Minggu, 17 Mei 2009

POLITIK dan KEKUASAAN


“MEREDAM NAFSU KEKUASAAN”
Sebuah refleksi Pemilu Indonesia[1]

Oleh: Lisyati Fatimah

Pengantar
Pemilu legislatif baru saja usai, menyusul kemudian pemilu presiden Indonesia. Banyak catatan yang kita rekam dalam ingatan kita tentang sebuah pesta demokrasi itu. Masa kampanye yang panjang kurang lebih sembilan bulan itu ditanggapi apatis oleh masyarakat pada umumnya, mengapa? Banyak alasan yang dikemukakan. Salah satunya janji politik yang diucapkan para caleg tidak bisa dipercaya, bagi mereka janji politik itu hanya “lip service” belaka, buktinya jauh panggang dari api.
Konon, mereka bertekad untuk berjuang, tatapi dengan mengeluarkan banyak sekali uang yang entah dari mana datangnya untuk kemenangan partai dan kemenangan diri mereka sendiri, tetapi rupanya hanya sedikit sekali yang masih ingat bahwa yang harus mereka lakukan adalah memenangkan cita-cita politik untuk rakyat mereka, dengan menggunakan kekuasaan yang mereka peroleh berkat suara rakyat yang diberikan untuk mereka. Mereka merasa perlu tampil dalam iklan dan baliho dengan ukuran spektakuler, tetapi hampir tidak ada yang mengangkat penderitaan rakyat dan memperlihatkannya dalam ukuran kecil saja supaya setiap orang yang lewat di Jalan Sudirman diingatkan bahwa ada demikian banyak sesama warga yang belum hidup layak dan tersingkir dari hak- haknya. Politik kita adalah politik yang permisif karena mengizinkan kemewahan dan pemborosan sambil membiarkan kemelaratan.
Bukan rahasia lagi bahwa persiapan pemilihan umum kali ini menelan biaya yang amat besar, baik dari pihak KPU sebagai penyelenggara dan penanggung jawab maupun dari para kontestan pada berbagai tingkat pemilihan umum. Maka, patut diantisipasi bahwa biaya uang sebelum pemilihan umum bakal disusul dengan biaya manusia yang sama tingginya setelah pemilihan umum, yaitu biaya yang diakibatkan oleh kekecewaan dan frustrasi para kontestan yang kalah bersaing dalam pemilihan legislatif. Untuk mendapat gambaran dalam angka, 560 kursi yang ada di DPR RI diperebutkan oleh 11.225 kontestan. Jadi, yang akan kalah dalam pemilihan adalah sebanyak 10.665 orang. Seterusnya, 1.998 kursi yang merupakan jumlah total kursi di semua provinsi diperebutkan oleh tidak kurang dari 112.000 kontestan. Ini artinya ada 110.002 orang yang akan mengalami kekecewaan. Paling fantastis adalah pemilihan legislatif untuk tingkat kabupaten/ kota, di mana yang menjadi kontestan adalah 1.500.000 orang yang memperebutkan total kursi sebanyak 16.720. Mereka yang tidak beruntung dan mengalami kekecewaan besar adalah sebanyak 1.483.280 orang. Tingkat kekecewaan bergantung kepada berapa besar jumlah uang yang sudah mereka keluarkan, kesiapan mental dalam menghadapi kekalahan, dan kesanggupan mereka menerima hasil pemilihan legislatif karena prosedur pemilihan dianggap telah berjalan dengan benar. Kalau hasil-hasil pemilihan bakal dipersoalkan oleh demikian banyak orang, kita harus siap menghadapi post-election syndrome yang semakin memperberat nasib rakyat, akibat ulah orang-orang yang semula berkeinginan menjadi wakil rakyat, tetapi kemudian menjelma menjadi beban masyarakat dan negara[2]
Oleh karena itu, untuk memasuki ranah politik, diperlukan individu yang memiliki niat yang tulus, kapasitas yang memadai dan mental yang kuat dalam bahasa agama memiliki spiritualitasyang baik atau berakhlak. Islam memandang politik adalah bagian darinya. Namun pada kenyataannya, tidak mudah masuk dalam ranah yang satu ini.
Kekuasaan Politik dan an-Nafs al-Ammarah

Politik adalah seni mencapai kekuasaan. Kekuasaan itu dapat dicapai secara konstitusional maupun inkonstitusioanal. Tak ada aturan pasti tentang bagaimana mencapai kekuasaan itu, dalam berpolitik tidak ada kawan yang abadi ataupun lawan yang abadi, akan tetapi yang ada hanyalah kepentingan yang abadi. Begitu pada umumnya orang memahami politik.

