserahkan kepada kehendaknya.

Kebebasan Berbuat
Baik secara tersurat maupun tersirat, al-Qur-an banyak berbicara tentang kebebasan manusia untuk menentukan sendiri perbuatannya yang bersifat ikhtiyariyah. Yang dimaksud dengan perbuiatan ikhtiyariyah adalah perbuatan yang dapat dinisbatkan kepda amanusia dan menjadi tanggung jawabnya karena memang ia mempunyai kemampuan untuk melakukan atau meninggalkannya[23]. Misalnya, yang sering disebutkan di dalam al-Qur’an, menerima atau menolak ayat-ayat yang dibawa para Rasul. Dalam surat Luqman:2-21 disebutkan sikap-orang-orang yang menolak untuk mengikuti apa yang diturunkan oleh Allah dan orang-orang yang menerimanya.
Dan apabila dikatakan kepada mereka, “Ikutilah apa yang diturunkan Allah”, mereka menjawab, “(Tidak), tetapi kami hanya mengikuti apa yang kami dapati bapak-bapak kami mengerjakannya”, apakah mereka (akan mengikuti bapak-bapak mereka) walaupun setan itu menyeru mereka ke dalam siksa api yang menyala-nyala. Dan barangsiapa yang menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang dia berbuat kebaikan, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang kokoh. Dan kepada Allahlah kesudahan segala urusan.[24]

Kedua sikap ini merupakan perbuatan ikhtiyariyah. Orang dapat memilih dan melakukan sikap pertama atau kedua, dan karenanya ia akan dibalas dengan siksaan atau pahala sesuai dengan pilihannya itu. Lain halnya dengan graek reflek yang terjadi pada seseorang karena rangsangan yang sangat kuat pada kulitnya. Orang yang tanpa sadar tersentuh bara pada ujung jarinya akan menarik tangannya dengan tiba-tiba. Ia tidak menyadari perbuatannya itu sejak semula. Dalam keadaan seperti itu ia tidak mempunyai pilihan untuk menarik atau tidaka menarik tangannya[25].
Secara tersirat, diturunkannya al-Qur’an menunjukkan adanya kebebasan yang diberikan kepada manusia dalamn memilih jalan hidupnya, yang berkenaan dengan iman dan kufur terhadap apa yang dibawa al-Qur’an itu sendiri. Allah menyatakan di dalam al-Qur’an, bahwa kitab itu merupakan petunjuk bagi manusia[26] dan mengarahkannya ke jalan yang paling lurus[27]. Fungsinya sebagai petunjuk tidak akan bisa terlaksana manakala manusia tidak mempunyai kebebasan untuk mengikuti atau menolak petunjuknya. Petunjuk itu hanya akan berguna manakala ada kemungkinan untuk tersesat pula. Tanpa kemungkinan untuk tersesat, petunjuk itu tidak mempunyai arti.
Manusia mempunyai kemungkinan untuk tersesat dalam kehidupan dunia sehingga lupa akan kewajibannya sebagai pemegang mandat Allah utnuk menjadi kahlifah di bumi.oleh karena itulah Allah menurunkan al-Qur’an untuk mengingatkannya kepada kewajibannya yang mulia itu.
Dengan lebih jelas, al-Qur’an menyebutkan adanya orang-orang yang memilih jalan kesesatan sehingga dihancurkan oleh Allah. Ini menunjukkan pula adanya kebebasan bagi manusia untuk memilih sendiri jalan kehidupannya yang berkenaan, terutama dengan keimanan dan kekufuran[28]. Pernyataan tentang kebebasan manusia itu lebih jeas lagi tersebut dalam ayat-ayat seperti:
Sesungguhnya kami telah menunjukkan jalan kepadanya; ada yang bersyukur dan ada pula yang kafir.[29]
Dan kami telah menunjukkan kepadanya dua jalan.[30]
Dan katakanlah kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; maka barang siapa yang ingin (beriman) biar ia beriman dan barang siapa yang ingin (kafir) biar ia kafir….[31]
Sesungguhnya Saqar itu adalah salah satu bencana yang besar. Sebagai peringatan kepada manusia. Kepada siapa di antara kamu yang berkehendak akan maju atau mundur.[32]