Apabila konteks politik dikaitkan dengan sifat dasar manusia maka pada dasarnya setiap menusia memiliki keinginan untuk berkuasa dan memiliki kekuasaan.kekuasaan adalah wilayah dimana manusia mencapai titik kulminasinya, pada puncaknya kekuasaan menjadi sebuah bentuk pengakuan “eksisitensi” manusia atas manusia lainnya dengan kekuasaan manusia bisa berbuat kebajikan atau bahkan kejahatan. Seorang politisi asal Inggris menyebutkan, bahwa “the power tends to corrupt”. Apalagi, kalau kekuasaan itu absolut dan tidak bisa dikontrol dengan check dan balance, maka akan lebih merusak lagi. Karena itulah maka sesuai dengan prinsip Islam, kita harus melakukan tausiyah bi al-haq wa bi al-shabr (saling menasihati dalam kebenaran dan kesabaran[3]

Kekuasaan pada hakikatnya adalah milik Tuhan, tercermin dari salah satu sifatnya yakni “al-Malik”. Percikan sifat ini ada didalam diri manusia sebagai manifestasi Ilahi, ia tumbuh dan berkembang, sifat ini ada menjadi salah satu unsur kekuatan jiwa manusia (an-Nafs al-amarah) disamping kekuatan jiwa lainnya. Kekuatan ‘amarah pada diri insan ini memiliki fungsi agar manusia dapat mempertahankan diri dari serangan dan kesewenang- wenangan[4]. Sifat buruk amarah ini dapat membuat manusia menjadi buas dan liar bahkan menimbulkan kekerasan. Kesenangan sifat ammarah ini terletak pada perasaan menjadi pemenang dan merasa puas ketika menguasai musuh dan bisa melakukan balas dendam. Kesengsaraannya terletak saat perasaan dikuasai dan dikalahkan. Dominasi dorongan amarah manusia lebih dekat dengan sifat syaithoniyyah ketimbang mencerminkan sifat Tuhan. Oleh karena itu, untuk mengendalikan atau menjaga moderasi ammarah, agar tidak condong pada sifat yang buruk sebagai akibatnya dibutuhkan kecakapan jiwa (malakah) lain yang lebih kuat mengendalikannya yakni kekuatan “aqal. Kekuatan ini mampu memberikan pembeda bagi manusia antara baik dan buruk. Dia akan memoderasi kelebihan-kelebihan sifat dan menjaganya ditempat yang sesuai untuknya[5]

Perilaku manusia khususnya perilaku dalam mencapai kekuasaan (an-Nafs al-Ammarah) menjadi kajian menarik para pemikir politik Islam sejak dulu. Karena kekuasaan dalam Islam adalah sesuatu yang teramat penting[6]. Dan persoalan etika dalam dalam kajian politik ini menjadi amat penting pula. Beberapa alasan yang dikemukakan Faisal Baasir antara lain,

Pertama, politik itu dipandang sebagai bagian dari ibadah, karena itu harus dilakukan berdasarkan prinsip-prinsip ibadah. Misalnya, dalam berpolitik harus diniatkan dengan lillahi taala. Dalam berpolitik, kita tidak boleh melanggar perintah-perintah dalam beribadah, karena pelanggaraan terhadap prinsip-prinsip ibadah dapat merusak "kesucian" politik. Kedua, etika politik dipandang sangat perlu dalam Islam, karena politik itu berkenaan dengan prinsip Islam dalam pengelolaan masyarakat. Dalam berpolitik sering menyangkut hubungan antarmanusia, misalnya saling menghormati, saling menghargai hak orang lain, saling menerima dan tidak memaksakan pendapat sendiri. Itulah prinsip-prinsip hubungan antarmanusia yang harus berlaku di dalam dunia politik.