Pada surat al-Insan dan al-Balad itu dengan tegas dinyatkan bahwa jalan untuk bersyukur atau beriman kepada Allah dan untuk ingkar kepadaNya sudah ditunjukkan kepada manusia. Tinggal ia sendirilah yang akan menentukan jalan mana yang akan dipilih dan balasan Allah atas perbuatannya didasarkan atas pilihannya itu. Pada surat al-Kahf bahkan lebih tegas lagi dinyatakan bahwa siapa pun boleh beriman atau kufur terhadap kebenaran yang dibawa oleh nabi Muhammad SAW dari Tuhan.
Pada surat al-Mudatsir itu dinyatakan bahwa apa yang disampaikan oleh nabi Muhammad SAW itu adalah peringatan.oarang yang mau dapat mengambilnya sebagai petunjuk dan memilih jalan kepada Tuhannya. Walaupun tidak dinyatakan dengan tegas, kita dapat memahami sebaliknya, yakni bahwa orang yang tidak mau tidak mesti mengambil jalan kepadaNya. Nabi Muhammad SAW hanya diutus sebagai penyampai janji-janji pahala dan ancaman siksa serta pemberi peringatan. Ia tidak minta upah dan tidak pula dapat memaksa orang utnuk beriman. Dinyatakan dalam al-Qur’an:
Dan tidaklah Kami mengutus kamu melainkan hanya sebagai pembawa kabar gembira dan pemberi peringatan. Katakanlah, “aku tidak meminta upah sedikitpun kepadamu dalam penyampaian risalah itu, melainkan (mengharapkan kepatuhan) orang-orang yang mau mengambil jalan kepada Tuhannya.[33]
Maka berilah peringatan, karena sesungguhnya kamu hanyalah orang yang memberi peringatan. Kamu bukanlah orang yang berkuasa atas mereka.[34]

Balasan Perbuatan
Kebebasan bermula pada balasan. Balasan yang diberikan Allah kepada manusia sesuai dengan perbuatannya. Sesuai disini tidak berarti sama persis ukuran atau timbangannya, melainkan hanya berarti, bahawa yang baik dibalas dengan kebaikan dan yang tidak baik dibalas dengan siksaan[35]. Satu hal yang sangat menonjol atau berulangkali dikatakan tentang ini dalam al-Qur’an adalah bahwa Allah tidak berbuat zalim kepada hamba-hambaNya sehubungan dengan balasan-balasan, terutama yang bersifat keadaan yang tidak menyenangkan. Misalnya, disebutkan, dalam suatu ayat:
Dan di antara manusia ada orang-orang yang membantah tentang Allah tanpa ilmu, tanpa petunjuk dan tanpa kitab (wahyu) yang bercahaya dengan memalingkan lambungnya untuk menyesatkan manusia dari jalan Allah. Ia mendapat kehinaan di dunia dan di hari kiamat Kami merasakan kepadanya azab neraka yang membakar. (akan dikatakan kepadanya), “yang demikian itu dikarenakan perbuatan yang dikerjakan oleh kedua tanganmu dahulu dan sesungguhnya Allah sekali-kali bukanlah Penganiaya hamba-hambaNya.[36]

Orang yang berbantah tentang Allah tanpa argumentasi yang kuat, untuk menyesatkan orang lain dari jalanNya akan mendapatkan kehinaan di dunia[37] dan siksaan di akherat. Ini sama sekali bukan karena Allah berbuat zalim kepadanya, melainkan semata-mata karena perbuatannya yang tidak baik itu. Allah sama sekali tidak berbuat zalim kepada hamba-hambaNya. Yang berbuat zalim itu adalah mereka sendiri sehingga siksaan itu menimpa mereka.
Pernyataan Allah bahwa ia tidak zalim kepada hamba-hambaNya itu lebih banyak dihubungkan dengan atau dinyatakan dalam konteks balasan Allah yang bersifat negatif di akherat. Dengan berbagai variasi, pernyataan seperti ini disebut 12 kali[38]. Penyebutannya dalam konteks perbuatan untuk balasan yang baik hanya terdapat dalam dua tempat[39]. Sementara pada lima tempat lainnya, pernyataan itu tidak dikaitkan langsung dengan balasan perbuatan baik atau buruk, melainkan dengan balasan secara umum[40].demikian pula pada dua tempat lainnya. Walaupun keduanya didahului penyebutan balasan perbuatan tidak baik, sifat keumumannya terasa kuat[41].
Hal ini berhubungan dengan pernyataan-pernyataan lain mengenai balasan bagi perbuatan yang baik dan sifat kepengasihan Allah. Allah telah menetapkan sifat kepengasihan itu atas diriNya sendiri[42], sehingga menurut Fazlur Rahman, keadilan Allah itu adalah keadilan yang penuh dengan kasih sayang (merciful justice). Keadilan seperti ini seringkali disebut dengan justice tempered with mercy oleh para penulis modern[43].
Dengan keadilan yang penuh kasih sayang ini, Allah membalas perbuatan baik dengan pahala lebih. Yang menghadap Allah dengan membawa kebaikan akan memperoleh balasan yang lebih baik[44]. Allah bahkan melipatgandakan pahala bagi orang yang berbuat kebaikan[45]. Balasan itu tidak dapat dihitung[46], tidak putus-putusnya[47] dan bahkan tidak diketahui atau dibayangkan sebelumnya[48].
Akan tetapi, perbuatan yang tidak baik hanya dibalas dengan balasan yang seukuran. Dinyatakan dalam surat al-An’am:160 misalnya, bahwa orang yang menghadap Allah dengan membawa amal yang baik akan mendapatkan balasan sepuluh kali lipat, sementara yang membawa amal yang tidak baik hanya akan dibalas dengan balasan yang seimbang dengan amala itu. Yang terakhir ini tidak diragukan sedikit pun[49].
Jadi dapat dikatakan, bahwa pada hakekatnya, Allah sangat mengasihi hamba-hambaNya, namun kasih sayangNYa tidak menyebabkan hilangnya sanksi bagi setiap pelanggaran yang dilakukan oleh sebahagiaan manusia terhadap aturan-aturanNya. Ini sesuai dengan kebebasan yang diberikanNya kepada para manusia untuk menentukan sendiri jalan kehidupannya yang bersifat ikhitiyariyah itu. Tanpa sanksi-sanksi, pengujian yang karenannya manusia diberi kebebasan itu, tidak efektif[50].
Selain itu kita dapat pula kita simpulkan, bahwa manusia menentukan sendiri keadaannya, paling tidak di akherat nanti. Pernyataan-pernyataan Allah bahwa Ia sama sekali tidak berbuat zalim kepada hamba-hambaNya merupakan jaminan yang kuat untuk penentuan nasib sendiri manusia ini[51]. Ini masih ditambah dengan pernyataan-pernyataan lain, bahwa siksaan atau keadaan tidak baik yang dialami orang-orang yang berdosa itu tidak lain merupakan balasan atas apa yang mereka lakukan di dunia. Kelebihan kebaikan yang diberikan kepada orang-orang yang berbuat baik di dunia tidak akan diberikan kepada mereka tanpa perbuatan baik itu. Jadi walaupun itu merupakan fadl atau karunia Allah, namun mesti ada pemancingnya, yakni perbuatan baik itu.