Kecuali itu, keberadaan masyarakat dan negara merupakan hal yang sangat penting dan mutlak dalam Islam. Karena itu, beberapa para ahli fikih politik Islam mengemukakan adalah suatu kewajiban bagi orang Islam untuk mendirikan negara. Dengan adanya negara bisa diciptakan sebuah keteraturan kehidupan masyarakat yang baik, sehingga pada gilirannya umat Islam bisa menyelenggarakan ibadah-ibadahnya dengan baik pula.
Apabila hubungan antar masyarakat dan dan penyelenggaran negara tidak sesuai dengan ajaran-ajaran Islam, maka yang akan muncul adalah kekacauan dan muncul anarki yang sangat dikecam oleh para ulama. Kekacauan dan anarki dalam suatu masyarakat dan negara dapat mengganggu penyelenggaraan ibadah.

Dalam konteks situasi politik kita sekarang-dalam batas-batas tertentu, hal-hal yang bersifat jahiliyah itu memang sering terjadi di dalam dunia politik kita. Kebodohan dalam berpolitik terjadi, misalnya, menduduki kantor-kantor partai politik, melakukan kekerasan, tokoh politiknya asal main pecat kalau ada anak buahnya beda pendapat, atau tidak bermusyawarah dengan baik-padahal Islam mengajarkan, "Hendaknya kamu bermusyawarah di antara kamu. " Hal-hal tersebut cerminan jahiliyah.

Moral Politik dan Kualifikasi Pemimpin

Seperti telah disinggung sebelumnya berbicara perilaku atau moral politik dalam kajian ilmu akhlak dan tasawuf [7]. mengindikasikan adanya perilaku politik yang berakar dari sense of Absolute, berupa “kesadaran” ketika manusia selalu merasakan kehadiran Tuhan dalam dirinya

Pada pendekatan psikoanlisa, perilaku manusia banyak didominasi oleh ketidaksadaran. Sedangkan, pada kajian akhlak dan tasawuf ketidak sadaran berkaitan dengan an-nafs al ammrah, apabila bersifat lebih otoritarian terhadap pikiran dan tingksah laku, maka perilaku politik tentu sifat ini akan mempengaruhi perilaku politiknya. Misalnya, Jika perilaku zuhud didasari atas nilai dan perilaku kesadaran serta mempunyai pengaruh baik ada perilaku politik seseorang, maka sikap yang didasari ketidaksadaran merupakan sikap yang diametral bertentangan dengan perilaku politk. Sikap kedua ini menyebabkan terjadinya disintegrasi sosial.

Beberapa kasus realitas sosial poitik masyarkat akan banyak ditemui perilaku elit politik yang kurang terpuji, semisal: korupsi, kekerasan, penyalahgunaan kekuasaan, dan lain lain. Penyalahgunaan kekuasaan tadi dalah manifestasi dari alam bawah sadar pelaku. Menurut Ibnu Khaldun orang yang demikia adalah orang yang tidak memiliki Ashobiyyah yang tidak dapat mengurus dirinya sendfiri. Ini berbahaya, bagi kelangsungan hidup bangsa. Namun apabila penyakit tadi belum kronis penyakit tadi bisa disembuhkan. Ilmu akhlak membimbing manusia bagaimana menyembuhkan perilaku buruk tadi melalui pembersihan dan pelatihan yang gradual agar terhindar dari sifat buruk (tazkiyyatunnnafs) .

Kaitannya dalam memilih siapakah yang akan menjalankan kekuasaan itu, penting dalam pemilu yang diselenggarakan pemerintah, untuk menentukan pemimpin-pemimpin yang akan tampil nanti, apa saja yang menjadi kualifikasi pemimpin menurut para pemikir politik Islam?
Adalah, Al Farabi yang memiliki keseriusan mengenai pewenang tertinggi dalam pemerintahan ini Al Farabi menyebutkan dengan Al Rois Al Awwal li al madinah al fadhilah wa rois al ma’murah min al ardh kulliha (pemimpin tertinggi negara utama dan pemimpin oikumene dunia).

Di antara sifat-sifat pemimpin yang disebutkan Al Farabi adalah: “…bijak, berbadan kuat, bercita-cita tinggi, baik daya pemahamannya, kuat daya hafalannya, sangat cerdas, fasih berbicara, cinta kepada ilmu, sanggup menaggung beban dan kesulitan karenanya, tidak rakus kepada kenikmatan jasmani, cinta kepada kejujuran, mulia jiwanya, adil dan teladan bagi semua orang—bahkan terhadap diri dan keluarganya—serta berani dan paling awal.”