Syafa’at
Kata syafa’ah (bentuk masdar bagi syafa’a- yasyfa’u) disebutkan tiga belas kali dalam al-Qur’an[52]. Tiga kali disebutkan , bahwa di hari kiamat nanti syafa’at tidak akan diterima, tidak bermanfaat bagi suatu diri atau bahkan tidak ada sama sekali. Tetapi di tempat lain disebutkan, bahwa syafa’at itu milik Allah[53] dan bahwa ada pengecualian-pengecualian dalam pernyataan ketiadaan syafa’at itu.
Dalam surat Maryam dinyatakan bahwa yang memiliki syafa’at hanyalah orang-orang yang telah mengadakan perjanjian dengan Allah.
Mereka tidak dapat syafa’at kecuali orang yang telah mengadakan perjanjian di hadapan Tuhan Yang Maha Pemurah.[54]

Pada hari Kiamat, syafa’at tidak bermanfaat kecuali dari atau bagi orang yang diizinkan Allah. Dinyatakan:
Pada hari itu tidak berguna syafa’at kecuali (syafa’at) orang yang Allah Maha pemurah telah memberi izin kepadanya dan meridlai perkataannya.[55]
Dan tiada berguna syafa’at di hadapan Allah melainkan bagi orang yang telah diizinkanNya….[56]