Kemudian ia melanjutkan, “terhimpunnya semua syarat dan sifat ini dalam diri seseorang adalah sesuatu yang jarang terjadi. Apabila semua ini terpenuhi dalam diri seorang, dialah sang pemimpin. Kalau tidak, orang yang paling banyak memiliki sifat-sifat tersebutlah yang dapat menjadi pemimpin. Apabila tidak ada seorang pun yang memenuhi sifat-sifat tersebut secara maksimal namun ada dua orang, yang satu bijak dan dalam (hakim) dan lainnya memiliki sifat-sifat yang lain, maka kedua-duanya menjadi pemimpin secara bersama. Dan masing-masing orang saling melengkapi satu dengan yang lain. Apabila sifat-sifat ini ada pada lebih dari dua orang, dan mereka saling mengerti, maka semuanya adalah para pemimpin yang dihormati.

Sementara itu, Syaikh Al Rois Ibn Sina menyatakan dalam kitabnya, Al Syifa, “bab penentuan khalifah dan imam”, sebagai berikut:
“……kemudian wajib bagi seorang pemimpin untuk mewajibkan patuh kepada orang yang akan menggantikannya. Pemilu (istikhlaf) ini tidak boleh terjadi melainkan dari sisinya, atau berdasarkan ijma’ para ahli senior atas seseorang yang secara publik dan aklamasi diakui sebagai orang yang mandiri dalam politik, kuat secara intelektual bermoral mulia—seperti berani, terhormat, cakap mengelola, dan arif dalam hukum syariat—sehingga tiada orang yang lebih dikenal darinya.”

“Ditetapkan kepada mereka bahwa apabila terjadi perselisihan atau pertikaian lantaran dorongan hawa nafsu, atau mereka sepakat (menetapkan) orang yang tidak memiliki keutamaan-keutamaan ini, dan yang tidak layak, maka mereka akan kafir kepada Allah SWT.”

“Pemilu (istikhlaf) dengan cara nash adalah lebih besar, karena ia tidak menyebabkan perpecahan, perselisihan, dan pertikaian…” (Lihat Ibnu Sina, Al Syifa, halaman. 451)


Al Qadhi Abu Ya’la Al Gharra dalam kitab Al Ahkam Al-Sulthoniyyah (Hukum-hukum pemimpin), menyatakan:
“Orang yang layak menjadi pemimpin harus memenuhi empat syarat, yaitu: (1). Berasal dari keturunan Quraisy; (2) Memenuhi sejumlah syarat seperti layaknya seorang hakim (qadhi), merdeka, aqil, baligh, berilmu, dan adil; (3). Arif dalam urusan peperangan, politik, dan pelaksanaan hukum-hukum hudud sehingga rasa belas kasihnya tidak menghalanginya dari berbuat adil, serta memiliki sikap membela umatnya; dan (4). Yang paling utama dalam ilmu dan agama di antara.”

Al-Mawardi merinci dalam kitabnya Al-Ahkam Al Shulthoniyyah bahwa:
“Orang yang layak menyandang kepemimpinan, harus memenuhi tujuh syarat, yaitu: (1). Adil dalam keseluruhan persyaratannya; (2). Berilmu pengetahuan sehingga mampu berijtihad dalam kasus-kasus yang dihadapi dan ketetapan-ketatapan hukum; (3). Memiliki kesempurnaan indera seperti pendengaran, penglihatan, dan pembicraan, agar dengannya ia bisa melaksanakan tugasnya sendiri; (4). Tidak memiliki cacat tubuh yang bisa menghalangi dinamika kerja dan tindakan segera; (5). Memiliki kemampuan menggagas yang dapat melahirkan strategi kepemimpinan rakyat dan pengaturan kemaslahatan; (6). Berani dan tangguh sehingga mampu mempertahankan negara dan melawan musuh; (7). Nasab sang pemimpin hendaklah dari keturunan Quraisy dan mendapatkan kesepekatan (konsensus).” (Lihat Al-Ahkam Al-Shulthoniyyah, h. 6)