Menurut baidawi, kata man (orang) dalam surat Thaha itu dapat berarti pemberi syafa’at bisa pula penerimanya[57]. Demikian pula dalam surat Saba’[58]. Kedua pengertian ini didukung ayat-ayat lain yang menyebutkan adanya orang-orang atau malaikat-malaikat yang diizinkan Allah untuk memberikan syafa’at[59] dan bahwa para malaikat hanya memberikan syafa’at kepada orang-orang yang telah diizinkan atau dipilih Allah untuk mendapatkannya[60].
Juga dinyatakan bahwa syafa’at itu tidak akan bermanfaat bagi orang-orang yang berdosa yang disiksa dalam neraka saqar. Mereka di dunia tidak mendirikan salat, tidak mau menolong orang miskin, ikut serta dalam pembicaraan yang batil, dan mendustakan hari kiamat, sampai kematian menjemput mereka[61]. Tidak ada pula pemberi syafa’at kepada orang-orang yang zalim[62].
Kalau kita ingat bahwa syafa’at hanya dapat diberikan oleh orang-orang yang diizinkan Allah dan juga untuk orang-orang yang diizinkanNya (untuk menerimanya), maka tidak bermanfaatnya syafa’at bagi orang-orang yang masuk neraka Saqar itu berarti pula tidak adanya pemberi syafa’at bagi mereka.
Dari sini pula dapat dikatakan bahwa untuk menerima syafa’at diperlukan juga usaha manusia. Mesti dipenuhi lebih daulu persyaratan minimal sebelum seseorang dapat memperoleh syafa’at, yakni terbebasnya seseorang dari sifat yang tidak baik yang disebutkan tadi. Dengan demikian, syafa’at itu tidak begitu jauh berbeda dengan pelipatgandaan kebaikan sebagai balasan bagi orang yang berbuat kebaikan di dunia. Syafa’at yang berarti dihindarkannya seseorang dari siksaan yang mestinya diterimanya lantaran kejahatannya di dunia bertentangan dengan tanggung jawab dan pengujian yang telah dibicarakan diatas.
[1] Al-Qur’an surat al-Isra:4-13, al-Jatsiyah:9-28, al-Qamar 3-52, al-Haqqah 19&25
[2] Al-Qur’an surat at-Thuur:21 dan al-Muddatsir:38
[3] Al-Qur’an surat al-Qiyamah:6-31
[4] Al-Qur’an surat al-Mu’minuun:7-35, menurut kebanyakan ulama, ini adalah perkataan kaum Nabi Hud a.s. yang tidak mau beriman kepadanya.
[5] Al-Qur’an surat al-Mu’minuun:115
[6] Al-Qur’an surat al-Jatsiyah:24
[7] Al-Qur’an surat at-Taghaabun:7
[8] Al-Qur’an surat al-Anbiya’:23
[9] Al-Qur’an surat al-A’raf:6
[10] Al-Qur’an surat al-Hijr:92, al-Ankabut:13
[11] Al-Qur’an surat al-Isra’:36
[12] Al-Qur’an surat Qaaf:22
[13] Al-Qur’an surat al-Ma’idah 14&105
[14] Al-Qur’an surat Ali Imran:98 dan Yunus:46
[15] Al-Qur’an surat al-Baqarah: 96
[16] Al-Qur’an surat al-Baqarah:234
[17] Al-Qur’an surat al-Baqarah: 74
[18] Al-Qur’an surat al-Baqarah:284
[19] Al-Qur’an surat al-Insan:2
[20] Al-Qur’an surat al-Kahf:7
[21] Al-Qur’an surat al-Mulk:2
[22] Al-Qur’an surat al-Ankabut:2-3
[23] Maulana Muhammad Ali, The Religion of Islam (Kairo: The Arab Publishers & Printers, tth.), hlm.350
[24] Al-Qur’an surat Luqman:2-21
[25] H Agus Salim, Keterangan Filsafat tentang Tauhid, Taqdir dan Tawakkal (jakarta: Tintamas, cet.X, 1967) hlm.4-43
[26] Al-Qur’an surat al-Isra’:9
[27] Al-Qur’an surat al-Anbiya:11
[28]
[29] Al-Qur’an surat al-Insan: 3
[30] Al-Qur’an surat al-Balad:10
[31] Al-Qur’an surat al-Kahf: 29
[32] Al-Qur’an surat al-Muddatsir: 7-35
[33] Al-Qur’an surat al-Furqan: 7-56
[34] Al-Qur’an surat al-Ghasyiyah: 2-21
[35] Al-Qadi Abd al-Jabbar al-Hamazani, Mutasyabih al-Qur’an, editor Adnan M.Zarzur (Kairo, Dar at-Turas, 1969) hlm.270
[36] Al-Qur’an surat al-Hajj: 8-11
[37] Yang dimaksud kehinaan di dunia disini adalah terbukanya kepalsuan dari apa yang dikatakan oleh orang itu.
[38] Al-Qur’an surat Ali Imran: 25 & 161
[39] Al-Qur’an surat an-Nisa’:124
[40] Al-Qur’an surat an-Nahl:111
[41] Al-Qur’an surat al-Anbiya’:47
[42] Al-Qur’an surat al-An’am:12
[43] Rahman, Major Themes of the Qur’an,Chicago:Bibliotheca Islamica,1980, hlm.1
[44] Al-Qur’an surat Yunus:26
[45] Al-Qur’an surat al-Baqarah:245
[46] Al-Qur’an surat az-Zumar:10
[47] Al-Qur’an surat Fushshilat:8
[48] Al-Qur’an surat as-Sajdah: 17
[49] Keseimbangan balasan bagi perbuatan jahat ini juga disebutkan dalam surat Yunus:27
[50] Al-Qadi Abd al-Jabbar al-Hamazani, Mutasyabih al-Qur’an, hlm.20
[51] Ini harus dipahami sebagai nilai manusia di hadapan Allah, bukan keadaan nyata dalam kehidupannya di dunia. Pada yang terakhir ini banyak faktor dari luar dirinya yang ikut berperan. Oleh karena itu, tidak dapat dikatakan bahwa manusialah yang sepenuhnya menentukan.
[52] Al-Qur’an surat al-Baqarah: 48, 123, 254
[53] Al-Qur’an surat az-Zumar:44
[54] Al-Qur’an surat Maryam:87
[55] Al-Qur’an surat Thaha:109
[56] Al-Qur’an surat Saba’:23
[57] Baidawi, Anwar at Tanzil wa Asrar at-Ta’wil,Beirut: Dar al-Fikr, tth. hlm 423
[58] Baidawi, Anwar at Tanzil, hlm 569
[59] Al-Qur’an surat al-Baqarah: 255
[60] Al-Qur’an surat al-Anbiya’:28
[61] Al-Qur’an surat al-Muddatsir: 8-41
[62] Al-Qur’an surat al-Baqarah:6-7

Tidak ada komentar:

Posting Komentar