Masih tentang kualifikasi pemimpin, dalam Kitab Al-Mukaddimah, Ibnu Khaldun menulis:
“Syarat-syarat jabatan ini ada empat: ilmu, keadilan, kemampuan, dan keselamatan indera dan anggota tubuh dari hal-hal yang bisa memengaruhi cara berpendapat dan bertindak. Adapun syarat kelima, yakni keturunan Quraisy, masih diperselisihkan. Syarat berilmu pengetahuan juga jelas karena ia akan bisa menjalankan hukum-hukum Allah apabila ia mengetahuinya. Hal yang tidak diketahuinya tidak boleh diajukan sebagai (ketetapan) hukum dan perintahnya. Berilmu pengetahuan yang dimaksudkan tidak akan memadai kecuali jika ia seorang mujtahid, mengingat taklid adalah suatu kekurangan; sementara kepemimpan menurut kesempurnaan dalam karakteristik dan watak…” (lihat Ibn Khaldun, Al Mukaddimah, 135)

Abd. Malik Al-Juwaini (Imam Al Haramain) dalam kitabnya, Al-Irsyad; Al-Qalqasyandi dalam bukunya, Ma’atsir al inafah fii ma’alim al khilafah (Juz I: 31), pasal kedua, Bab syarat-syarat Imamah; dan Ibn Hazm Al Andalusi, di antara para ulama yang lain umumnya mengungkapkan kualifikasi yang sama, dengan beberapa variasi kecil.

Penutup

Dari uraian diatas terdapat signifikasi bahasan perilaku politik dalam kajian akhlaq dalam konteks hari ini, kepada siapa “kekuasaan” itu akan diamanahkan , itu baik kekuasaan legislatif, eksekutif ,maupun yudikatif. Apabila tidak, lebih baik kiranya bagi seseorang untuk meredam nafsu kekuasaan (nafs al Ammarah) itu dari pada dia akan menyalah gunakannya, alih-alih menjadi bumerang bagi bangsa ini. Walaupun boleh dikata domain politik yang penuh intrik ini memang halal bagi siapapun. Tapi untuk kemaslahatan sebaiknya kita berkaca ulang. Layakkahh?

Untuk itu, ada baiknya kita renungkan perkatan Imam Ali Karamallhu Wajhah, beliau mengatakan “sesungguhnya Tuhan memberikan sifat malaikat dengan akal tanpa nafsu seksual dan amarah, dan binatang dengan amarah tanpa nafsu dan akal. Dia memulyakan manusia dengan melimpahkan kepadanya seluruh unsur-unsur tersebut. Oleh karena itu jika akal manusia menguasai nafsu dan kebuasaannya, dia akan naik ketingkatan diatas malaikat; tingkatan ini icapai manusia melalui ujian dan cobaan yang berat, sedangkan malaikat tidak akan merasa iri terhadap kecakapan itu,”


Waallahu A’lam Bisshowwab....








Bahan bacaan :
· “Penghimpun kebahagiaan” jami’ as-sadat , Muhammad Mahdi bin Abi Dzar An-Naraqi, Lentera 2004. Jakarta
· Etika Politik Islam, Azyumardi Azra (Harian Republika)
· Etika Politik , Ignas Kleiden (tulisan lepas)
· Politik yang santun, Menelusuri pemikiran soegeng sarjadi. Ed Sukardi Rinakit. Penenrbit; SSS. Jakarta
· Catatan kuliah Filsafat Politik Islam, Wong Dzolim (KASYAF). ICAS Jakartat;
[1] Ditulis oleh: Lisyati Fatimah, untuk tugas makalah mata kuliah “Etka Islam” semester IV, ICAS Jakarta.
[2] Ignas kleden. Etika Politik
[3] “Etika Politik dalam Islam” Azyumardi Azra/Amsal Bakhtiar
[4] Jami’ as-Sadaat, ( Penghimpun kebahagiaan ) Muhammad Mahdi bin Abi Dzar An-Naraqi, bab I hal 20
[5] ibid hal 21
[6] Dalam Alquran masalah “kepemimpinan dan kekuasaan” amat berkeiatan dengan kedudukan manusia sebagai “khalifah “Tuhan . manusialah yang akan mengurus dunia dan seisinya. Ummat Islam Di ayat lain disebutkan sebagai “Khairu Ummah” sebaik-baik umat menjadi pemimpin manusia/umat lainnya “kuntum khaira ummmatin ukhrijat linnasi ta’muruna bilma’rif watanhauna anil munkar…”…penulis-red
[7] “tazkiyatunnafs” atau pembersihan diri dari sifat-sifat tercela menuju sifat yang terpuji –penulis-red

Tidak ada komentar:

Posting Komentar